“Ma, Jonah boleh ikut Kimi pergi berkemah?” tanya Jonah malam sebelum tidur. Arabella baru saja membereskan pekerjaannya dan masuk ke kamar Jonah untuk mengantarnya tidur. Kebiasaan Jonah, sebelum tidur dia selalu ingin ibunya mengusap punggungnya hingga tertidur.
“Kimiko minta Jonah ikut?” tanya Arabella mencari tahu.
Jonah mengangguk.
“Kenapa Kimiko minta Jonah ikut?” tanya Arabella lagi.
Jonah mengedikkan bahunya sambil naik ke atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi dada kecilnya.
“Pasti ada alasannya. Apa kau dan Kimiko merencanakan sesuatu?” tebak Arabella.
Jonah menggeleng dan matanya mulai terlihat mengantuk setelah menguap beberapa kali.
***
Bunyi ponsel di samping ranjangnya mau tidak mau membuat Arabella bangkit dari rebahan untuk meraih ponsel yang terus berbunyi,
“Ya, ada apa Josh? Kau di mana? Apa baru pulang dari kantor? atau kau butuh bantuan hukum dariku?” tanya Arabella seperti biasa dengan setumpuk pertanyaan.
Joshua tertawa di seberang ponsel.
“Tidak, Ara. Aku tadi lewat toko roti dan teringat pada Jonah. Jadi aku mampir untuk membeli beberapa roti dan kue potong untuk kalian sarapan besok pagi. Bukalah pintu sebentar, aku tidak akan masuk, hanya mampir untuk memberikan roti ini,” tukas Joshua perlahan.
Arabella terdiam sesaat sebelum akhirnya segera beranjak turun dari ranjang dan bergegas menuju pintu.
“Terima kasih, Josh. Kau benar tidak mau masuk? Sekadar minum segelas teh mungkin?” tawar Arabella ramah. Joshua, teman satu kantor Robert yang sering datang sejak Robert meninggal.
“Tidak usah, Ara. Ini sudah malam, dan kau sendiri pun pasti sudah berada di atas ranjang, ya kan?” tebak Joshua dengan tawa kecil.
Arabella mengangguk dan tertawa.
“Kalau begitu, terima kasih buat rotinya, Josh. Jonah pasti senang sekali sarapan roti besok pagi,” jawab Arabella dengan senyuman.
Joshua mengangguk dan mengecup pipi Arabella pelahan, lalu berbalik dan meninggalkan pekarangan rumah itu.
Arabella masih berdiri sampai mobil Land Rover hitam itu menjauh dan dia masuk, menutup pintu, lalu meletakkan kantong roti di atas meja.
Sejenak dia berdiri di depan meja sambil mengusap lembut pipi yang baru saja dikecup Joshua. Ada rasa hangat yang teringgal di sana dan dia tersenyum sendiri.
***
“Pagi, Jonah. Sarapan hari ini Mama buatkan roti goreng, kau suka? Susumu sudah Mama siapkan di atas meja. Ayo bangun dan segera bersiap, Sayang,” tukas Arabella pagi itu dari pintu sambung di antara kedua kamar itu.
“Pagi, Mama Cantik. Kapan Mama beli roti?” tanya Jonah heran. Seingatnya semalam stok roti sudah habis dan Arabella belum sempat untuk pergi membelinya.
“Tadi malam Paman Joshua datang mengantarkan roti karena dia teringat dirimu saat melewati toko roti,” jelas Arabella sambil berjalan menuju kamarnya dan duduk di depan meja rias.
“Oh begitu … Paman Joshua baik sekali, ya Ma,” puji Jonah.
“Iya. Paman Joshua sangat menyayangimu, Jonah,” tukas Arabella dengan senyum terkulum.
“Ohya? Tapi mengapa Paman Joshua belum menikah hingga sekarang, Ma?” tanya Jonah polos.
Arabella mendelik mendengar pertanyaan Jonah yang cukup absurb baginya.
“Mana Mama tahu kenapa Paman Josh belum menikah? Apa kau ingin menanyakannya?” tanya Arabella berdebar disertai rasa khawatir takut Jonah menanyakan langsung pada Joshua.
“Tidak, Jonah rasa itu bukan urusan Jonah, ya kan, Ma? Hanya saja Jonah heran, Pamah Josh sering datang sejak Papa meninggal dan terkadang dia membelikan mainan dan makanan yang enak. Jonah suka,” ucap Jonah dengan pandangan mata nelangsa.
“Mengapa kau sedih?” tanya Arabella dengan alis terangkat sedikit.
“Tidak, aku bukannya sedih, Ma. Coba Mama bayangkan kalau Paman Josh menikah nanti, dia pasti tidak akan sering datang ke sini lagi, iya kan? Lalu tidak akan ada mainan dan makanan untuk Jonah lagi,” tukas bocah itu dengan wajah yang sedikit cemberut hingga membuat Arabella terbahak.
“Sudah, sudah jangan berandai-andai. Sekarang ayo cepat mandi dan bersiap ke sekolah. Sarapanmu sudah Mama siapkan di meja,” potong Arabella sebelum Jonah melanjutkan pemahamannya yang semakin kacau.
Masa anak-anak memang masa yang paling menyenangkan, hanya berpikir soal main dan makan. Ya Tuhan … menggelikan sekali memikirkan pemikiran Jonah. Arabella terkikik sendiri di depan meja rias sambil memberi sentuhan flawless pada wajahnya yang masih tampak cantik di usianya yang akan segera masuk kepala tiga.
***
“Tuan Jackson, saya Arabella Stuart, Mama Jonah. Soal perkemahan besok, apa yang harus saya siapkan? Apa yang dibutuhkan Jonah? Terus terang saya tidak tahu menahu soal perkemahan. Jadi tolong jelaskan pada saya,” ucap Arabella menjelang siang hari sebelum pergi menjemput Jonah di sekolah.
“Ya, Nyonya Stuart. Saya akan membawa RV. Jadi anda tidak perlu menyiapkan tenda. Saya memiliki tenda kecil yang dapat digunakan pada malam hari saat menyalakan api unggun. Dan juga di dalam RV sudah tersedia tempat tidur dan kamar mandi, juga dapur kecil. Jadi anda tidak perlu khawatir karena semua tersedia lengkap,” terang Peter, lalu berhenti sejenak , “Apa Jonah memiliki alergi terhadap sesuatu? Makanan atau mungkin serbuk sari tanaman? Sekarang sedang musim semi, jadi banyak tumbuhan yang sedang berbunga.”
“Oh? Kalau makanan tidak ada. Tapi serbuk sari saya tidak tahu. Di rumah banyak tanaman dan Jonah tidak menunjukkan reaksi alergi terhadap serbuk sari,” jawab Arabella mengernyit heran.
“Oh ya, satu lagi, cukup panggil saya Arabella saja,” lanjut Arabella sebelum memutuskan percakapan.
Peter tertawa di ujung ponsel.
“Baiklah kalau begitu, cukup siapkan saja makanan kecil yang disukai Jonah serta peralatan mandi. Yang lain akan aku siapkan, Arabella,” tukas Peter sebelum menutup percakapan.
“Baiklah Tuan Jackson.”
“Call me Peter,” ucap Peter sambil tersenyum melipat smart phone berbentuk persegi menjadi bujur sangkar.
“Siapa? Kenapa kau tersenyum sendiri?” Ali bertanya dengan alis mata yang terangkat sedikit dengan sedikit curiga.
Peter tertawa mendengar pertanyaan Ali, rekannya di perpustakaan, yang penuh dengan perasaan curiga dan ingin tahu berpadu menjadi satu.
“Bukan siapa-siapa, hanya ibu teman Kimiko, kenapa?” Peter balik bertanya sambl tertawa lebar.
“Kau terlihat senang sekali. Apa orangnya cantik? Seperti Kimberly? Hati-hati seorang ibu berarti dia memiliki suami, Peter. Jangan menjadi orang ketiga,” ucap Ali penuh nasihat membuat Peter semakin terbahak mendengarnya.
“Sudah, sudah, Li. Kau membuat perutku sakit. Dia seorang janda, cantik atau tidak aku tidak tahu, aku belum pernah bertemu dengannya. Hanya anaknya teman baik Kimiko. Itu saja info yang bisa kau dapatkan,” jawab Peter tertawa lebar sambil memegangi perutnya yang terasa kencang.
***
“Jonah, Mama sudah mengabari Paman Peter kalau kau akan ikut Kimiko berkemah akhir minggu nanti. Apa yang ingin kau bawa? Ayo kita pergi berbelanja. Kau bisa memilih makanan yang ingin kau makan bersama Kimiko di kemah nanti,” ajak Arabella ketika pulang kantor dan menjemput Jonah di tempat penitipan anak yang berada dekat kantor.
“Bener, Ma? Asiikkkk!!!” seru Jonah gembira sambil sedikit berjoget di kursi mobil yang sudah dipasang sabuk pengaman.
“Kau senang?” tanya Arabella, sudah lama dia tidak melihat Jonah begitu gembira.
“Tentu saja. Aku sudah membayangkan suasana berkemah akan seperti apa, Ma. Apalagi kali ini Paman Peter juga menemani,” jawab Jonah sambil melemparkan pandangan keluar jendela mobil melihat jalanan sore kota Eugene yang padat.
Arabella hanya tersenyum, tetapi dia penasaran seperti apa penampakan Peter yang sudah mencuri sebagian hati Jonah. Apa dia baik dan rendah hati? tampan? Apa pekerjaannya? Pertanyaan-pertanyaan itu berlarian di kepala Arabella di sela konsetrasi mengemudi.
***
“Apa kalian sudah siap?” tanya Arabella pada Peter dan Kimiko. Hari ini mereka akan meresmikan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.“Sudah, Ma,” jawab Kimiko bersemangat.“Jonah mana?” tanya Kimiko lagi karena tidak melihat bocah itu.“Ada, dia hampir siap. Sedang merapikan kemeja dan memakai dasi kupu-kupunya,” jelas Arabella yang sudah cantik dengan shanghai dress putih berhias bunga peoni besar dan sedikit bunga mawar sebagai pemanis. Cocok sekali dengan tubuhnya yang masih sangat ramping dengan rambut disanggul kecil menyesuaikan rambutnya yang pendek.“Mama cantik sekali,” puji Kimiko sambil memeluk pelan Arabella. Dia tidak ingin merusak tampilan Arabella yang sudah sangat perfect menurutnya.“Wah … kau cantik sekali, Ara,” puji Peter yang baru saja turun dari lantai atas.Arabella tersenyum, “Kau juga tampan sekali, Tuan Jackson.”Ketiganya terkekeh bersama menikmati kebahagiaan.Sementara di kamarnya Jonah tampak termenenung dengan dasi masih digenggamannya.Pintu kamar
“Ada apa denganmu, Sayang? Kenapa tiba-tiba kau menangis?” tanya Arabella heran. Mobil sudah masuk ke pekarangan rumah dan berhenti di depan pintu garasi.Sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Kimiko dan Peter di sini.“Ayo turun, Jonah. Apa kau menangis karena merindukan kamarmu? Sebentar lagik kau akan kembali ke kamarmu, Sayang,” tukas Arabella sambil membuka bagasi untuk menurunan barang-barang Jonah.“Mengapa sepi sekali, Ma? Apa Kimiko dan Papa belum kembali? Apa mereka lupa kalau aku akan pulang hari ini?” tanya Jonah sedih.Arabella tersenyum, “Mereka tidak lupa. Mungkin Papa dan Kimiko sedang membeli sesuatu.”Jonah senyum terpaksa. Dia merasa mereka tidak terlalu menganggapnya penting. Walau sedikit bersedih, tapi dia bahagia bisa pulang ke rumah setelah sekian lama di rumah sakit, rasanya sudah sangat bosan terus menerus
“Sungguh aku boleh pulang?” tanya Jonah dengan wajah berbinar menatap pada Arabella dengan senyuman lebar. DIa bahagia ketika dokter mengatakan padanya bahwa besok Jonah sudah boleh pulang ke rumah dengan janji temu tiga hari kemudian.“Iya, apa kau senang, Sayang?” Tanpa bertanya pun, Arabella sudah tahu wajah Jonah yang cerah dengan binar di mata gelapnya itu menandakan kalau dia bahagia.Jonah mengangguk anggukan kepala tanpa henti.“Tapi kau masih harus mengikuti fisioterapi sampai akhir bulan, Sayang. Dan kau belum bisa kembali ke sekolah. Jadi kau akan tetap di rumah,” jelas Arabella dengan sabar. Otomatis dia harus meminta cuti di kantor untuk menemani Jonah. Tidak mungkin meninggalkan bocah itu di rumah sendirian.“Yaaa … lalu kapan aku bisa kembali ke sekolah, Ma?” tanya Jonah sedikit kecewa mendengar hal itu. Sedangkan Kimiko bahkan sud
Psgi hari Jonah bangun dengan tubuh yang terasa lebih segar. Mungkin karena semalam bermain bersama Kimiko membuat tidurnya lebih nyenyak dan hatinya pun lebih tenang. Mimpi buruk yang kerap datang beberapa waktu lagi sejak dia terbangun di rumah sakit, semalam tidak datang lagi.“Pagi, Jonah. Kau ingat denganku?” tanya Kimiko yang terbangun dan melihat bocah itu sudah duduk di ranjangnya sambil menatap ke langit biru lewat kaca kamar.“Tentu saja aku ingat kau, Kimi. Kau tahu berkat kau, tidurku semalam sangat nyenyak. Tidak ada mimpi buruk … semalam. Ya … kuharap mimpi itu pergi untuk selamanya,” jawab Jonah tertawa kecil.“Sungguh? Kau tidak bermimpi buruk semalam?” tanya Kimiko dengan wajah berbinar.Jonah mengangguk.“Di mana Mama dan Papa?” tanya Jonah pelan, karena dia tidak melihat keduanya di kamar.“Mereka tidur di bawah ranjangmu,” jawab Kimiko terkekeh pelan takut membangunkan keduanya.“Di bawah ranjang? Mengapa?” Jonah bertanya dengan alis mata yang hampir menyatu di hid
Hari hampir gelap ketika Joshua memasuki rumah sakit tempat Jonah dirawat sejak pertama bocah itu terluka. Aroma obat langsung terhidu ketika dia naik ke lift yang akan membawanya ke lantai enam belas. Arabella sudah memberitahukan padanya di mana Jonah dirawat.Di depan pintu kamar 1631, Joshua kembali meragu untuk masuk ke dalam atau tidak. Tiba-tiba suara tawa Jonah dengan suara seorang anak perempuan yang pasti bisa dipastikannya anak Peter terdengar hingga keluar kamar. Alis matanya hampir beradu memikirkan apa yang diinginkan Jonah mencarinya? Apa bocah itu ingin meminta pertanggungjawabannya? Ataukah ingin …. Bayangan Joshua semakin liar.Langkah kakinya tidak lagi tegak, kakinya sudah mundur selangkah dari semula. Dia harus segera pulang!“Arabella, maafkan aku. Hari ini aku harus lembur, mungkin besok pagi atau sore aku akan ke sana, ya. Maafkan aku,” ucap Joshua di ponsel dari lantai bawah ru
“Tidurlah sebentar kalau lelah, Ara,” jawab Peter sambil terus mengusap lembut pucuk kepala wanita itu.“Aku takut … dia tidak akan pulih. Bagaiimana ini?” tanya Arabella dengan pilu. Hatinya bagai diiris sembilu melihat kondisi Jonah yang belum pulih sejak kecelakaan itu terjadi.“Sstt … jangan putus asa. Dia sudah bangun dari koma, kita harus bersyukur pada Tuhan, Ara. Kita masih diberi kesempatan untuk bersama dengan dia. Jadi kau tidak boleh putus asa. Kau harus lebih bersemangat dari Jonah agar mampu memberinya semangat lebih. Aku akan tetap di sini bersamamu,” ucap Peter memompa semangat pada Arabella yang putus asa.Arabela hanya diam dan makin menyurukkan kepalanya ke dada bidang Peter.Peter tahu, Arabella lelah, begitu juga dia. Lelah menghadapi ketidakpastian kondisi Jonah sejak kecelakaan itu. Dan saat dia sudah bangun, ternyata ada kenyat