Simon membuka pintu dengan sedikit celah dan mengambil pakaian dari Sekretaris Quinn, ia tidak membiarkannya mengintip ke dalam kamar mandi.Sekretaris Quinn sangat ingin tahu tetapi tidak berani mengintip atau bertanya. Ia hanya mengingatkannya. "Presiden Zachary, rapat akan segera dimulai. Semua orang menunggu Anda di ruang konferensi.""Ok. Kamu tunggu di luar ya." Simon memberi perintah lalu menutup pintu.Simon melempar bungkusan yang berisi pakaian itu ke sisi Sharon. "Pakai ya dan obatin luka kamu."Sharon mengatupkan bibirnya. Setelah apa yang sudah terjadi, dia masih berkata, "Terima kasih."Ia siap untuk pergi ke rapat itu. Ketika membuka pintu, sesuatu terlintas di pikirannya. Ia berbalik dan berkata pada Sharon, "Tunggu aku di basement nanti kalau udah selesai kerja. Kita bawa Sebastian kembali ke rumah Zachary."Sebelum Sharon sempat berbicara, Simon membuka pintu dan pergi.Sharon menghela nafas tak berdaya. Pada akhirnya, dia masih harus kembali ke tempat itu.Begitu Sim
Saat Douglas melihat Sharon, senyum yang semula ada di wajahnya langsung tergantikan dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu bawa dia lagi?" dia segera bertanya pada Simon dengan kasar.Ekspresi wajah Simon tidak berubah, ia menjawab dengan tenang, "Bukannya ayah yang minta?""Aku minta kamu jemput anak itu, bukan dia!" jawab Douglas dengan ekspresi dingin.Sharon tidak mengeluarkan suara. Memang, sepertinya Douglas tidak akan menerimanya.Sebastian menggenggam tangan ibunya erat-erat, dan berkata dengan tatapan serius, "Bu, ayo pergi. Kita tidak diterima di sini." Saat dia mengatakan itu, dia kemudian bermaksud menyeret Sharon pergi."Sebastian, mau pergi kemana? Kok kamu pulang, kakek nggak disapa," kata Douglas dengan suara cemas."Kamu mengusir ibu, jadi aku tidak akan tinggal di sini juga!" kata anak kecil itu dengan suara kekanak-kanakan, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas.Douglas tampak marah. Dia tidak bisa menangani anak kecil itu.Rebecca, yang sangat terkejut, bangkit pa
Di ruang kerja, Douglas memegang tongkat berkepala naga dan duduk di kursi kayu merah dan Simon duduk di seberangnya. Ayah dan anak itu memang sedang membicarakan Sharon.Jari-jari Simon yang kurus sedang memegang sebatang rokok yang masih menyala. Di tengah asap, fitur wajahnya yang padat menunjukkan ekspresi serius.Ia menyipitkan matanya samar ketika dihadapkan dengan perintah ayahnya. "Ayah, dia itu wanita yang sudah melahirkan anak saya. Ini bukan hal mudah untuk dilakukan."Douglas memasang ekspresi keras di wajah tuanya. Matanya yang kabur namun memiliki sinar gelap yang tajam. "Semuanya akan mudah kalau kamu bilang kamu menikahinya karena anak itu. Anak itu milik keluarga Zachary. Mulai hari ini dan seterusnya, dia akan dibesarkan di keluarga Zachary. Kasih saja dia sejumlah uang, terus usir dia."Sharon yang berada di luar pintu, mendengar hal itu dan membuat nyala api amarah membara di dalam dadanya. Tangannya terkepal keras tanpa disadarinya. Ia telah melahirkan anak itu set
Douglas berbatuk lembut dan memasang wajah tegas. "Dia sudah cerita soal kamu pecat dia. Dia cuma nggak sengaja numpahin kopi karena nggak nyajiin dengan benar. Kesalahan kayak ini harusnya nggak bisa bikin alasan dia dipecat kan?"Simon menunduk untuk menyembunyikan amarahnya. Ia tidak mau menjawab namun segera ambil keputusan.Ia memadamkan puntung rokok di tangannya di asbak. Kemudian, dia bangun. "Ok kalau itu bisa buat ayah bahagia." Ia berhenti sejenak, dan menambahkan, "Sudah larut, ayah harus istirahat." Ia berbalik untuk meninggalkan ruang belajar setelah mengatakan itu.Sebelum Douglas sempat bereaksi, Simon sudah pergi. Ia menghela nafas tak berdaya. "Bocah ini ..."'Ok, selama Rebecca bisa berada di dekat Simon dan jadi sekretarisnya, cepat atau lambat dia bisa gantikan Sharon!'Sharon telah mendengar kata-kata Douglas tentang merenggut putranya. Ia sudah sangat marah membayangkan jika itu benar-benar mereka lakukan. Ia hanya samar-samar mendengar kalau Simon tidak menyetuj
Keheningan pada saat itu sangat mencemaskan. Sharon mau tidak mau bersuara untuk memecah kesunyian. Tiba-tiba, lengan panjang Simon melingkari pinggangnya, dan dengan paksa, ia menariknya ke dalam pelukannya, membuatnya jatuh ke dada Simon yang kokoh.Telapak tangannya yang besar menekan punggungnya dari belakang, membuatnya tegang.Suara dingin Simon terdengar di atas kepalanya, "Nyonya Zachary, apa menurut kamu buat akta pernikahan itu seasal itu?" Sharon meletakkan kedua tangannya di dada Simon dan bisa merasakan otot-ototnya beriak di bawah tangannya, dan detak jantungnya. Ia cemas bahwa ia tidak tahu di mana ia harus meletakkan tangannya.Simon melihat ekspresinya dan matanya berkilauan sambil mengejek Sharon. "Atau... kamu cemburu?"Mata Sharon berbinar. “Aku, kenapa aku harus cemburu? Aku cuma bilang apa yang ada di pikiranku. Memang benar Rebecca lebih baik…”Komentarnya terpotong ketika Simon menekan bibirnya. Telapak tangannya yang besar menjepit bagian belakang kepalanya. Bi
Sharon mengerutkan kening. 'Jika mereka di sini cuma untuk makan, kenapa bawa barang bawaan segala ya?'Ia tiba-tiba memikirkan sesuatu. 'Apa mereka mau pindah ke rumah keluarga Zachary untuk tinggal? Apakah Sally pindah juga?'Pikiran itu membuatnya takut. Ia tidak bisa menerima pemikiran harus tinggal bersama Sally, apalagi dengan Howard!"Bu, itu orang jahat yang mencekik lehermu, kan?" Sebastian melihat Howard dan wajah kecilnya menjadi tegang, terlihat sangat marah."Mm..." sebelum Sharon selesai berbicara, anak kecil itu melemparkan bola di tangannya, dengan marah, dan ia kemudian berlari ke arah Howard. "Bu, aku akan balas dendam!"Sharon terkejut, dan dengan cepat pergi untuk menangkapnya. "Sebastian..."Dalam sekejap mata, Sebastian telah berlari ke depan Howard. Ia memelototinya dengan jengkel, dan bertanya, "Kamu orang jahat, kamu yang mencekik ibuku. Kamu yang menggertak ibuku, kan?"Howard menyipitkan matanya dan melirik anak kecil yang muncul entah dari mana dengan tatapa
Sharon sedih dan cemas. Dia tidak bisa berdiam diri dan maju untuk menyelamatkan putranya. Howard berteriak, "Jangan mendekat atau aku akan melemparkannya ke lantai!"Langkah kaki Sharon terhenti dengan paksa. Dia menatapnya dengan hati-hati dan berkata dengan dingin, "Lepaskan dia!"Dia menyipitkan matanya ke arahnya dengan jahat. "Sharon, kamu yang sengaja minta anak ini untuk melukai Sally, kan? Kamu sudah buat dia kehilangan anak di dalam rahimnya, dan sekarang kamu masih mau melukainya? Kok jahat banget ya kamu?"Sharon mengerutkan kening. "Nggak! Sekarang turunin dia dulu." Dia merasa sulit untuk menjelaskan situasinya kepadanya. Lagi pula, Howard tidak mau menerima penjelasannya. Melihat putranya berjuang dan menderita membuatnya putus asa seolah-olah hatinya akan hancur berkeping-keping.Sally, yang masih duduk di lantai, menyaksikan seluruh pemandangan. Sudut mulutnya melengkung menjadi seringai yang tidak bisa dilihat siapapun, dan matanya berkilauan dingin.Howard masih tida
Simon berkata dengan dingin tanpa ekspresi, "Kalau kamu berani sentuh anak itu lagi, jangan salahkan saya karena selanjutnya saya nggak akan kasih kamu belas kasihan ." Ia melepaskan tangannya setelah mengatakan hal itu.Howard terhuyung dua langkah sebelum berhasil menstabilkan dirinya. Seluruh lengannya terasa mati rasa dan menggantung di sisi tubuhnya tanpa daya, sambil bergetar. Ia tidak sangka pamannya akan melakukan hal seperti itu pada keponakan kandungnya demi Sharon dan Sebastian.Sally segera bangkit untuk membantu Howard dan merasa sedih. "Kamu baik-baik saja, Howard?"Ada nyala api kemarahan yang bersemayam di dada Howard. Ia melotot ke arah Sharon. Kemudian, ia berkata kepada wanita di sampingnya, "Ayo pergi."Sally tidak merasa puas, tetapi karena Simon pulang, ia tidak mungkin melakukan apa pun terhadap Sharon. Ia menggertakkan gigi dan memasuki rumah bersama Howard."Ayah, aku benar-benar nggak mendorongnya. Aku cuma pukulin orang jahat yang menggertak ibu itu." Sebas