"Bukan anak ini pelakunya," ujar pak Tarjo yang membuatku langsung berucap syukur. Alhamdulillah, semoga saja masalah ini bisa segera selesai dan Thalita mendapatkan ganjarannya atas tuduhan yang ia buat."Dan tidak pernah ada anak sekolahan yang datang kemari untuk menanyakan barangnya yang hilang. Saya yakin anak itu hanya ingin membuat masalah saja," lanjut pak Tarjo lagi yang membuat para guru saling pandang."Benar gak ada anak sekolahan yang datang kemari, Pak?" ulang bu Meri lagi. Tampaknya, ia tak begitu percaya jika murid kesayangannya berperilaku buruk seperti itu."Ya, tidak ada. Dalam setahun ini bahkan tidak ada anak sekolahan ke sini kecuali ibu-ibu atau remaja dewasa yang meminta pelet jodoh dan meminta obat.""Terimakasih pak Tarjo atas jawabannya. Kami pamit dulu dan ini ada sedikit ucapan terima kasih dari kami," ucap bu Dewi menyerahkan sebuah amplop putih.Setelah keluar dari rumah itu, aku fikir kami akan kembali pulang pada rumah masing-masing. Rupanya, bu Meri b
"Guys!""Ada juragan tanah! Yuk, minta foto bareng!"Kami yang baru saja menyelesaikan pembelajaran di jam pertama mendadak bangkit dan berkerumun ke balkon saat mendengar teriakan Thalita. Tidak ada satupun siswa yang mau ketinggalan, semua berdesak-desakan karena ingin melihat juragan tanah yang di maksud.Dari balkon ini, jelas aku melihat ayah dan bang Rofiq keluar dari dalam mobil Bugatti la voiture noire berwarna kuning. Mobil yang di beli ayah sekitar lima bulan lalu seharga 227,5 Milyar yang membuat geger seluruh indonesia. Mobil itu ayah beli langsung saat pergi ke Molsheim, Prancis bersama ibu. Mereka sengaja berlibur ke sana karena memberi hadiah ulang tahun ibu yang ke 45 tahun. Waktu itu, aku sengaja tidak mau ikut. Sesekali, membiarkan mereka berdua berlibur lebih menyenangkan bagiku. Mana tahu, pulang dari sana ibu sama ayah bisa punya dedek bayi lagi, he...he..."Waww....Keren abis! Mobilnya bagus banget guys. Itukan harganya lebih dari dua ratus milyar. Di Indonesia
Saat aku dan ayah memasuki kantor, pak Fajri dan seluruh majlis guru melongo. Mereka melirikku dan ayah bergantian tanpa ada yang mampu mengeluarkan suara. Pak Askari memberikan kami tempat duduk, setelah itu meletakkan tiga buah aqua di atas meja juga sneck di atas piring."Silahkan di nikmati, Pak. Maaf, Hanya ini yang ada," ucap pak Askari tersenyum.Ayah merogoh sakunya, mengeluarkan dompet yang isinya lembaran kertas berwarna merah semua. Menempelkan lima lembar ke tangan pak Askari, lalu meminta tolong agar memberikan sneck yang lebih banyak agar semua guru ikut menikmati makanan."Tolong belikan sneck lagi ya, Nak," pinta ayah tersenyum yang langsung di angguki pak Askari. Beliau berlalu dari kantor dan beralih ke area parkiran untuk mengambil mobilnya.Thalita juga sudah memasuki kantor. Ia duduk di samping pak Fajri dengan sorot mata yang tak pernah berpaling dariku. Sedang siswa yang lain, terlihat berjejer di luar jendela untuk menyaksikan kegiatan ini."Ma-Maryam....Apa a
POV Thalita"Woi Guys....Ada murid baru, cantik banget!"Doni, ketua kelas berteriak dari balkon saat kami semua menunggu guru jam ke dua. Mendengar itu, seluruh anak kelas berhamburan ke balkon untuk menyaksikan. Ada juga yang turun ke lantai bawah untuk menatap langsung dan berkenalan. Siswi baru itu emang cukup cantik, tinggi badannya cocok banget sama berat badannya yang mungkin hanya sekitar 50 kg. Kulitnya terlihat putih bersih, bibirnya merah walau tanpa lips, rapi, dan murah senyum. Cukup menarik memang, andai ia bersekolah di sini bisa-bisa akan menjadi sainganku."Cantik bener. Baru kali ini liat siswi seperti ini. Kalau kayak gini mah harus cepat-cepat di tembak ini biar gak keduluan orang lain." Afkar yang sedari tadi berdecak kagum terdengar berujar sendiri, membuatku semakin muak saja."Beib, saingan tuh kayaknya." senggol Suri. Aku hanya mencebikkan mulut lalu ikut turun ke lantai bawah. Mungkin, siswi tadi sedang memasuki kantor. Aku harus tahu siapa ia sebenarnya agar
pov ThalitaAyah dan ibu bertengkar hebat karena keputusan ayah yang menskorku dari sekolah di protes ibu. Sampai kini, bahkan keduanya belum terlihat akur meski ayah sudah berulang kali membujuk dan menyatakan permasalahan sebenarnya. Tapi, bukan ibu namanya jika harus patuh dan tunduk atas saran yang ayah beri.Aku yang menyaksikan hanya diam saja, bagiku hal itu malah seolah sudah bagaikan menu makanan tiga kali sehari bagiku. Menurutku ayah terlalu lebai dan sok baik. Sampai-sampai anak sendiri di korbankan demi orang lain. Andaipun ayah tak jadi menskorku, aku yakin juragan tanah itu tak akan tahu. Maryampun tak akan berani nengadu karena sudah pasti aku akan mengancamnya. Ia fikir, setelah ku tahu dia orang kaya akan membuatku ikut tunduk seperti yang lain? Sorry, rasa benciku malah semakin berkobar-kobar."Kalau Abang gak mencabut keputusan itu, saya akan pergi dari rumah ini. Kita bercerai saja!"Taktik ibu mulai keluar. Aku yakin, jika sudah seperti ini ayah akan mengalah. A
"Maryam.....Boleh dong ajak kita-kita main ke rumahmu." ucap Nora saat semua siswa sudah bubar dari kegiatan apel pagi."Main ke rumah, saya?" ulangku lagi agak bingung. Maklum, gak biasanya. Jadi, rada-rada aneh begitu telingaku mendengarnya."Iya. Pengen juga ngerasain nginjakin kaki di rumah sultan. Bener gak teman-teman?" serunya yang membuat seluruh anak kelas mengiyakan."Duh, maaf ya semua. Tapi rumah saya jelek, sempit lagi. Emang mau saya ajakin ke sana?" ucapku merendah. Kan, memang seperti itu juga praduga mereka selama ini."Ah, gak percaya aku. Masa iya rumah sultan kayak begitu. Habis pulang sekolah kami ikut ya, Mar." ujarnya lagi yang akhirnya hanya aku angguki sedikit.__"Maaf ya, saya ngajaknya ke tempat makan beginian. Gak nyesal kan?" tanya pak Askari setelah menepikan mobilnya tak jauh dari penjual pecel sayur tepi jalan.Setelah bel istirahat berbunyi, tiba-tiba pak Askari mengajakku ikut dengannya. Tanpa banyak tanya, aku hanya turut memasuki mobil dengan dud
"Wiih...Rumahmu bagus banget, Mar. Kayak istana benaran, loh. Luas, harum pula." puji Suri setelah kami memasuki rumah. Ibu yang melihat kedatangan kami tadi bahkan sempat shock, karena hampir seluruh anak kelas yang ikut berkunjung. "Baru kali ini loh aku menginjakkan kaki di rumah semewah ini. Pasti nyaman banget kalo tidur di sini." ujar Nora lagi dengan mata tak berkedip menyisir ke seluruh ruangan yang di laluinya."Rumahmu menang jauh dari rumah Thalita, Mar. Rumahnya sih lumayan besar, tapi perabotannya gak banyak. Kamarnya juga cuma ada empat." imbuh yang lain lagi mulai membuka cerita tentang ketua geng mereka."Sudah, sudah! Ayo, minum dulu." ajakku setelah minuman juga kue yang baru saja di letakkan bibi di atas meja.Mereka berhamburan ke sofa ruang tamu, selebihnya memilih ruang keluarga yang hanya memiliki sekat kaca dengan ruang tamu. Masing-masing mereka masih saja memuji rumah ini sembari menikmati cemilan. Ada juga yang memotret dengan camera ponselnya karena ing
Kak Vino tak lagi berkomentar apa-apa. Ia meninggalkan kami, menuruni jenjang menuju lantai satu. Syukurlah pak Askari datang tepat waktu, semoga saja kak Vino tak lagi mau menggangguku. Aku yakin, ia mendekatiku hanya karena ia sudah tahu siapa ayah. Jika bukan karena itu, tentu sudah lama ia menyatakan perasaannya."Beneran bapak tunangannya Maryam?" tanyaku malu-malu pada pak Askari."Hmmm....Iya."Dih, singkat amat lagi jawabannya. Kayak gak ikhlas gitu."Kok Bapak gak bilang sih, dari awal?" "Biar?""Ya...Biar tenang.""Hmm...Emang selama ini gak tenang?""Tenang, sih. Cuma takut aja bertepuk sebelah tangan. He...He..." ujarku menutup mulut."Ada-ada saja, kamu. Yok, masuk."Pak Askari berjalan lebih dulu dan aku ikuti dari belakang. Rasanya, bagaikan dapat durian runtuh. Benar-benar gak nyangka jika cinta pertamaku itu ternyata benar-benar calon jodohku. Huh! Percepatlah masa ini, Tuhan. Biar bisa duduk berdua di pelaminan. Hi...hi..."Ciee....Akhirnya jadi, juga." ucap Tari me