"Apa?! Aku tidak mendapatkan itu dari siapapun! Itu milikku! Cepat kembalikan apa yang sudah kau ambil!" kesal Adrea. Dia berusaha menyerang wanita tersebut menggunakan tangannya. Namun, Adrea sama sekali tidak bisa meraihnya. Wanita itu sama sekali tidak bisa disentuh meskipun Adrea sudah yakin mendapatkannya. Dia seperti cahaya yang tidak memiliki bentuk tapi Adrea bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya. Dia seperti fatamorgana yang membingungkan.
"Kembalikan milikku!" pinta Adrea lagi."Maukah kau membuat kesepakatan denganku?" tawar wanita misterius.Adrea sampai berhenti menyerang karena mendengar itu. "Kesepakatan?""Akan aku pinjamkan lagi anugerah itu untukmu, tapi kau harus memakainya untuk kebaikan. Jika kau tidak menuruti kesepakatan ini, maka akan aku ambil kembali anugerahmu dan menggantinya dengan karma ... dengan kata lain, ini adalah kesempatanmu untuk memperbaiki," jelasnya."Karma? Hahah apa itu? Kau bercanda?" ejek Adrea."Kuberi satu kesempatan lagi untukmu, jika kau menolak, aku akan memberikan karmamu sekarang.""Kenapa aku harus menerima karma atau apalah itu?! Aku tidak melakukan apapun!""Kau menggunakan anugerahmu dengan tidak semestinya, aku akan memberimu kesempatan kedua untuk memperbaiki jika kau mau dan bisa berjanji," jelasnya.Adrea berpikir selama beberapa saat. Ego di dalam dirinya menolak untuk menuruti wanita itu. Dia tidak pernah menerima perintah seumur hidupnya, kenapa dia harus melakukan itu sekarang? Namun, dia juga tidak rela kekuatannya diambil begitu saja."Ck, baiklah, kuturuti maumu."Namun, di masa depan nanti, Adrea melanggar perkataannya sendiri.***"Tidak! Aku mohon maafkan aku!" pekik Adrea.Dia menangis tersedu-sedu karena kilas balik yang menakutkan itu. Dia menyesali segalanya kini. Entah kenapa dia malah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan wanita itu dulu. Seharusnya dia memanfaatkan itu dengan baik dan melakukan apa yang diperintahkan wanita itu."Aku mohon, siapapun dirimu, maafkan aku! Aku mohon bantu aku sekali ini saja! Semua kutukan itu membuatku gila," racaunya.Dia kembali mengingat semua kalimat kebencian yang diberikan rakyat kecil padanya dulu. Semua kutukan dan ratapan itu menusuknya sangat dalam kini. Dia tidak tahu lagi sebanyak apa yang dia lakukan pada mereka dulu. Dia juga takut mengenai sebanyak apa balasan yang akan dia terima.Miskin sejak kecil, kekerasan, dan kini menjadi budak dari raja yang kejam. Rasanya sudah sangat melelahkan tapi Adrea tahu ini belum seberapa. Balasan ini hanya sebagian kecil dan dia merasa takut dengan sisa balasan yang akan didapatkannya."Aku mohon maafkan aku!"Adrea meremas rambutnya dengan kasar karena tidak kuat dengan sakit di kepalanya. Tubuhnya merunduk sangat dalam di sana. Seharusnya dia memang tidak meremehkan kehidupan orang yang lebih lemah darinya. Dia tahu kesalahannya tapi hukuman ini sangat menyakitkan. Kenapa dia dulu tidak bisa melihat tangisan dari orang-orang itu? Kenapa dia bisa dengan mudah memisahkan seorang ibu dan anak? Apa seperti ini rasanya menyesal?"Kau sudah mengingatnya.""K–kau datang? Aku mohon maafkan aku! Aku ... aku akan memperbaikinya, aku mohon!" seru Adrea begitu mendengar suara indah itu. Dia merangkak dengan cepat ke arahnya dan bersujud karena terlalu takut."Bukankah sudah aku bilang bahwa Dia akan memberikanmu karma?""Tidak, tidak, aku mohon maafkan aku! Aku tidak tahu rasanya sangat menyakitkan seperti ini! A–aku mohon bebaskan aku, aku akan memperbaikinya!" pinta Adrea."Kau sudah menggunakan kesempatanmu untuk memperbaiki, kau hanya perlu menerima semua karmamu kini," balasnya.Adrea mengangkat kepalanya dan menatap wanita bertudung itu. Lagi-lagi dia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di balik kain putih tersebut. Dia penasaran, tapi rasa takutnya lebih mendominasi hingga Adrea kembali menundukkan kepala ke lantai."Aku mohon bantu aku sekali lagi! Aku berjanji akan melakukannya seperti maumu!" pinta Adrea tanpa lelah. Jika dengan memohon semalaman wanita itu akan memberinya pengampunan, maka Adrea akan melakukannya tanpa ragu. Dia sudah sangat lelah dengan semua yang dialaminya. Dia hanya ingin bebas dari neraka ini. Katakanlah dia tidak tahu diri dan tidak tahu malu, tapi dia sangat menginginkan kebebasan."Aku tidak datang untuk membantumu, aku hanya menyapa," ucap wanita misterius."Tidak! Kau harus membantuku! Aku sangat membutuhkan bantuanmu! Aku bisa mati jika terus di sini! D–di sini sangat menakutkan! Aku tidak bisa! Aku mohon sekali ini saja."Adrea mencoba meraih kaki yang sedikit mengambang di udara itu. Namun, sekali lagi dia tidak bisa menyentuhnya. Wanita itu benar-benar seperti fatamorgana yang membingungkan. Dia keindahan yang membutakan semua orang tapi sangat menakutkan."Aku mohon," pinta Adrea tanpa lelah."Takdirmu sudah digariskan, kau akan mendapatkan bantuan dari orang lain, bukan dariku. Berdoalah agar mereka datang, jika bukan mereka, maka kau akan menerima balasan sesuai porsimu yang sesungguhnya. Anggaplah mereka sebagai alatmu untuk memperbaiki semuanya, bantu mereka dengan baik dan jaga mereka, itu adalah hukumanmu yang selanjutnya.""Apa? Bagaimana bisa? Siapa mereka? Bagaimana aku bisa menemuinya?" tanya Adrea."Mereka adalah keturunanmu yang lahir di waktu yang sama denganmu. Berdoa dan teruslah berharap, maka mereka akan datang.""Tu–tunggu! Bagaimana bisa aku menjaga mereka jika menjaga diriku sendiri saja tidak bisa? Dan bagaimana bisa mereka menolongku? Sebenarnya siapa yang menolong siapa di sini?! Aku yang membutuhkan bantuan, kenapa aku harus membantu mereka?!"Adrea merasa bingung dengan apa yang dikatakan wanita itu. Keturunan? Bagaimana bisa dia bertemu keturunannya? Apa yang sebenarnya wanita misterius itu inginkan? Padahal wanita itu bilang mereka akan datang untuk membantu Adrea, tapi Adrea harus membantu mereka? Apa yang bisa Adrea lakukan untuk membantu mereka?"TIDAK, TIDAK! JANGAN PERGI! AKU MOHON!" teriak Adrea histeris saat melihat tubuh wanita itu semakin memudar dan akhirnya hilang di udara."AKU MOHON KEMBALI! KEMANA KAU PERGI?! AKU TIDAK MENGERTI!"Adrea menatap seisi ruangan untuk memastikan keberadaan wanita itu. Sayang sekali matanya tidak melihat apapun. "Bagaimana bisa kau pergi begitu saja? Bawa aku bersamamu, aku mohon ...," lirihnya.Dia kembali menangis dan memeluk dirinya sendiri di lantai. Dia sangat ketakutan setelah mengingat semua masa lalunya. Belum lagi semua perkataan wanita misterius yang seperti mantra sihir itu. Apa dia akan datang lagi? Tidak bisakah dia membantu Adrea untuk terakhir kali? Rasanya Adrea ragu untuk hal itu. "Apakah benar kalian akan datang?" bisik Adrea."Aku berjanji akan melakukan apapun untuk kalian jika kalian datang. Aku mohon ...."*****"Destiny is predetermined and punishment is the most appropriate reward."Adrea menatap wajahnya di cermin. Bayangan cantik yang sangat dibencinya itu benar-benar membuat Adrea muak. Seakan terus mengingatkan Adrea tentang seberapa kotor dirinya. Dulu, Adrea bahkan tidak ingin bercermin sedetik pun. Namun, kini dia merasa lelah. Rasanya masih menyakitkan, masih membuat hatinya marah, tapi Adrea sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya dan hal ini adalah yang paling menyedihkan. Setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu Adrea memohon, tidak ada siapa pun yang datang untuk menolongnya. Sampai semalam pun Adrea masih memohon dan berdoa untuk kehadiran mereka, dia masih percaya. Meski begitu, kini dia merasa segalanya mustahil. Bantuan itu tidak akan pernah datang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggang Adrea. Raja itu datang begitu saja dengan kekuatannya. Adrea sudah terbiasa, dia bahkan tidak terkejut lagi. Adrea hanya membiarkan pria itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma tubuh yang
Tepat di malam itu, berita-berita tentang gempa yang terjadi di kota mereka mulai muncul satu per satu. Informasi menyebar dengan sangat cepat. Seluruh proyektor yang ada di negeri itu menampilkan sinar biru yang membentuk berita tiga dimensi. Mereka bisa melihat dengan jelas depan belakang si pembawa acara dan kondisi tempat-tempat yang diliput para reporter. Di antara banyaknya tempat yang terdampak, ada satu tempat yang hancur total. Semuanya runtuh dan merata dengan tanah. Bahkan setelah itu terjadi masalah listrik yang mengakibatkan kobaran api muncul dan membesar di sana. Dua kecelakaan itu terjadi dengan mendadak hingga tidak ada yang mewaspadainya. Tidak ada peringatan dari organisasi yang menangani masalah bencana alam. Bahkan alat pendeteksi api rusak sebelum sempat mengeluarkan sirinenya. Riany, ibu Eve menangis tersedu-sedu setelah menyadari anaknya itu sedang berada di sana saat kejadian. Petugas yang menangani masalah ini mengatakan bahwa dia mungkin tertimbun dan ter
Gaia menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di hadapannya. Tidak seperti yang dia bayangkan, ternyata Eve sangat lemah. Padahal Gaia baru bersenang-senang selama beberapa jam. Sayang sekali. Tubuh Eve terlihat kacau. Rambutnya yang terpotong tak karuan, sekujur tubuhnya yang dikuliti, dan wajah yang penuh darah. Beruntung tidak ada satu bagian tubuhnya yang terpisah, kecuali satu. Gaia melihat kembali sebuah bola mata yang dia simpan di dalam wadah berbentuk tabung. Hanya mata berwarna hazel itu yang bisa menjadi kenangan untuk Gaia. Bagaimana pun Gaia harus mengingat Eve yang sudah menemaninya bermain. "Aku tidak tertarik pada bangkai," ucap Gaia. Gadis itu berdiri dan menatap rendah mayat tak berdaya Eve. Rambut pendeknya terlihat sempurna untuk gadis itu, tapi Eve harus merelakan Gaia karena dia harus berhenti di sini. Eve sudah tidak menarik di matanya. "Aku akan meratakan tempat ini dengan tanah, sebaiknya kau sedikit menjauh jika tidak ingin terkubur." Gaia membalikkan tubu
Semuanya menjadi hening saat Eve tidak melontarkan kalimat dinginnya lagi. Mereka bahkan bisa mendengar suara angin berdesir. Malam yang sepi itu semakin terasa dingin. Padahal tidak ada tragedi yang terjadi di sana. Setidaknya belum terjadi. "Baiklah, maafkan aku, aku akan mengajarimu setelah aku menemukan ibuku," ucap Eve akhirnya. Gaia mengulum bibir bawahnya beberapa kali. Dia sedang menimbang-nimbang, apakah harus memaafkan Eve atau tidak. Selang beberapa menit, akhirnya, gadis itu menganggukkan kepala. "Baiklah, aku maafkan," ucapnya. Eve menjawab dengan anggukan lalu langsung berbalik badan, berniat mencari ibunya lagi. Namun, ketika dia ingin melangkah, kakinya tertahan oleh sesuatu. Tanpa Eve sadari kakinya tertanam di dalam tanah. Dia menatap sekitar lantai yang tadinya dilapisi keramik kini berubah menjadi tanah sepenuhnya. Tanah itu terlihat seperti pasir yang ada di pantai, tapi saat Eve mencoba bergerak, pasir-pasir itu mengeras seperti tanah liat. "Kau berniat untu
Mereka menikmati makanannya dengan lahap. Tidak ada yang bisa membuat mereka berhenti makan di rumah yang juga merupakan sebuah kedai ini. Para gelandangan itu terkesan sudah menahan lapar selama tiga hari. "Aku pula-" Seorang gadis datang dan mengalihkan perhatian mereka semua. Ke tujuh orang tersebut saling pandang dengan gadis berwajah manis itu. Gadis itu menggunakan nada yang ceria tadi, tapi dia mulai menatap dengan pandangan tidak suka setelah menyadari kehadiran tujuh orang yang asing di tempatnya. "Eve? Kau sudah pulang?" sahut si ibu yang baru saja keluar dari dapur. "Ibu? Siapa mereka semua?" tanya gadis yang dipanggil Eve tersebut dengan nada ketus.Ibunya hanya bisa tersenyum tidak enak kepada para gelandangan yang dia bawa lalu mengajak paksa anaknya ke tempat lain di rumah. Setelah mereka menghilang, Gaia memutuskan untuk kembali makan diikuti yang lain. Sementara itu, di dalam dapur, sepasang ibu dan anak sedang berdebat mengenai hal yang sudah pernah mereka bicara
"Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Gaia. Untuk ke sekian kalinya Gaia melihat ke atas langit hanya untuk memastikan apa awan sudah berbaik hati menutupi matahari. Namun, nyatanya matahari itu masih bersinar dengan sombong. Dia bahkan tidak mau mengalah dan menurunkan panasnya sedikit. Hampir seharian mereka terluntang-lantung di tempat aneh ini tanpa makan dan minum. Mereka bahkan tidak memiliki tujuan, hanya berjalan tanpa arah. Keringat pun sudah mengalir di sekujur tubuh mereka. Padahal mereka sudah meninggalkan kawasan laut cukup jauh dan ini pun bukan padang pasir. Hanya lapangan hijau dan dikelilingi pohon-pohon besar. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan tengah sejak tadi karena takut berurusan dengan hewan buas jika melewati pohon-pohon besar itu. Akan lebih parah jika mereka tersesat tanpa persiapan apa pun. "Aku lapar," keluh Gaia lagi. Matanya sudah mulai berkabut. Meski begitu, dia masih berusaha mengendalikan dirinya sekuat mungkin agar tetap sadar. "Aku–