Share

Bab 7

Penulis: Riya Ni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-19 18:35:31

Setelah mengantar Haidar dan Ravendra, Kayra kembali ke rumah bersama anak-anaknya.

"Mama, kasihan ya rumah Abang itu." Ucap Reana sesampainya di rumah.

Kayra yang ada dibelakang anaknya, mengernyit heran.

"Lho, kenapa? Apa yang kasihan?" Tanya Kayra.

Kedua anaknya langsung berhenti berjalan, mereka berbalik dan menatap mamanya yang menatap mereka keheranan.

"Bayangkan mama, rumah kita besar. Tapi, rumah Abang itu kecil." Ucap Reina.

Kayra menghela napas, ia berjalan lebih dulu lalu duduk. Reana dan Reina yang tidak mendapat respon lantas menyusul mamanya.

"Mama ih...." Rengek keduanya. Kayra yang tengah bersandar di sandaran sofa ia menatap anaknya. "Apa?"

"Mama emang gak punya hati." Ucap si kembar bersamaan yang langsung pergi meninggalkan Kayra.

Kayra menatap ke arah tangga. "Lho kok aku yang salah?" Monolognya.

***

Tiga hari sejak hari itu, hari dimana Kayra tahu nama Haidar pun sebaliknya. Kini, Kayra tengah duduk dikursi kebesarannya.

"Aku lupa satu hal. Kenapa aku gak minta nomornya ya?" Monolognya sambil memutar kursinya menatap ke arah luar jendela.

"Lho itu kan Haidar." Kayra langsung bangkit, menutup laptopnya dan pergi saat ia menatap melihat Haidar dari jendela ruangannya.

***

"Haidar..."

Laki-laki itu celingukan mencari asal sumber suara. Sepertinya itu adalah suara yang tidak asing. Tapi siapa pikirnya.

"Hai." Kayra tiba-tiba sudah muncul di dekatnya.

"Lho Kayra. Aku kira kamu siapa lho..... Jemput anak juga?"

Kayra berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk. Toh dia tidak punya alasan apapun untuk mengelak. "Hehe...... I-iya."

Haidar mengangguk.

Suasana kembali hening, Kayra juga tidak punya topik untuk ia bicarakan. Sampai ia ingat, Kayra ingin meminta nomor ponsel pria itu.

"Ini," Ucap Kayra menyodorkan ponselnya.

Haidar bingung, ia menatap ponsel itu, lalu beralih menatap Kayra. "Maksudnya apa ya?"

"Masukin nomor kamu. Siapa tahu aku butuh kamu."

Haidar mengambil ponsel itu ragu-ragu, lalu memasukkan nomor ponselnya.

"Sudah." Ucapnya. Kayra tersenyum. "Terimakasih, aku call ya. Biar nomor aku masuk sekarang dan kamu gak bingung." Ucapnya diangguki Haidar.

Benar, ponsel Haidar berdering.

"Angkat dong. Kenapa gak diambil ponselnya?"

"K-kenapa harus diangkat ya? Asal aku tahu aja waktunya kapan dan aku akan langsung tahu itu nomor kamu." Jawab Haidar.

Kayra menunduk sebentar lalu kembali mendongkak. Ia menatap jam di tangannya. Ternyata masih lama untuk anak-anak dibubarkan.

"Makan diseberang lagi yuk." Ajak Kayra.

Namun, belum sempat Haidar menjawab ponsel miliknya kembali berdering.

"Haidar, itu bukan aku. Angkat dong, masa di anggurin." Ucap Kayra. Ia melihat

Haidar tampak ragu dan keraguan itu tercetak jelas diwajahnya.

"Hei, itu siapa Haidar? Angkat." Ucap Kayra lagi.

Haidar menggeleng, dia benar-benar enggan menerima telepon itu.

"Gak Ra. Gak penting." Ucap Haidar dengan nada yang menjadi dingin.

Kayra mengernyitkan keningnya, kenapa Haidar bilang gak penting? Bukankah, Haidar belum melihat siapa penelepon itu.

"Haidar, kamu kan belum lihat siapa yang nelepon." Kekeh Kayra.

"Aku bilang enggak ya enggak Ra." Ucap Haidar penuh penekanan, lalu ia beranjak dari tempatnya entah kemana. Sedangkan Kayra menatap pria itu heran. "Kenapa sih?"

***

Malam dimana Kayra menghabiskannya dengan bekerja dari rumah, maka berbeda dengan Haidar. Dia kini tengah duduk di tepi ranjang.

"Tuhan Haidar hanya ingin bahagia." Monolognya.

Satu tetes air mata jatuh, Haidar lantas menatap adik kecilnya.

Mereka tinggal satu kamar karena memang dikontrakkan yang ditempati olehnya ini hanya memiliki satu kamar.

"Maafin abang ya Rav, Abang belum bisa bahagiakan kamu." Haidar mengusap surai adiknya.

Saat tengah menikmati kesunyian malam, ponselnya kembali berdering. Benar dugaan Haidar, itu telepon dari orang yang sama siang tadi.

"Hallo." Ucap Haidar pertama kali saat telepon itu tersambung.

"......"

"Gak perlu?!" Bentak Haidar tiba-tiba. Lalu memutuskan panggilan secara sepihak.

Entah apa yang dikatakan orang di ponselnya. Tapi yang pasti itu mampu membuat Haidar kehilangan moodnya malam itu.

***

Disatu sisi, didepan laptopnya yang menyala, Kayra jadi kepikiran dengan sikap Haidar tadi siang.

"Kok dia kayak langsung marah sih." Gumamnya.

Kayra menatap ponsel dimeja kerjanya, ada rasa ingin menghubungi Haidar, tapi ia urungkan.

"Telepon jangan ya? Tapi, kalo aku telepon dia malah marah, gimana? Mending jangan deh" Monolognya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ayah Tiri Anakku (bukan) Tukang Cilok Biasa   Bab 21

    Haidar membawa Kayra masuk kedalam mobil, ia lantas membuat wanita itu duduk di jok sampingnya. "Ra, kamu yang tenang ya..." Kayra duduk dengan gelisah, ia benar-benar tidak tahu apa yang akan Haidar lakukan. Kayra takut, ia terlalu takut jika Haidar berbuat nekad. Pria itu mendekat dan mengukung tubuh Kayra. "Ra, jangan teriak ya..." Ujar Haidar dengan nada yang berat. Kayra hendak mendorong tubuh pria itu, tapi Haidar lebih dulu menjauh dan tertawa. "Ha ha... Apa sih yang ada dipikiran mu Ra? Ha ha ha..." Kayra memberikan pukulan kecil dibahu laki-laki itu. Ia lantas memalingkan wajahnya, menatap kearah luar. "Nyebelin ih, aku udah takut tahu!" Ketus Kayra. Pria itu mencoba menarik bahu wanita disampingnya, tapi wanita itu menepisnya. "Ngambek nih? Ayolah, orang pemarah cepet tua tahu..." Kayra yang kesal langsung beralih menatap pria itu. "Ngapain ngajak aku masuk?" "Masuk kemana, Ra?" Tanya Haidar sambil menaik turunkan alisnya, menggoda. "Haidar, ish

  • Ayah Tiri Anakku (bukan) Tukang Cilok Biasa   Bab 20

    Malam tiba dan hujan mengguyur kota dengan derasnya."Hujan, Na." Ucap Kayra.Nabastala menoleh kearah wanita itu yang datang membawa teh hangat dan cemilan."Gak papa. Aku bawa mobil, kok."Kayra mengangguk."Anak-anak udah teler, aku mau bawa ke kamar dulu ya." Ujarnya yang diangguki Nabastala.Sepeninggalan Kayra, Nabastala bangkit berdiri dan berjalan kearah jendela. Dari dalam rumah, ia dapat melihat hujan deras diluar sana."Hujannya deras." Gumamnya.Saat Nabastala melihat hujan, Kayra tiba-tiba sudah ikut berdiri disampingnya. Wanita itu bersuara sebelum Nabastala menyapanya."Aku mau nikah sama Haidar." Ucapnya.Nabastala menatap wanita itu, lantas ia tersenyum. "Kenapa bilang sama aku? Kan kita udah bukan siapa-siapa." "Aku cuma minta ijin sama ayah dari anak-anak, bahwa anak-anak akan punya ayah tiri." "Aku gak mungkin halangi kamu bahagia, Ra. Lagipula, kenapa harus ijin? Anak-anak pasti senang kok, kan setahu mereka ayah mereka telah tiada." Ucap Nabastala.Kayra menghe

  • Ayah Tiri Anakku (bukan) Tukang Cilok Biasa   Bab 19

    Malam hari, keluarga Haidar berikut Ravendra tengah duduk diruang tamu setelah makan malam."Jadi, dia bukan Radja?" Tanya mama.Sedari adanya Ravendra, mama terus menatap anak itu dengan penuh binar dimatanya."Bukan ma. Dia namanya Ravendra, kata Haidar. Benarkan?" Tanya papa pada Haidar.Haidar mengangguk. "Iya pa, ma."Mama tersenyum. "Ravendra, kamu tidak usah takut ya. Sekarang Ravendra itu, adiknya kak Haidar. Panggilnya kakak, ya. Jangan Abang." Ucap mama yang diangguki anak itu.Haidar menatap mama dan papa. "Ma, pa." Ucapnya.Mama dan papa menoleh. "Kenapa Haidar?" Tanya papa."Emang bener ya, kalo Ravendra itu semirip itu sama kak Radja."Mama dan papa mengangguk. "Iya, dia itu cuma beda alam aja sama kakak mu. Wajahnya, bibirnya, matanya, bahkan telinga saja sama."Haidar menatap telinga Ravendra yang kini duduk disamping papa. "Telinga itu sama aja, ma."Mama menggeleng. "Tidak sama, telinga kakak mu itu ada tahi lalat dibelakangnya dan telinga Ravendra juga sama." Haida

  • Ayah Tiri Anakku (bukan) Tukang Cilok Biasa   Bab 18

    Hari demi hari Haidar lalui dirumah lamanya. Ia meninggalkan Ravendra sendiri di kontrakan. Namun pria itu tetap membiayai sekolah dan uang jajan dan uang kontrakan Ravendra. Saat sendiri di dalam kamarnya, Haidar menatap kearah luar, disana hujan dan udara pun sangat dingin sore ini. "Apa kabar Ravendra, ya? Aku jadi kangen. Biasanya kalo hujan gini, terus gak ada uang suka masak mie instan satu bungkus dibagi dua." Gumam Haidar. Ia menggeleng lalu terkekeh. Rasanya, kenangan lama itu terputar di kepalanya. Tiga tahun hidup terlunta-lunta dan dua tahun ditemani oleh Ravendra yang ia anggap sebagai adiknya. "Kalo aku bawa kesini, papa sama mama mau terima gak, ya?" Monolognya. Haidar mengambil ponselnya, banyak kenangan tentang Ravendra disana. Tenang saja, sejak awal Haidar menggunakan ponsel mahal jadi tidak akan penuh penyimpanannya hanya untuk menyimpan beberapa foto dan video. "Ponsel ini banyak kenangannya. Tapi, kata papa harus ganti." Gumamnya, sambil menggeser fot

  • Ayah Tiri Anakku (bukan) Tukang Cilok Biasa   Bab 17

    Benar kata Haidar sebelum pulang, Kayra diantar oleh mobil dengan Haidar sebagai supirnya.Sesampainya didalam rumah, Kayra sudah disambut oleh wajah lesu sang mama."Mama Reana Reina, kemana?"Tanya Kayra sambil celingukan mencari anaknya yang tumben sekali tidak menyambutnya.Kayra duduk disebelah sang mama."Anak kamu dijemput papa-nya." Ucapan mama mampu membuat Kayra reflek bangkit. "M-maksud mama, apa? Mama bercanda kan? Mereka gak tahu papa-nya lho ma." Ucap Kayra.Mama mendongkak menatap sang anak. "Mama gak bercanda Kayra. Pas mama lagi bawa mereka jalan-jalan Nabastala datang.""Kok mama ijinkan?""Dia maksa. Mama gak bisa berbuat apa-apa dan mama juga gak tega karena dia nangis berlutut sama mama hanya untuk meminjam anaknya."Kayra memalingkan wajahnya, ia menarik rambutnya kebelakang."Nabastala bawa mereka kemana ma?""Ke rumahnya."Tanpa menunggu mama bersuara lagi, Kayra segera membawa kunci mobil dari lacinya, kemudian dia pergi menuju rumah Nabastala yang tak lain ad

  • Ayah Tiri Anakku (bukan) Tukang Cilok Biasa   Bab 16

    Disisi lain, saat Kayra tengah diintrogasi mama Haidar, Nabastala justru mendatangi rumah orang tua Kayra dengan berani."Permisi." Ucapnya sambil mengetuk pintu.Tanpa menunggu lama, pintu dibuka. Disana terdapat seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah kepala art."Oh tuan muda Nabastala. Ada keperluan apa tuan?" Tanya bibi itu."Apa kabar bi?" Tanya Nabastala ramah.Pria itu tentu sudah mengenal wanita di depannya karena dahulu pria ini adalah menantu dirumah tempat bibi itu bekerja."Baik. Tapi, tuan belum menjawab pertanyaan saya. Ada keperluan apa tuan kesini?" Nabastala tersenyum. Nada bibi bernama Marni didepannya ini tidaklah terdengar santai, mungkin sejak kejadian itu semua orang telah berubah padanya."Saya ingin bertemu ibu. Ada bi?" "Tidak ada. Ibu sedang keluar. Lebih baik sekarang tuan pulang." Ujar bibi itu.Nabastala mengangguk. "Baiklah, saya permisi. " Ucapnya lalu melenggang pergi.Disepanjang perjalanan, Nabastala terus saja merenungi sikap sang kepala ar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status