Share

5. Bellatrix Aalto: Good Girl Syndrome

Matahari terbit di timur dengan cerahnya. Menyapa wajah sembab yang sedang tertidur di atas lantai yang dingin. Bulu mata Bella bergerak pelan, menandakan bahwa dia terganggu dengan cahaya yang masuk ke ruangan. Tubuh itu menggeliat, mencoba untuk mengumpulkan kesadaran dan bangun.

"Ahh, kepalaku sakit," keluh Bella sambil memijat pelan pelipisnya. Dia duduk dengan mata yang masih terpejam.

"Rasanya aku bermimpi aneh semalam," tambahnya.

Dia berusaha mengingat kembali mimpi yang datang saat dirinya tertidur. Bella tidak bisa mengingat dengan jelas hal itu tapi dia bisa merasakan bahwa mimpi tersebut benar-benar menakutkan. Kepalanya sampai berdenyut kencang saat ini.

"Bella! Di mana kau?!" teriak Angeline dari bawah.

Bella yang namanya disebut langsung terbangun sempurna dan pergi dari loteng. Dia nyaris berlari agar Angeline tidak mencarinya lebih lama. Kenapa juga dia bisa tertidur di loteng?

"Aku di sini, Bu," ujar Bella setelah menemukan Angeline sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur.

"Jarang sekali kau terlambat bangun, apa kau tidak akan pergi bekerja?" tanya Angeline sambil menatap anaknya yang lebih tinggi itu.

"Ah, ya, aku sedikit terlambat bangun, tapi aku bisa bersiap sebentar untuk bekerja," jawab Bella.

"Kalau begitu pergilah, aku bisa melakukan ini sendiri."

"Apa tidak masalah?" tanya Bella sedikit ragu, mengingat ibunya itu perlu membuat makanan untuk lebih dari dua puluh orang.

"Aku akan meminta bantuan bibi Benedict," ucap Angeline mengingatkan Bella pada wanita berusia empat puluhan yang tinggal di samping panti asuhan. Wanita itu sangat baik dan dengan senang hati selalu membantu Angeline kapanpun mereka membutuhkannya.

"Maafkan aku, Bu."

"Tidak masalah, ayo bersiaplah, jangan lupa sempatkan untuk sarapan– tunggu ...." Angeline memotong sendiri kalimatnya.

Dia meraih tangan kiri Bella dan mendapatkan sebuah tatto bergambar bunga mawar yang ditusuk sebuah pedang di pergelangannya. "Kau membuat tatto?" tanyanya.

Bella ikut melihat ke arah pergelangan tangannya, lebih tepatnya ke arah tatto itu. Ingatan Bella langsung berputar ke beberapa waktu silam. Saat tangannya kesakitan dan terasa terbakar. Tepat di malam ulang tahunnya. Ingatan yang sempat hilang itu sekarang muncul dengan sempurna tanpa ada yang terlewat sedetik pun.

"Itu ... y–ya, aku membuat tatto ... bagaimana bentuknya menurutmu?" jawab Bella berbohong. Dia hanya tidak ingin ibunya khawatir. Lagipula dia akan mengatakan apa? Tiba-tiba saja semalam dia mendengar dengungan hebat dan suara-suara aneh serta tangannya mengeluarkan cahaya merah yang menakutkan. Bahkan cahaya merah itu membuat tatto tanpa sepengetahuan Bella. Parahnya dia mengira itu hanya sebuah mimpi yang ternyata adalah kenyataan.

Mungkin Bella akan dianggap sakit oleh keluarganya.

"Itu bagus, tapi kenapa harus mawar yang tertusuk pedang? Jadi terlihat suram," komentar Angeline.

"Entahlah ... aku hanya menyukainya," jawab Bella.

"Ya ... tidak masalah, lakukan semua yang kau suka, antingmu itu juga bagus." Angeline tersenyum dengan lembut kepada Bella. Namun, anaknya itu malah dibuat bingung dengan perkataan Angeline.

Bella menyentuh daun telinganya dan merasakan sebuah anting menempel di sana. Dia bingung, tapi kepalanya mengangguk. "Aku mendapatkannya dari teman, a–apa terlihat cocok untukku?" tanya Bella, berusaha memberikan reaksi senatural mungkin agar Angeline tidak curiga.

"Itu sangat cocok untukmu, warnanya cantik," jawab Angeline.

"Terima kasih ... ngg ... kalau begitu aku akan pergi dan bersiap-siap," ucapnya lalu pergi menuju kamar setelah mendapat anggukan Angeline.

***

Bella terus menatap gambar di pergelangan tangannya. Dia sangat bingung dan tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa semalam dia tiba-tiba mengalami hal aneh seperti itu. Apa artinya tatto itu?

Belum lagi anting yang datangnya antah berantah ini. Bella menatap pantulan wajahnya di layar monitor. Meskipun itu gelap, Bella bisa melihat dengan jelas anting berwarna merah muda yang menggantung di sana. Anting ini terlihat berkelas dan mahal. Bella jadi merasa takut bahwa dirinya mungkin sedang dijebak. Mungkinkah dia terhipnotis? Atau mungkin Bella dijadikan kambing hitam oleh seseorang? Apa jaman sekarang masih ada yang seperti itu?

"Tolong aku," bisik seseorang.

Mungkin lebih tepatnya suara itu muncul di dalam kepala Bella. Persis seperti beberapa jam yang lalu. Suaranya sangat jelas meskipun Bella tidak melihat siapapun yang berbisik kepadanya.

"Aku sangat membutuhkan kalian," bisik suara itu lagi.

Bella menatap ke seisi ruangan. Di toko roti ini, dia hanya sendiri tanpa orang lain ataupun pelanggan. Sepertinya ini pagi yang cukup sibuk bagi orang di luar sana. Sementara di dalam, satu temannya sibuk membuat roti dan kue di bagian dapur. Benar-benar tidak ada siapapun  di sekitar Bella dan dia mulai meragukan kewarasannya.

"Tolong aku, kumohon," pinta suara itu lagi, kali ini diikuti oleh kilasan balik yang aneh. Dalam sepersekian detik tadi, rasanya Bella melihat seorang wanita cantik sedang mengepalkan tangannya di depan dada, di sebuah laut yang indah. Dia seperti berdoa.

"Apa itu?" tanya Bella entah pada siapa. Dia menutup rapat matanya dengan harapan kesadarannya akan kembali. Entah kenapa dia berhalusinasi tanpa sebab. Dia benar-benar gila saat ini.

"Aku sangat membutuhkan kalian," bisik suara itu lagi.

"Aku benar-benar gila," keluh Bella.

"Bella?!"

"Ya?!" Bella tersentak karena suara yang memanggil dirinya disertai guncangan di pundaknya.

"Apa yang terjadi padamu? Aku memanggil sejak tadi," keluh Rose.

"B–benarkah? Ah, maafkan aku," pinta Bella.

"Ini bukan seperti dirimu yang biasanya. Kemana perginya senyummu yang manis? Sejak datang kau hanya memperlihatkan wajah murung. Apa kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, tidak ada yang terjadi padaku, kau tidak perlu khawatir," jawab Bella.

"Aku meragukannya. Kau selalu mengatakan sedang baik-baik saja agar orang lain tidak khawatir, padahal menjadi tidak baik-baik saja itu bukan masalah. Sesekali perlihatkan kekhawatiranmu padaku, setidaknya agar aku yakin kau mempercayaiku," kata Rose.

Selama ini, dibanding merasa senang karena selalu diperhatikan oleh Bella, Rose lebih merasa temannya itu tidak mempercayainya. Bella selalu terkesan menutup diri darinya. Selalu tersenyum bahkan nyaris tidak pernah menangis di depannya. Dia tidak pernah sekalipun melihat Bella mengeluh.

"Aku tidak merasa seperti itu. Aku bahkan sangat mempercayaimu. Aku benar-benar sedang baik-baik saja."

Bella bahkan tidak menyadari bahwa dirinya selalu menutup diri dari orang lain. Dia hanya merasa nyaman melakukan itu. Bella lebih menyukai tersenyum di depan orang lain dibandingkan orang lain melihat Bella menangis. Seharusnya itu bukan masalah bukan? Membuat orang lain khawatir itu bukan kegemaran Bella sama sekali.

*****

"Sometimes, It's okay to not be okay."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status