Matahari terbit di timur dengan cerahnya. Menyapa wajah sembab yang sedang tertidur di atas lantai yang dingin. Bulu mata Bella bergerak pelan, menandakan bahwa dia terganggu dengan cahaya yang masuk ke ruangan. Tubuh itu menggeliat, mencoba untuk mengumpulkan kesadaran dan bangun.
"Ahh, kepalaku sakit," keluh Bella sambil memijat pelan pelipisnya. Dia duduk dengan mata yang masih terpejam."Rasanya aku bermimpi aneh semalam," tambahnya.Dia berusaha mengingat kembali mimpi yang datang saat dirinya tertidur. Bella tidak bisa mengingat dengan jelas hal itu tapi dia bisa merasakan bahwa mimpi tersebut benar-benar menakutkan. Kepalanya sampai berdenyut kencang saat ini."Bella! Di mana kau?!" teriak Angeline dari bawah.Bella yang namanya disebut langsung terbangun sempurna dan pergi dari loteng. Dia nyaris berlari agar Angeline tidak mencarinya lebih lama. Kenapa juga dia bisa tertidur di loteng?"Aku di sini, Bu," ujar Bella setelah menemukan Angeline sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur."Jarang sekali kau terlambat bangun, apa kau tidak akan pergi bekerja?" tanya Angeline sambil menatap anaknya yang lebih tinggi itu."Ah, ya, aku sedikit terlambat bangun, tapi aku bisa bersiap sebentar untuk bekerja," jawab Bella."Kalau begitu pergilah, aku bisa melakukan ini sendiri.""Apa tidak masalah?" tanya Bella sedikit ragu, mengingat ibunya itu perlu membuat makanan untuk lebih dari dua puluh orang."Aku akan meminta bantuan bibi Benedict," ucap Angeline mengingatkan Bella pada wanita berusia empat puluhan yang tinggal di samping panti asuhan. Wanita itu sangat baik dan dengan senang hati selalu membantu Angeline kapanpun mereka membutuhkannya."Maafkan aku, Bu.""Tidak masalah, ayo bersiaplah, jangan lupa sempatkan untuk sarapan– tunggu ...." Angeline memotong sendiri kalimatnya.Dia meraih tangan kiri Bella dan mendapatkan sebuah tatto bergambar bunga mawar yang ditusuk sebuah pedang di pergelangannya. "Kau membuat tatto?" tanyanya.Bella ikut melihat ke arah pergelangan tangannya, lebih tepatnya ke arah tatto itu. Ingatan Bella langsung berputar ke beberapa waktu silam. Saat tangannya kesakitan dan terasa terbakar. Tepat di malam ulang tahunnya. Ingatan yang sempat hilang itu sekarang muncul dengan sempurna tanpa ada yang terlewat sedetik pun."Itu ... y–ya, aku membuat tatto ... bagaimana bentuknya menurutmu?" jawab Bella berbohong. Dia hanya tidak ingin ibunya khawatir. Lagipula dia akan mengatakan apa? Tiba-tiba saja semalam dia mendengar dengungan hebat dan suara-suara aneh serta tangannya mengeluarkan cahaya merah yang menakutkan. Bahkan cahaya merah itu membuat tatto tanpa sepengetahuan Bella. Parahnya dia mengira itu hanya sebuah mimpi yang ternyata adalah kenyataan.Mungkin Bella akan dianggap sakit oleh keluarganya."Itu bagus, tapi kenapa harus mawar yang tertusuk pedang? Jadi terlihat suram," komentar Angeline."Entahlah ... aku hanya menyukainya," jawab Bella."Ya ... tidak masalah, lakukan semua yang kau suka, antingmu itu juga bagus." Angeline tersenyum dengan lembut kepada Bella. Namun, anaknya itu malah dibuat bingung dengan perkataan Angeline.Bella menyentuh daun telinganya dan merasakan sebuah anting menempel di sana. Dia bingung, tapi kepalanya mengangguk. "Aku mendapatkannya dari teman, a–apa terlihat cocok untukku?" tanya Bella, berusaha memberikan reaksi senatural mungkin agar Angeline tidak curiga."Itu sangat cocok untukmu, warnanya cantik," jawab Angeline."Terima kasih ... ngg ... kalau begitu aku akan pergi dan bersiap-siap," ucapnya lalu pergi menuju kamar setelah mendapat anggukan Angeline.***Bella terus menatap gambar di pergelangan tangannya. Dia sangat bingung dan tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa semalam dia tiba-tiba mengalami hal aneh seperti itu. Apa artinya tatto itu?Belum lagi anting yang datangnya antah berantah ini. Bella menatap pantulan wajahnya di layar monitor. Meskipun itu gelap, Bella bisa melihat dengan jelas anting berwarna merah muda yang menggantung di sana. Anting ini terlihat berkelas dan mahal. Bella jadi merasa takut bahwa dirinya mungkin sedang dijebak. Mungkinkah dia terhipnotis? Atau mungkin Bella dijadikan kambing hitam oleh seseorang? Apa jaman sekarang masih ada yang seperti itu?"Tolong aku," bisik seseorang.Mungkin lebih tepatnya suara itu muncul di dalam kepala Bella. Persis seperti beberapa jam yang lalu. Suaranya sangat jelas meskipun Bella tidak melihat siapapun yang berbisik kepadanya."Aku sangat membutuhkan kalian," bisik suara itu lagi.Bella menatap ke seisi ruangan. Di toko roti ini, dia hanya sendiri tanpa orang lain ataupun pelanggan. Sepertinya ini pagi yang cukup sibuk bagi orang di luar sana. Sementara di dalam, satu temannya sibuk membuat roti dan kue di bagian dapur. Benar-benar tidak ada siapapun di sekitar Bella dan dia mulai meragukan kewarasannya."Tolong aku, kumohon," pinta suara itu lagi, kali ini diikuti oleh kilasan balik yang aneh. Dalam sepersekian detik tadi, rasanya Bella melihat seorang wanita cantik sedang mengepalkan tangannya di depan dada, di sebuah laut yang indah. Dia seperti berdoa."Apa itu?" tanya Bella entah pada siapa. Dia menutup rapat matanya dengan harapan kesadarannya akan kembali. Entah kenapa dia berhalusinasi tanpa sebab. Dia benar-benar gila saat ini."Aku sangat membutuhkan kalian," bisik suara itu lagi."Aku benar-benar gila," keluh Bella."Bella?!""Ya?!" Bella tersentak karena suara yang memanggil dirinya disertai guncangan di pundaknya."Apa yang terjadi padamu? Aku memanggil sejak tadi," keluh Rose."B–benarkah? Ah, maafkan aku," pinta Bella."Ini bukan seperti dirimu yang biasanya. Kemana perginya senyummu yang manis? Sejak datang kau hanya memperlihatkan wajah murung. Apa kau baik-baik saja?""Aku baik-baik saja, tidak ada yang terjadi padaku, kau tidak perlu khawatir," jawab Bella."Aku meragukannya. Kau selalu mengatakan sedang baik-baik saja agar orang lain tidak khawatir, padahal menjadi tidak baik-baik saja itu bukan masalah. Sesekali perlihatkan kekhawatiranmu padaku, setidaknya agar aku yakin kau mempercayaiku," kata Rose.Selama ini, dibanding merasa senang karena selalu diperhatikan oleh Bella, Rose lebih merasa temannya itu tidak mempercayainya. Bella selalu terkesan menutup diri darinya. Selalu tersenyum bahkan nyaris tidak pernah menangis di depannya. Dia tidak pernah sekalipun melihat Bella mengeluh."Aku tidak merasa seperti itu. Aku bahkan sangat mempercayaimu. Aku benar-benar sedang baik-baik saja."Bella bahkan tidak menyadari bahwa dirinya selalu menutup diri dari orang lain. Dia hanya merasa nyaman melakukan itu. Bella lebih menyukai tersenyum di depan orang lain dibandingkan orang lain melihat Bella menangis. Seharusnya itu bukan masalah bukan? Membuat orang lain khawatir itu bukan kegemaran Bella sama sekali.*****"Sometimes, It's okay to not be okay."Rio de Janeiro, Brasil.***"Lusa nanti ayah akan mengundang banyak tamu penting ke rumah. Sebaiknya kalian tidak banyak bertingkah dan memperlihatkan sikap yang baik." Vins tidak mendengarkan perkataan ayahnya dengan baik. Dia memainkan makanannya menggunakan pisau. Menusuknya dengan brutal kemudian mencincangnya sampai menjadi bubur. Sementara itu, ibu dan saudaranya sedang makan dengan tenang sambil mendengarkan perkataan kepala keluarga di sana. "Kau mendengarku, Vins?" tegur William, ayah dari Vins, setelah melihat sikap anaknya."Tidak," jawab Vins dengan santai. Dia masih mengaduk-aduk makanannya hingga menjadi tidak berbentuk. "Apa?!" "Apa kau tuli? Kau menanyaiku apa aku mendengarmu atau tidak, tapi kau sendiri tidak mendengarku," ejeknya. "Berani sekali kau mengejek ayahmu seperti itu! Berhentilah membuat masalah, aku terus mendapat laporan karena kau mengacau." "Benarkah? Masalah mana yang kau bicarakan? Aku tidak mengingatnya satupun. Lagipula, untuk apa mereka menga
Vins hendak mengusap keningnya yang dialiri darah menggunakan lengan bajunya yang panjang, tapi Lily menghentikan dengan cepat. Tangan kecil itu menggenggam tangan Vins tanpa rasa takut. Dia berusia tiga tahun lebih muda dari tuannya, tapi dia sudah mengerti dengan ketidak adilan yang diterima Vins sejak lama. "Jangan lakukan itu, aku mohon ikutlah denganku dan biarkan aku mengobati semua lukamu," pinta Lily. "Lepaskan aku," bentak Vins dan dengan sedikit tenaga menghempaskan tangan Lily. Meski begitu, Lily yang sempat terdorong kembali memegang tangan Vins dengan kencang. Dia bahkan menarik Vins untuk mengikutinya ke gazebo di halaman belakang rumah. "Apa yang kau lakukan?! Jangan kurang ajar! Lepaskan aku!" perintah Vins di tengah kondisinya yang ditarik paksa oleh Lily "Tidak mau! Aku harus mengobati lukamu itu lebih dulu!" tolak Lily dengan suara lebih keras. Dia bahkan menghentikan langkahnya dan menyempatkan untuk menatap Vins dengan tajam meskipun air mata menganggu pandan
Vins meneguk minuman keras yang ada di tangannya. Dia seperti orang yang kehausan selama tiga hari. Namun, bukannya minum air mineral, dia malah minum alkohol. "Berani sekali dia masuk ke dalam kamarku seperti itu," kesal Vins. Dia mengingat kembali kejadian malam kemarin saat dirinya sedang dalam pengaruh alkohol. Dia sedang tertidur dengan nyaman, tapi tiba-tiba saja seseorang berbisik padanya dan terus meminta tolong. Vins sudah mengusirnya berkali-kali meskipun tanpa membuka matanya yang terpejam. Namun, wanita itu tidak juga pergi selama beberapa saat. Kini dia tahu bisikan itu berasal dari Lily. Bisikan di taman belakang tadi sudah membuktikan semuanya. Apa yang sedang direncanakan gadis itu? Apa dia sedang mencoba untuk menggoda Vins?"Minuman jenis apa ini?! Kenapa tidak memberikan efek apapun?! Berikan aku sesuatu yang lebih!" bentak Vins kepada para bartender khusus yang menjamunya. "Tuan, apa kau tidak puas dengan pelayanan mereka? Maukah kau jika aku yang melayanimu?" g
Palembang, Indonesia.***"Kau lihat pria yang sedang duduk di bawah pohon itu?" "Wah, dia tampan sekali, kenapa dia diam di sana sendiri?" Mereka menatap seorang pria yang memiliki tinggi lebih dari enam kaki itu. Dia terlihat tenang dengan headphone yang menutupi kedua telinganya. Matanya tidak bergerak sedikitpun dari buku yang entah apa judulnya itu. Yang jelas, dia terlihat sangat menikmati dunianya sendiri. "Dia Neve Alba, mahasiswa tahun terakhir yang kabarnya sama sekali tidak pernah memulai interaksi dan pembicaraan dengan siapapun selama dia kuliah di sini," jelas wanita pertama kepada juniornya. "Benarkah?" Wanita kedua yang baru memulai masa kuliahnya itu menatap tertarik pada Neve yang berada tak jauh darinya. "Ya, dia sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan kemauannya sendiri. Meski begitu, dia memiliki banyak penggemar dan para pria tidak ingin mengganggunya." "Kenapa?" tanya seorang pria yang juga merupakan mahasiswa ta
Prediksi semua orang benar, Neve menang, sekali lagi. Namun, Neve sama sekali tidak peduli. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan tenang. Diraihnya tas yang tergeletak di pinggir lapangan. Baru saja dia ingin pergi, tapi seseorang menghentikannya. Gadis itu, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai barang taruhan. "Kau menang," ucap Zia. Dia datang dengan senyum yang merekah, entah apa yang sedang dia pikirkan di otaknya yang kecil itu. Sementara itu, Jack, pacarnya yang baru saja dikalahkan memandang tidak suka pada Neve. Dia sama sekali tidak rela pacarnya direbut dengan cara seperti ini. Namun, dia sendiri sudah menyetujui hal itu. "Aidan!" panggil Neve. Untuk pertama kalinya pria itu membuka mulut lebih dulu dan menyebut nama orang lain. Aidan yang dipanggil pun merasa terkejut, begitu juga dengan semua orang yang mendengar. Aidan langsung mendatangi Neve sambil berlari. "Kau memanggilku? Serius? Hahaha akhirnya kau memanggilku!" serunya. Dia bahk
"Neve?!" Beberapa saat lalu, Srikandi entah kenapa merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang buruk terjadi. Dia sulit tidur dan memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Namun, saat kakinya melewati kamar Neve, Srikandi mendengar rintihan seperti menahan sakit. Dia memanggil anaknya itu berkali-kali, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Yang didengarnya malah rintihan menahan sakit. Tanpa banyak bicara Srikandi mengambil kunci cadangan yang dia punya dan kembali ke depan kamar Neve. Dia membuka paksa pintu itu dan masuk ke dalam kamar. "Neve?!" Dia sangat terkejut saat melihat tubuh Neve mengeluarkan cahaya dan Neve sendiri berkeringat. Neve jelas sedang kesakitan saat ini. "Neve? Dengar, Nak, ini ibu, apa kau bisa mendengarku?" ucap Srikandi sambil menepuk-nepuk pelan pipi Neve. "AAKHHH!!!" Tiba-tiba saja Neve berteriak kencang dan menutup telinganya. Di dalam sana, Neve kembali mendengar dengung yang sangat me
Karibia, Puerto Rico. ***Sylphide Aure, gadis bertubuh kecil tersebut menatap takut kepada pria yang sedang memegang botol minuman keras di depannya. Pria beruban itu sempoyongan karena mabuk, bahkan dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri tegak. Sylphide menggenggam erat ujung dress-nya, mencoba untuk mengumpulkan keberanian. "A–ayah ... a–apa kau b–baik-baik saja? A–apa kau membutuhkan s–sesuatu?" tanya gadis itu. Karena tidak mendapatkan jawaban, Sylphide kembali membuka mulutnya. "A–ayah? AAAKHH!" Sayang sekali, tanpa aba-aba Sylphide mendapatkan lemparan botol yang sejak tadi dipegang Karl. Beruntung benda berbahan kaca itu tidak mengenai Sylphide secara langsung tapi pecah di dinding tepat di samping wajahnya.Sylphide menutup kepalanya dengan kedua tangan karena terlalu takut dan terkejut. Dia tidak mengerti di mana kesalahan yang dibuatnya. Bahkan hal ini terjadi hampir setiap hari. Ayahnya selalu marah
Langit malamnya cukup indah kali ini. Laut menjadi cermin besar yang memantulkan pemandangan ribuan bintang. Sylphide bisa merasakan ketenangan di tengah kesepiannya. Sendirian memang, tapi setidaknya tidak ada tekanan dari mana pun. Dengan netra hazelnya, Sylphide menangkap sosok wanita yang berdiri di ujung pantai. Rambut wanita itu melambai-lambai mengikuti arah angin. Dress putihnya seperti bersinar di tengah malam yang gelap. Apa dia sosok bulan yang sebenarnya? Sylphide bahkan tidak bisa untuk mengalihkan tatapan darinya. Dia sangat sempurna. Sylphide bisa mengetahui hal itu meskipun wanita tersebut membelakanginya. "Jika kau mendengarku," ucap wanita itu tiba-tiba. Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, tapi suaranya terdengar sangat jelas di telinga Sylphide. Sylphide bingung, kepada siapa wanita itu bicara? Tidak ada siapapun di sini selain mereka. Apa mungkin bicara kepadanya? Namun, mereka sama sekali tidak saling mengenal."Aku