Langit sore menggantung kelabu saat Jason menunggu jemputan di depan sekolah. Biasanya Aster atau sopir pribadi yang datang. Namun sore itu, seseorang yang tak dikenal menghampirinya.“Jason?” panggil seorang pria berpakaian rapi, membawa helm motor di tangan.Jason menoleh, mengerutkan dahi. “Iya. Om siapa?”Lelaki itu tersenyum. “Aku Andre. Temen papa kamu.”Jason menatap lelaki itu, heran. “Temen Papa? Kok aku nggak pernah ketemu sama Om?”“Soalnya Om ketemu sama papa kamu udah dua puluh tahun lalu,” katanya.“Terus, kenapa Papa nggak jemput aku dan malah Om yang ke sini?” tanya Jason.“Ya. Papa kamu mendadak meeting, Bunda kamu katanya masih di kantor. Mereka minta aku jemput kamu. Anggap aja kita udah pernah ketemu 'kan waktu di kantor papamu?”Jason mengangguk ragu. “Ya… kayaknya Om bukan orang jahat,” kata Jason.Lelaki itu menyeringai. “Betul. Nggak mungki
Sementara itu, di apartemen lama Dewi, Galih berdiri di depan rak buku lama milik Dewi, menyisir dengan cepat dokumen-dokumen dan kliping foto dari masa SMA. Di salah satu map lusuh, ia menemukan foto berdebu yang membuatnya tercekat.Foto itu diambil saat kegiatan OSIS, tahun 2007. Ada Galih muda yang saat itu masih dikenal dengan nama panggilan Ady. Ia berdiri di barisan paling belakang. Namun, bukan itu yang membuatnya terdiam.Di pojok kanan bawah foto, hampir tak terlihat, ada sosok lain.Andre. Berdiri setengah membelakangi kamera, wajahnya nyaris tertutup rambut panjangnya.Di balik foto itu, tertulis kalimat dengan tinta merah.‘Kenapa kalian semua berpura-pura seolah aku nggak pernah ada?’Di rumah, malam mulai turun. Aster sedang menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Saat ia mengangkat pandangan, ia melihat sesuatu di pantulan kaca jendela.Seorang perempuan berdiri di b
Keesokan harinya, Aster menyempatkan diri ke tempat ibunya dirawat dahulu, sebuah rumah sakit tua yang kini beralih fungsi menjadi panti jompo. Ia berbincang dengan seorang perawat senior bernama Bu Sinta. "Maaf, Bu. Dulu... pernah ada pasien laki-laki aneh yang suka mondar-mandir di sekitar ruang rawat Mama saya, nggak?" Bu Sinta mengernyit, lalu berkata, “Kamu anaknya Bu Harni?” tanya Bu Sinta. Aster mengangguk. “Ya Allah... Iya, ada. Dia suka duduk di bangku taman. Diem aja. Nggak pernah bicara. Tapi setiap jam tiga sore, dia nunggu di kursi ujung lorong... Kayak nunggu seseorang keluar dari ruangan.” Aster merasa bulu kuduknya merinding. "Ibu masih inget nggak, siapa namanya?" "Kalau nggak salah... Andre. Andre Soetikno." *** Hujan mengguyur langit kota seperti ingin menyapu bersih jejak-jejak masa lalu yang mulai bangkit dari kuburnya. Aster baru saja tiba di rumah usai mengantarkan Jason ke kelas les Mandarin. Ketika ia membuka pintu pagar, pandangannya langsung
Aster tak bisa melupakan pandangan laki-laki yang bersama Dewi. Bukan karena wajahnya, tetapi karena perasaan tak nyaman yang muncul tiba-tiba. Semacam firasat yang tak bisa dijelaskan. Bahkan ketika mereka sudah tiba di rumah, bayangan wajah pria itu masih terpatri di benaknya. Malamnya, setelah Jason tertidur dan rumah sunyi, Aster membuka ponsel dan mulai mencari-cari akun media sosial Dewi. Ia menemukan foto-foto yang sama seperti yang sering Dewi pamerkan. hidup mewah, liburan, dan restoran mahal. Namun, tak satu pun foto pria tadi muncul di feed-nya. "Hm. Aneh banget. Padahal tadi gandengannya nempel banget,” gumamnya. Galih masuk ke kamar membawa dua cangkir teh hangat. “Masih stalking, ya sayang?” Aster menoleh sambil tersenyum kecil. “Kepo aja. Tapi aneh, Mas. Cowok tadi nggak ada di sosmed dia.” Galih duduk di sisi tempat tidur. "Mungkin baru kenalan?" “Tapi tatapan cowok itu... Dia ngeliat kamu, Mas. Lama banget. Kayak kenal gitu,” ucap Aster, kini mulai serius
Aster buru-buru memasangkan sepatu hak tinggi di kakinya sehingga ia terpeleset. Dengan segera dia berpegangan pada sisi tangga. Galih dengan segera membantu istrinya itu."Sayang, kalau kamu capek, bilang capek. Aku bisa gendong kamu,” katanya."Mas, ini kantor." Aster merapikan kemejanya dengan tangan."Kenapa? Aku suami kamu. Nggak akan ada yang marah kalau aku gendong kamu." Galih menatapnya dengan senyum menggoda, seperti biasanya.Aster hanya tersenyum. Ia menghela napas lalu mengembuskannya perlahan.Aster mengusap lututnya yang memerah karena terjatuh, wajahnya menahan malu meski hanya ada mereka berdua di ruang ganti staf yang belum ramai pagi itu. Galih langsung berjongkok di hadapannya, tangan hangatnya memeriksa luka kecil di kulit istrinya.“Kamu tuh ya, padahal pakai sepatu ini tiap hari. Kenapa hari ini malah jatuh?” tanya Galih.Lelaki tampan itu tersenyum kecil, meski m
Mereka kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Usai membersihkan diri dan makan malam bersama, Jason pamit kembali ke kamarnya untuk beristirahat.Suasana hening itu membuat Galih memiliki ide untuk melakukan permainan bersama Aster. Galih membuka lemari miliknya, mengeluarkan kartu berwarna-warni dari sana.“Kita isi malam ini dengan permainan seru, Sayang.”“Permainan apa, Mas?” tanya Aster.Galih menyeringai. Dia diam-diam mengeluarkan wine dari lemari penyimpanan di kamar utama, kamar mereka berdua.Aster sedikit terkejut dengan sisi gelap suaminya itu. “Maksudnya kita main kartu sambil minum?”Galih mengangguk. “Jawab pertanyaan, atau minum,” katanya.Aster tertawa pelan. “Oke.”Permainan kartu tanya-jawab itu berlangsung santai di tengah kamar, ditemani cahaya lampu temaram dan alunan musik jazz yang pelan mengisi ruangan. Meja kayu bundar di hadapan mereka dipenuh