Mulanya biasa saja. Ayu tetaplah Ayu yang aku kenal dulu saat di kampung. Tak ada yang berubah dari sikapnya. Tetap menjadi gadis yang baik dan tidak pernah keluyuran. Berteman dengan banyak laki-laki pun tak pernah. Hanya sesekali mengerjakan tugas kelompok. Kenapa aku bisa tahu semuanya? Uang yang mengatur segalanya. Ya, beberapa orang di kampus sana aku bayar untuk mengawasi Ayu. Baik mahasiswa, atau pun penjaga gedung. Berlebihan memang. Aku merasa menjadi seorang mafia yang begitu tergila-gila pada wanitanya. Hingga suatu hari aku mendengar kabar bahwa Ayu sedang didekati salah seorang seniornya. Ya, masih didekati. Bukan saling mendekat. Aku masih membiarkannya saja. Berharap Ayu sadar dan ingat, bahwa dia sudah memiliki seseorang yang akan menjadi suaminya nanti. Namun selang beberapa bulan, kurasa hati Ayu mulai luluh. Mungkin hatinya berangsur menerima kebaikan dan ketulusan laki-laki bernama Fandi itu. Dan akhirnya aku mengetahui bahwa mereka resmi berpacaran. Aku cembu
Lagi-lagi aku memancing Ayu agar berusaha jujur. Mengakui Fandi sebagai lelaki yang dulu pernah dekat dengannya. Tak apa sakit, asal Ayu tak bilang bahwa masih ada dia di hatinya. Namun lagi-lagi Ayu menyangkal. Dan aku tak lagi ingin memaksa. Hingga pada suatu malam saat hendak menjemputnya usai pulang kerja, kulihat mereka berdua sedang asyik mengobrol di depan kampus. Aku yang saat itu merasa begitu cemburu hanya bisa menatap dari dalam mobil. Namun lagi-lagi bibir ini kembali tersenyum, saat kulihat mereka terlibat perselisihan, dan Ayu seperti tak suka dan ingin Fandi segera menjauh darinya. Usai laki-laki itu menjauh, aku langsung mendekatinya. .Hari itu sebuah insiden terjadi. Aku yang selama ini selalu mengawasi gerak-gerik Ayu dari layar komputer cctv melihat kejadian yang membuat darahku semakin mendidih. Tentu saja aku langsung menyaksikan bagaimana tiba-tiba Fandi memegang tangan istriku di kantornya.Lalu tiba-tiba muncul Sinta, dan aku tak bisa terima dengan semua pe
Siang ini aku mengunjungi Sari di rumahnya. Meminta maaf dan mengatakan kejadian sebenarnya hingga tak ada lagi yang aku sembunyikan. Aku tak mau lagi ada rahasia yang membuat hubungan kami kelak menjadi tidak sehat, seperti hubunganku dengan Mas Aryo saat ini. Sari tampak sangat syok. Entah di bagian mana ceritaku yang membuatnya merasa seperti itu. Entah kecewa karena aku berbohong dan menyuruhnya pulang saat itu, atau kah karena Mas Aryo yang selama ini bersandiwara bersama kedua orang tuaku. "Kamu pasti marah dan benci banget sama aku kan, Sar?" rengekku manja pada sahabatku sedari ingusan itu. "Udahlah, Yu. Emang udah jalannya begitu, mau gimana lagi?""Aku memang pantas disebut cewek matre kan, Sar? Ninggalin Fandi gitu aja hanya demi Mas Aryo. Padahal laki-laki yang aku pilih ternyata seorang pembohong.""Hush! Nggak boleh gitu, Yu. Dosa lho. Mas Aryo kan bilang, kalau dia ngelakuin itu karena cinta sama kamu.""Kalau cinta kan nggak berbohong sampai sejauh itu, Sar.""Ya, m
"Kamu ngomong apa, Yu?" Wajahnya terlihat cemas. "Maafin Ayu, Mas. Ayu udah mikirin semuanya. Hubungan kita ini nggak sehat. Banyak kebohongan, dan sandiwara. Ayu dan Mas Aryo dari awal udah sama-sama nggak jujur. Apa lagi yang mau kita pertahankan?""Mas cinta sama kamu, Yu. Mas kangen sama kamu. Setelah beberapa hari nggak ketemu dan saling ngobrol, kamu tiba-tiba pengen ninggalin Mas gitu aja?""Ayu nggak sanggup, Mas. Ayu nggak tau apa yang Ayu rasain saat ini. Entah itu marah atau pun rasa bersalah. Ayu sekarang jadi merasa canggung ketemu sama Mas Aryo.""Bapak dan Ibuk tau masalah ini?" tanyanya cemas. Aku menggeleng. "Mas Aryo aja yang ngomong. Kan waktu mau nikah, Mas Aryo yang datang melamar. Sekarang kalau mau balikin anak orang, dipulangin baik-baik dong, Mas.""Sampai hati kamu ngomong seperti itu sama Mas, Yu? Hanya karena masalah seperti ini?"Hanya masalah seperti ini katanya? Dia menganggap sepele semua kebohongan itu? Aku kembali memalingkan wajah. Tak mau lagi me
"Duh, maaf, Mas. Ayu nggak sengaja," ucapku pada Mas Aryo, begitu tahu kalau dia merasa kesal atau marah."Hem...." sahutnya begitu saja, lantas mengabaikanku dan melanjutkan langkahnya.Aku tak peduli. Dia berhak marah dan bersikap seperti ini. Aku tak perlu mengharap sapaan hangat darinya lagi, atau memperhatikanku seperti biasa.Aku bergegas turun meninggalkan area kantor yang semuanya terletak di lantai tiga. Baik ruangan Mas Aryo, Fandi, atau pun ruang rapat. Usai mengganti pakaian dengan seragam, aku berdiri di samping kasir. Kebetulan jam makan siang sudah terlewati saat Mbak super menceramahi aku tadi. Jadi, saat turun dan bertugas sudah agak sepi."Ke mana aja kamu, Yu? Kok nggak balas wa aku sih?" tanya Wina. "Aku kan khawatir.""Lagi ada masalah, Win. Maaf, ya," sahutku."Iya, aku maafin," godanya. "Tapi kayaknya ada yang lagi uring-uringan lho. Tiap hari nanyakin aku, udah ada kabar dari kamu apa belum.""Dih, apaan sih," sahutku cuek. Pastilah yang dia maksudkan itu adal
Kami berdua langsung terdiam. Aku kembali mengusap air mata. Tak berani menatap wajah Mas Aryo. Kata-kata terakhirnya tadi masih meninggalkan luka di hatiku. Dia bahkan sudah tak menganggapku siapa-siapa lagi sekarang."Maaf, Pak. Kalau suara kami mengganggu ketenangan Bapak," ucap Fandi mewakili permohonan maaf kami."Kalian ini apa benar-benar pacaran?" tanyanya kemudian.Aku langsung melotot tajam ke arahnya. Merasa tak percaya dengan kata-kata jahat yang keluar dari mulutnya. Bukankah kemarin dia sendiri yang bilang kalau percaya dan sudah memaafkanku? Kenapa sekarang dia malah menuduhku seperti ini?"Tidak, Pak. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kami.""Tapi saya perhatikan, kamu kelihatan perhatian sekali sama Ayu. Atau jangan-jangan, kamu memang suka sama dia?"Dadaku semakin panas dibuatnya. Kenapa Mas Aryo begitu tega bicara lancang seperti itu di hadapanku. Apa sebenarnya yang dia inginkan."Bukan seperti itu ceritanya, Pak. Sebenarnya saya tidak ingin bilang, tapi hubung
Aku terkejut mendengar apa yang baru saja dia ucapkan. Hak apa yang dia inginkan? Oh, iya. Bukannya sejak aku menginap di kampung, kami memang tidak pernah lagi beribadah?"Ish, nggak boleh!" Dengan cepat aku mendorong tubuhnya yang sudah separuh masuk, lalu kembali menutup pintu dan langsung memutar anak kunci."Yu, kok ditutup lagi?" Mas Aryo kembali mengetuk.Aku yang masih bersandar sambil memegangi dada yang berdebar-debar karena ucapannya tadi, masih terdiam tak menjawab."Yu," panggilnya dari balik pintu."Apa? Ayu capek. Mau tidur," sahutku."Mas juga capek, Yu.""Kalau capek tidur aja.""Mau ngambil hak dulu.""Nggak mau!""Bentar aja, Yu.""Enggak!""Mas kan masih punya hak, Yu.""Tapi, kita kan udah pisah ranjang.""Iya, di kamar Mas yang sekarang aja."Dih, mau enak-enaknya saja. Kalau ngomong tidak pernah mau mikirin perasaan orang. Apa memang seperti itu semua laki-laki?"Yu?""Pokoknya enggak.""Masa Mas harus minta sama Mbok Nah sih, Yu. Kan nggak sopan. Mbok Nah udah
Malam ini aku kembali mengurung diri di dalam kamar. Tak ingin rasanya berhubungan dengan Mas Aryo. Cukup sudah semua ini. Aku tak mau berharap apa-apa lagi darinya. Dan malam ini pun Mas Aryo sama sekali tak menegur atau meminta sesuatu padaku. Kami berdua saling diam dan tak mau meminta maaf. Terserah!.Kebetulan hari ini aku tidak ada mata kuliah. Akhirnya aku memberanikan diri menghubungi Fandi untuk bertemu, mumpung Fandi belum masuk kerja.Aku menunggu di bawah pohon di area kampus, di mana aku dan Fandi sering bertemu dan mengobrol dulu."Ada apa, Yu? Tumben ngajak ketemu?" Fandi menatapku curiga. Setelah pernikahan, aku memang tak pernah lagi mengajaknya bertemu. Merasa mengkhianati suami jika hal itu aku lakukan. Namun kenyataannya sekarang berbeda. Aku dan Mas Aryo akan segera berpisah. Sudah tak ada kecocokan di antara kami."Anu, Fan. Aku mau minta tolong sama kamu," ucapku ragu-ragu."Ngomong aja, Yu. Ada apa?""Fandi, kamu punya uang, nggak?" Kulihat dia mengernyit. Ma