"Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A
"Dih, Mar....Ayahmu rupanya tidak pernah bersekolah, ya?"Aku sempat tersentak kala mendengar pertanyaan Talita teman satu sekolahku yang memeriksa rapor milikku. Hari ini kami di tugaskan untuk mengumpulkan kembali semua rapor, sebab beberapa bulan lagi kami akan mengadakan ujian semester. Baru saja rapor milikku aku letakkan di atas meja, berpaling sebentar, rupanya sudah di ambil begitu saja oleh Talita, anak kepala sekolah di sini."Yang benar kamu, Ta?"Suara Nora terdengar menyahut dari arah kursinya."Ya iyalah. Di sini tidak ada di tuliskan sekolah apapun. Sd pun tidak.""Pantas ya selama ini Maryam gak mau memperkenalkan ayahnya sama kita. Hi hi.... Rupanya ayahnya buta pendidikan." sambut Suri, teman satu komplotannya Talita."Kalau aku sih sebenarnya sudah curiga juga dari awal. Tapi kan, kita perlu bukti juga." sambung Talita dengan gelak tawanya.Posisi kami kini sedang di dalam ruang kelas menanti bel masuk berbunyi. Tapi seperti biasa, keberadaanku di sini terasa bagai
Kegiatan belajar mengajar di jam pertama akhirnya kelar juga. Guru muda yang bernama pak Askari itu segera minta izin keluar ruangan setelah memberikan tugas. Talita dan anggota gengnya tak tinggal diam, mereka berlarian ke arah meja guru ketika melihat pak Askari bangkit dari tempat duduknya."Pak....Fotbar boleh dong?" Talitha mendekat, mengeluarkan ponsel mewahnya dari dalam saku baju memberi kode. "Iya, Pak...Fotbar ya...Sekaliiii aja." sambut yang lain. Pak Askari tampak bingung. Ia memandangku sesekali dengan menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal sama sekali. Aku yang sudah kebaperan di tatap seperti itu memutuskan menundukkan kepala, kata ayah wanita itu harus memiliki rasa malu. "Hmm..Boleh, tapi Maryam tidak ikut?"Pak Askari menatapku lagi. Jantungku sudah berdentum-dentum layaknya pemain drum band. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh kayak begini."Tidak usah, Pak." jawabku. Memaksa memancarkan seulas senyum di bibir ini."Maryam jadi tukang foto aja, Pak. N
Aku mencubit lengannya. Kayaknya ini anak sudah habis kesabarannya supaya tidak tahan menampung rahasia. Wajah putihnya sudah memerah layaknya udang rebus, namun aku hanya berusaha santai seolah makian mereka tidak pernah nyangkut di telinga. "Sudahlah Tari. Temanmu itu emang kere sejak lahir. Gak usah deh pake di belain segala apalagi ngehaluin dia jadi anak orang kaya. Duit lima ratus ribu itu aja mungkin belum pernah tuh di pegang sama si Maryam seumur hidupnya." Ujar Thalita yang di angguki oleh yang lain."Benar itu, Tari.""Bener. Jangan ngehalu deh.""Jadi, bagaimana ini kak?"Salah seorang anak smp itu kembali bersuara yang berhasil menghentikan semua cemoohan mereka. Kini, semuanya hanya saling pandang dan mengedikkan bahu masing-masing.Sebenarnya aku ingin sekali membantu Mesi dalam masalah ini, kebetulan tadi pagi ayah memberiku uang kes satu juta karena di minta untuk membeli bahan kue di pasar sore setelah pulang sekolah nanti. Aku fikir ayah tidak akan keberatan jika u
"Keren kamu, Mar. Nyumbang lima ratus ribu loh. Bisa beli paket internet telkomsel lima bulan." puji Tari seraya melirik ke arah Thalita juga teman komplotannya. Mau balas dendam kayaknya ini anak."Halah...Paling itu hasil nuyul. Benar gak guys?"Nora mencebik ke arahku dan menyisir ke seluruh siswa. Namun, tidak semuanya yang tampak mengiyakan. Mereka hanya memandangiku dan Nora bergantian, lalu kembali pada kegiatannya masing-masing. Aku percaya, sebenarnya tidak semuanya yang ingin memuja-muja Thalita di kelas ini. Namun karena ia anak dari kepala sekolah, ia merasa bangga diri dan suka berbuat semena-mena hingga yang level perekonomiannya di bawah Thalita hanya bisa manut dan mau tidak mau nimbrung menjadi pengikutnya jika tidak ingin di jauhi."Sudahlah, Nor. Duit lima ratus ribu gitu aja kok bangga. Itupun belum tentu loh dia benaran ngasih. Kita lihat aja nanti. Mana tahu cuma numpang viral doang. tukas Thalita dan bangkit dari tempat duduknya. Padahal bu Dewi, guru jam ke du
Suri dan Nora segera menarik tangan Thalita yang masih terbaring di lantai. Sedangkan Afkar sudah mendapatkan ponsel yang sedari ia incar dan menghapus vidio Thalita. Setelah itu, ia keluar ruangan dan tidak kembali lagi.Dan aku?Aku malah menjadi salah tingkah sekarang. Antara ingin tertawa dan mengasihani nasib Thalita yang kini keningnya sudah tampak benjolan sebesar bakpau dengan warna kehijau-hijauan. Ia terus meringis kesakitan namun tak juga reda mengumpatiku dengan kata-kata kotor. Begini memang kalau keras kepala, sudah kena karma belum juga sadar diri."Kita bawa ke ruang uks saja, Sur." ajak Nora pada Suri sebelum mereka meninggalkan kelas. Aku dan Tari tidak diam saja, tapi kami masih mengekori ketiganya meski tidak turut membantu menuju ruang uks."Bagaimana ini kejadiannya, kok bisa seperti ini, Tha?" Bu Ririn terlihat panik. Tangannya masih sibuk memberi obat luka ke kening Thalita yang ternyata sempat tergores dan mengeluarkan darah meski hanya beberapa tetes."Itu, B
Kami semua sudah berkumpul di ruang guru, tinggal menunggu pak kepala sekolah keluar dari ruangannya agar sidang ini di mulai. Aku duduk bersebelahan dengan Tari. Sedangkan Thalita duduk di tengah-tengah dua dayangnya, Suri dan Nora yang di batasi satu meja panjang dari kami. Dan di hadapan kami berlima, belasan guru sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Silih berganti memperhatikanku dan Thalita, dan saling berbisik-bisik.Aku fikir memasuki ruang guru tidak akan semenegangkan ini karena aku jelas tidak bersalah. Namun nyatanya jantungku masih saja deg-degan tidak karuan. Apalagi, tepat di hadapanku ada pak Askari yang sedari tadi sering kali mencuri pandang. Hingga membuatku semakin serba salah."Kita pasti menang, Beb. Tenang sajalah." terdengar Suri menenangkan Thalita yang tak kalah tegangnya dariku. Tangannya tampak meremas ke dua tangan sahabatnya seraya bibirnya yang terus bergerak sedari tadi. Mungkin saja ia berdzikir minta perlindungan. Eh, apa mungkin manusia seli
"Dek, ini uang yang tadi pagi aku bilang. Titip salam sama Mesi, ya." titahku pada Ayana siswi smp yang tadi pagi meminta sumbangan ke kelas.Ia tampak kikuk merima uang yang aku berikan. Lama memperhatikan lembaran uang berwarna merah itu baru mau memasukkannya ke dalam kotak."Tenang saja. Itu bukan uang curian kok." ujarku akhirnya. Aku seperti bisa membaca isi fikirannya. Karena yang mereka tahu aku ini hanyalah anak dari penggarap sawah yang tentunya untuk makan saja susah.Ia tersenyum cengengesan. Nampak sekali jika bibirnya di tarik paksa demi menghargai ucapanku. "Iya, kak. Makasih banyak ya. Nanti kami titipin salam kakak, deh."Aku mengangguk. Lalu beralih mengambil sepedaku di sudut parkiran sekolah. Sore ini aku harus mampir ke pasar sore dulu untuk membeli bahan-bahan kue, kata ayah bahan kue ibu sudah habis dari kemaren. Ibu sebenarnya tidak berjualan kue, namun ibu hobby memasak yang membuatnya seperti seorang pedagang. Seharian bahkan separoh waktunya habis di dapur