Rachel merintih kesakitan sambil memegangi punggungnya. Ia bahkan sampai tidak sanggup berdiri karena saking sakitnya. Ia tidak tahu, siapa orang jahat yang baru saja memukulnya, karena wajah kedua orang itu ditutupi oleh topeng berwarna hitam.“To- long ...” rintih Rachel dengan suara yang terputus- putus. Berharap ada orang yang melihatnya lalu menolongnya.Ia menoleh ke belakang dan melihat kedua orang itu mulai mengangkat tongkat yang dipegangnya lagi. Seolah bersiap untuk kembali menghajar Rachel. Melihat itu, Rachel sontak mengeluarkan semua energinya untuk berteriak.“AAAAA!” teriaknya kencang dengan mata yang terpejam erat.Bersamaan dengan itu, terdengar suara gebukan berkali- kali yang begitu kencang. Namun anehnya, ia tak merasakan sakit sama sekali. Karena penasaran, Rachel pun akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Tongkat tersebut tidak mendarat di tubuhnya, melainkan tergeletak di bawah bersama sang pemiliknya. Entah apa yang sudah terjadi, sampai kedua penjahat itu
Alan mengepalkan tangannya kuat dengan wajah yang memerah menahan amarah. Kemudian tanpa basa- basi, ia langsung keluar dari ruangan tersebut dan berjalan menuju tempat di mana mobil sewanya terparkir.Alan mengendarai mobilnya seperti orang kesurupan. Ia sudah tidak peduli lagi, jika dirinya akan ditangkap oleh Polisi ataupun dimarahi orang lain. Lagi pula jalanan juga sedang sepi, hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat.“Vid, lo ke Bali ya, sekarang. Gue pesenin tiket.” Alan berbicara dengan temannya lewat telepon sambil terus menyetir.“Ngapain?” tanya orang itu, yang tak lain adalah David. “Ada urusan penting. Gue butuh bantuan lo.”“Ck. Gue males. Lagi nggak mood ke mana- mana.” “Gue kasih uang saku sejuta.”“Kurang.” “Dua juta.”“Tambahin dikit.” Alan berdecak kesal. “Sialan lo! Lama- lama jadi ngelunjak.”“Yaudah, kalau nggak mau nambahin ya gue ogah ke sana.” “Dua juta setengah.”“Nanggung amat. Tiga juta kek.”Alan mendesis kesal. Karena malas bernegoisasi lama-
Sudah ada lima polisi yang melakukan pemeriksaan di taman belakang rumah Santi. Menurut Polisi, terjadinya ledakan tersebut dikarenakan ada sebuah bom kecil yang dilempar ke taman tersebut. Dan setelah di cek di CCTV, ternyata benar. Ada sebuah benda bulat kecil yang dilempar dari arah luar. Akan tetapi, orang yang melempar tersebut tidak terlihat di kamera CCTV. Jadi mereka semua belum tahu, siapa pelaku pelemparan bom tersebut.“Tante, masuk dulu yuk. Ada yang mau aku omongin. Itu biar diatur sama Pak Polisi.” Alan mengajak Cindy untuk masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Rachel dan Santi yang ikut berjalan di belakang mereka.Mereka duduk di ruang keluarga. Rachel berdampingan dengan Alan, dan Cindy berdampingan dengan Santi. Sementara itu, Noah asik bermain sendiri.Sebelum berbicara, Alan menghela napasnya terlebih dahulu. “Dalang dari pelaku yang memukul Rachel udah tertangkap,” ucapnya.“SIAPA?” tanya mereka berbarengan.Alan kembali menghela napasnya lagi. Melihat wajah Santi, i
“Ma, Pa. Maaf, Rachel hamil.” “Pergi dari rumah! Papa nggak mau ada aib di keluarga kita.” “Jangan muncul di depan Mama sama Papa lagi. Mama malu, punya anak kayak kamu.” “Kalau pengen menghilang dari bumi, bilang ke gue. Nanti gue siapin tali buat bunuh diri.” *** “Gue bakal tanggung jawab, tapi cukup sampai lo melahirkan aja. Setelah itu, kita harus cerai.” “T-tapi?” “Nggak usah banyak mau. Masih mending, gue mau tanggung jawab. Lagian orang tua gue juga nggak bakal mau, punya menantu kotor kayak lo.” Rachel menundukkan kepala, sembari mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir dengan deras. “Terima kasih. Tapi maaf, tawarannya saya tolak. Saya nggak butuh tanggung jawab dari orang brengsek seperti anda.” *** “Aku aja yang tanggung jawab. Gimana?” “Nggak perlu, Za. Aku bisa berdiri sendiri kok.” “Tapi kamu butuh pasangan, Chel. Punya anak di luar nikah itu nggak mudah.” “Aku mau gugurin aja.” *** “Maaf, Mbak. Kita nggak bisa menerima pekerja yang sedang hamil.” “
Rachel menarik koper kecilnya keluar dari rumah, dengan tangan kiri yang menggandeng tangan mungil Noah. Seperti biasa, wanita itu selalu menitipkan anaknya pada tetangga sebelum berangkat bekerja. Noah juga sudah berpakaian sekolah dengan rapi. Nanti tinggal diantar oleh tetangganya saja. “Bu, Rachel berangkat dulu ya. Titip Noah. Ini uang jajannya, sama uang belanja buat Ibu,” ujar Rachel, seraya memberikan lima lembar uang berwarna merah. Namun wanita lansia berumur 60 tahun itu malah menolaknya. “Udah, nggak usah repot- repot. Sana, berangkat kerja! Ibu masih mampu beliin Noah jajan,” tolaknya, seraya mendorong tangan Rachel. “Jangan gitu, Bu. Rachel nggak pulang selama tiga hari. Jangan buat Rachel merasa nggak enak. Noah itu jajannya banyak.” “Halah, banyak berapa sih? Paling cuma lima puluh ribu.” Rachel menghembuskan napasnya kasar. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, wanita itu langsung meletakkan uangnya di atas meja, dan langsung berlari keluar rumah. “Noah, Bunda bera
Rachel POV Aku menundukkan kepala sembari meremas jari- jariku. Menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mataku. Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan Noah. Maka dari itu aku langsung mematikan sambungan teleponnya, dan mengatakan kepadanya jika aku akan terbang sekarang juga, jadi ponsel harus dimatikan. “Tinggal bilang aja kalau ayahnya mati. Apa susahnya?” Aku tak mempedulikan ucapan Alan. Ku masukkan ponselku ke dalam tas, lalu berjalan menuju toilet umum. Masih ada waktu selama dua puluh menit sebelum take off, jadi aku masih punya kesempatan untuk menumpahkan tangisanku di toilet. Sesampainya di toilet, aku langsung masuk ke dalam salah satu bilik, dan menumpahkan semua tangisanku di sana. Sungguh sakit sekali, ketika mendengar pertanyaan yang selama ini ku hindari. Aku tidak tahu, apa yang sedang terjadi pada anakku. Hingga tiba- tiba menanyakan keberadaan sang Ayah yang selama ini tidak ada dikehidupannya. Tok tok tok. “Masih lama?” teriak seseorang dari luar.
“Chel, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu masih ingat aku, kan?” ujar lelaki itu dengan sedikit heboh. Sedangkan Rachel masih terdiam tak merespon. “Aku Reza. Teman kamu,” ucapnya lagi. Rachel menundukkan kepalanya seraya mengangguk kecil. Responnya yang kurang baik tersebut, sukses membuat senyuman lelaki itu perlahan memudar. Sementara itu, Alan yang menyadari jika Rachel terlihat tak nyaman. Sontak saja langsung melancarkan aksinya. “Sorry, Sir. But my wife looks uncomfortable,” ujar Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya kaget. “Ah, sorry. I'm just glad to see her again,” balas lelaki itu seraya tersenyum canggung. Alan membalasnya dengan senyuman tipis. Sedangkan Rachel masih plonga- plongo tidak mengerti. “Can you leave us alone? We are already hungry and want to eat right now,” ujar Alan lagi. “Ah, of course. Sorry to interrupt.” Setelah lelaki itu pergi menjauh, Rachel langsung menatap Alan dengan tatapan yang begitu dalam. Sementara itu, Alan malah be
Rachel mematikan sambungan teleponnya dengan Noah. Kemudian ia turun dari kasur dan berjalan menghampiri Alan. “Ada apa, Pak? Kok Bapak yang nganterin breakfastnya?” tanya Rachel. “Tadinya saya mau ngambil iPad yang kamu bawa. Terus nggak sengaja papasan sama petugas hotel. Jadi sekalian saya bawain aja,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja. “Kamu ini ceroboh banget. Masa pintu kamarnya nggak dikunci. Nanti kalau ada orang jahat masuk gimana?” omel Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya terkejut. Ia sendiri tidak sadar, jika pintu kamarnya tidak terkunci. “Yaudah, sana siap- siap. Jam delapan kita langsung ketemu klien,” ucapnya lagi. “Baik Pak,” balas Rachel. “Jangan lupa, pintunya dikunci.” “Iya.” “Makanannya dihabisin. Nanti kalau lapar nggak bisa fokus kerja.” “Siap,” balas Rachel. Seraya mendorong pelan tubuh Alan, agar segera keluar dari kamarnya. Bukannya kurang ajar atau bagaimana. Hanya saja Rachel baru menyadari, jika s