Share

4. Bellatrix Aalto: Gratitude and Fear

Vancouver, British Columbia.

***

Rintik hujan membasahi sebagian besar kota Vancouver sejak beberapa jam yang lalu. Langit seolah enggan memberikan malam yang indah kepada setiap makhluk yang bernaung di bawahnya. Di tengah itu, Bella, gadis yang sebentar lagi berusia dua puluh satu tahun, berjalan melewati genangan air. Mantel hitamnya membungkus tubuh itu dengan sempurna, membantunya untuk mengurangi hawa dingin yang masuk.

Bella menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul sebelas malam lebih sembilan menit. Seharusnya Bella sudah di rumah sejak dua jam yang lalu. Namun, hujan membuatnya bekerja lebih lama dengan dalih 'menunggu reda'. Ya, begitulah bosnya bicara. Dia seolah peduli padahal hanya memanfaatkan situasi. Dan buruknya, Bella tidak bisa menolak itu.

Bella mengeratkan mantelnya karena angin tiba-tiba berhembus kencang. Dia berhenti melangkahkan kaki dan melihat sekitar. Jalanan masih ramai, tapi entah kenapa terasa sangat sepi. Mungkin karena dia sendiri? Ya, sekarang Bella menjadi sedikit memikirkan arti 'sendiri' itu. Secara harfiah dia tidak sendiri karena di sekitarnya banyak sekali manusia, tapi rasanya dia sendiri. Entahlah.

"Drrrtt! Drrrttt!"

Merasakan ponselnya yang bergetar, Bella mencari benda pipih itu di dalam saku mantel. Tangannya mengeluarkan sebuah ponsel yang layarnya retak dari sana.

Ibu Panti.

"Ya, Bu?"

"Bella, kau terjebak hujan?" tanya Angeline, wanita tua di seberang sana.

"Ah, iya, hujan terlalu lebat hingga aku tidak bisa pergi tadi. Aku menunggu cukup lama di toko. Tapi aku sudah selesai sekarang, aku sedang di jalan," jelas Bella.

Dia kembali melanjutkan perjalanannya menuju panti asuhan yang sudah menjadi rumahnya selama hampir dua puluh satu tahun. Di telinganya, Bella masih mendengarkan ibu angkatnya itu bicara.

"Kau harus segera sampai di rumah, berita di tv mengatakan akan ada badai di sini. Datanglah sebelum badai agar kau aman."

"Iya, Bu. Tenang saja," ucap Bella.

"Baiklah, aku akan menunggumu, berhati-hatilah, ya," balas Angeline lalu menutup sambungan telepon.

Bella mematikan layar ponsel dan langsung memasukkan benda itu ke dalam saku mantelnya lagi. Dia berjalan cepat untuk bisa sampai ke rumah seperti yang diinginkan ibu angkatnya.

Bicara mengenai ibu angkat, entah kenapa Bella masih belum bisa mengakui wanita itu sebagai satu-satunya orang yang bisa dia panggil ibu. Setelah dia mengerti bahwa dirinya hanya ditemukan dan dirawat oleh Angeline, Bella jadi sedikit menutup diri. Sebagian dari dirinya menginginkan jati dirinya yang asli. Namun, sebagian besar yang lain merasa takut dan bersalah jika memikirkan itu.

Bukankah dia harus berterima kasih kepada Angeline karena telah menemukannya? Dia bahkan dibesarkan dengan penuh kasih sayang meskipun serba kekurangan. Jika teman-temannya yang lain memutuskan untuk pergi setelah mereka bisa hidup sendiri, Bella lebih memilih untuk tetap tinggal dan memberikan segala yang bisa dia hasilkan kepada adik-adiknya. Semua dia lakukan hanya karena satu alasan, ingin berterima kasih kepada Angeline.

***

"Akhirnya kau sampai," sambut Angeline saat matanya menangkap sosok gadis cantik dan sedikit basah.

Bella menggantung mantelnya dan segera menemui ibunya yang duduk di samping perapian, tepat berhadapan dengan pintu. Padahal salju belum turun, tapi suhu di sini memang sudah sangat dingin. Bella bahkan bisa melihat hawa panas keluar dari mulutnya tadi.

"Semua sudah tidur?" tanya Bella.

"Ya, semua sudah tidur. Apa kau lelah?" jawab Angeline kemudian bertanya.

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Kalau begitu aku akan segera tidur, aku sangat mengantuk. Jangan tidur terlalu malam, ya," ujar Angeline. Dia bangun dari duduknya dan mengecup puncak kepala Bella sebentar.

"Maaf karena aku membuatmu menunggu, Bu."

"Aku hanya bisa tidur tenang jika aku sudah memastikan semua anakku aman," jawab Angeline.

Bella tersenyum untuk membalasnya. Dia merasa tidak bisa mengatakan apapun lagi pada Angeline hingga akhirnya wanita itu pergi. Bella menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir pukul dua belas malam.

Bella memutuskan untuk mematikan perapian dan pergi menuju loteng. Tempat yang dia bersihkan sendiri dan diubahnya menjadi kamar rahasia. Hanya dirinya yang tahu dan bisa masuk ke sana. Dari tempat ini Bella bisa melihat bintang dan bulan dengan jelas. Dia juga bisa melihat pemandangan di bawah sana. Sayang sekali malam ini ada badai dan sinar bulan tidak muncul.

"Ini hari ulang tahunmu, Bella," katanya pada diri sendiri.

"Apa kau tidak membeli kue untuk dirimu sendiri?"

"Ayolah, itu tidak penting, aku sudah terbiasa tidak mendapatkan kue. Itu kekanakan bukan?"

"Bahkan tidak ada yang mengucapkannya padaku."

"Ya, ibu sudah terlalu tua untuk mengingat tanggal lahir semua anaknya. Dia pasti kesulitan."

Bella memperbaiki posisi duduknya dan mengepalkan tangan. Dengan mata terpejam dia siap menyebutkan harapannya pada Tuhan. Tiga detik sebelum pukul dua belas malam.

"Aku harap, a-"

NGIIINGGG!

"AKH!"

Bella menutup kedua telinganya karena dengung itu terlalu keras. Dengan susah payah dia menahan suara agar keluarganya di bawah sana tidak terbangun. Namun, dia benar-benar merasa kesakitan.

"Aakhhh! Suara apa ini?!"

NGIIINGG!!!

Telinga terasa seperti akan pecah. Bella sampai menangis karena takut hal itu akan benar-benar terjadi. Tubuhnya meringkuk dengan tangan menggenggam erat rambut panjangnya.

"Akh! Panas! Apa ini?!" erangnya saat tiba-tiba saja pergelangan tangan kirinya memanas. Sangat panas sampai rasanya tangan Bella akan melepuh.

Dengan wajah merah dan matanya yang berkaca-kaca, Bella melihat pergelangan tangannya yang benar-benar memerah. Bukan seperti merah pada kulit, tapi tangannya benar-benar mengeluarkan cahaya merah. Bella menggenggamnya dengan tangan kanan, berharap cahaya itu hilang. Namun, itu sama sekali berbeda dengan ekspektasinya. Cahaya itu terlalu terang hingga sulit ditutupi.

"Kumohon berhentilah!" pinta Bella dalam hati.

"Tolong aku!"

"Siapa?!"

Bella terkejut dengan suara samar yang berbaur dengan dengungan itu. Dia mencari-cari suara wanita itu ke setiap sudut ruangan tapi tidak menemukan apapun. Itu aneh, menakutkan, dan membuat Bella merinding. Suara itu terdengar samar tapi sangat jelas. Seolah pemilik suara itu ada di samping tubuhnya dan berbisik padanya.

"Tolong aku!"

"Siapa kau?!" teriak Bella.

"Aku sangat membutuhkan pertolonganmu!"

"Tidak, tidak! Aku pasti sudah gila! Tidak ada siapapun di sini, Bella! Kau gila!" ucap Bella pada dirinya sendiri.

Dia menahan tangannya yang panas dan membiarkan suara-suara aneh itu memenuhi seisi kepalanya. Tangisnya masih mengalir dan darah di bibirnya masih belum dia sadari. Tubuhnya meringkuk di lantai yang dingin.

"Aku mohon pergilah ...."

*****

"Humans tend to be more afraid of things that are uncertain and invisible."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status