“Dia!” Mata Elang Eugene tak sengaja menangkap sosok pria yang sama dengan di foto. Pria berseragam SMA itu menyapa teman-temannya. Lalu memakai helm dan menancap gas.
Eugene menaiki motor dan menancap gas. Menyusul Pria yang sudah bermain-main dengan Istrinya. Saat motor Eugene berhasil menyusul, mereka akhirnya bermain balapan. Saling menyalip satu sama lain.
Tin! Tin!
Eugene memencet klakson motor. “Berhenti!”
Perlahan-lahan Lay mengurangi kecepatan motor. Ia menepi di dekat trotoar. Jalan itu juga sepi. Melihat Lay turun, Eugene ikut turun dari atas kendaraannya. Meremas-remas tangannya yang mengepal.
“Maaf Pak Polisi, saya salah apa?” tanya Lay polos.
Sebuah tinjuan melayang di pipi, “ Jangan dekati Ayuna!”
Buk!
Pipi Lay sedikit terlempar. Ia menyeka darah segar di ujung bibir. “Ah!” tersenyum tipis. “Anda siapa melarang saya?”
“Saya
“Mami!”“Iya sayang!” Mami Ananta masih bahagia. Ia terus saja memandang foto USG Sang menantu. Tak sia-sia ia baik pada Ayuna. Akhirnya gadis itu bisa hamil.“Mi, jangan bilang ke Mas Eugene dulu ya kalau Yuna hamil.”“Loh kenapa Sayang? Suami pasti bahagia.”“Yuna ingin ngasih kejutan ke Mas Eugene Mi.”“Oh baiklah kalau itu keinginanmu.”***Hati Ayuna terasa sakit melihat suaminya terluka. Tak terasa butiran air mata mengalir deras di pipi. “Mas, Yuna sedih liet Mas kayak gini.”“Enggak usah sedih. Saya enggak apa-apa.” Intonasi Sang Suami sangat dingin tidak seperti biasanya.“Mas, besok hari pertama Yuna ujian. Apa Yuna enggak ujian aja buat jagain Mas Eugene.”“Kamu harus ujian. Jangan hiraukan Saya.”
Awan-awan kembali menggulung di langit. Walaupun pagi tak secerah biasanya. Tapi ujian kelulusan siswa di Sekolah Menengah Atas tetap di laksanakan. Seluruh siswa memasuki ruangan ujian. Termasuk Ayuna, Toby dan Wanda. Namun, kali ini mereka bertiga tidak berada dalam satu ruangan.Ayuna memanjatkan doa, mengelus-ngelus perutnya. “Kalau memang di dalam perut Yuna ada Dedek. Yuna berharap Dedek do’ain Mommy,” batin Ayuna. Gadis itu ingin tertawa dalam hati karena memanggil dirinya sendiri dengan Mommy.“Siap anak-anak?”“Siap Bu.” Mereka pun satu persatu masuk ruangan ujian. Ayuna duduk di bangku paling depan dekat dengan jendela.Bu Kim membagikan kertas ujian pada Seluruh siswa. “Kerjakan dengan benar. Jangan ada yang menyontek!” ancam Bu Kim.Pikiran Ayuna sebenarnya masih berlabuh pada kejadian tadi pagi. Saat Violet datang dan menyuapi Ayuna. Gadis itu tak percaya Eugene melakukan hal
“Mas, cemburu sama Yuna. Makanya Mas berbuat kayak gini.” Mata Elang Eugene langsung menatap elang Ayuna sangat dalam. “Mas, Yuna marah sama Mas Eugene! Tolong dengerin penjelasan Yuna dulu.”“Penjelasan apa? Penjelasan kalau kamu bermain apa dengan lelaki lain. ““Mas, entah apa yang Mas Eugene liet. Tapi Yuna enggak punya hubungan apa-apa dengan Lay. Kami hanya teman.”“Terserah. Tapi aku lebih percaya dengan yang mataku lihat.”“Mas, Yuna sumpah enggak ada hubungan dengan Lay. Masak Mas Eugene enggak percaya.”“Terserah. Aku mau tidur, kau sama saja dengan perempuan lainnya."“Baiklah.” Ayuna menghentak-hentakkan kaki. Meninggalkan Eugene seorang diri. Menutup pintu sangat keras.“Dasar, Om-Om mesum keras kepala.” Ayuna menjauh dari kamar Eugene.Ayuna berpapasan dengan Mami Ananta. “Kenapa sayang?”&ldquo
Detik dan menit di telan jam. Jam di gantikan hari. Tak terasa, sudah dua hari berlalu hubungan Eugene dam Ayuna membaik. Tak ada lagi pertengkaran. Mereka kembali bersama, masalah pun selesai. Eugene menyadari dirinya yang salah. Terlalu egois. Ia lupa bahwa seseorang menyuruh Eugene menjaga gadis berharga itu. Ia Lupa, bahwa dirinya yang di miliki Ayuna.Setelah selesai ujian. Ayuna segera pulang ke rumah Ruth Smith. Mengurus Sang Suami. Lelaki itu mengajak Ayuna pergi ke salah satu tempat favorit Eugene waktu kecil. Tempat itu tak jauh dari Mansion hanya melangkah berberapa meter. Mungkin sekitar 300 meter. Ayuna menuntut lelaki itu. Lakinya masih sakit walaupun tidak separah yang pertama Ayuna melihatnya di rumah sakit.Mereka harus melewati sebuah pagar dengan tinggi sedada pria dewasa. Masuk ke dalam lubang di pagar. Melewati jalanan kecil. “Mas kita mau ke mana?”“Ke lokasi mayat-mayat hidup.”
Mentari tak terlalu terik. Para siswa berhamburan ke kantin. Wanda menyeret Ayuna ke kantin bersama Toby. Setelah berberapa hari Ayuna absen dari makan -makan di kantin. Akhirnya baru kali ini rasa mual itu sedikit bisa di kendalikan.“Beneran enggak papa ni?”“Iya.”“Awas Loe Yun, kalau loe pingsan gue gak tanggung jawab. Apalagi sampek bawa loe ke UKS.”“Ih gitu amat jadi teman,” runtuk Ayuna dengan wajah seolah kesal.Mereka bertiga pergi mengambil tempat duduk. Wanda memesan dua nasi remes dan Ayuna hanya memakan roti. Tapi bukan satu roti, melainkan 10 roti sekaligus. Padahal di rumah, ia biasa saja mencium bau makanan. Tapi jika di sekolah ia ingin sekali muntah.Ayuna membawa sepuluh roti dengan varian rasa. Sedangkan Wanda membawa dua nasi rame. “Buset! Loe makan roti atau ngerampok kantin.”“Diem loe! Gue lapar.”“Loe mual nyium makanan
“Papa tidak keberatan kau menceraikan Ayuna. Rencana papa sudah selesai, kamu bisa kembali pada pilihanmu sendiri. “ Dada Ayuna seketika sesak. Buliran air mata jatuh di pipi. Langkah kakinya lemas kembali ke kamar dengan langkah pelan. “Jadi Mas Eugene juga terlibat?” Air mata terus bercucuran. Mengelap butiran kristal yang jatuh di pipi dengan punggung tangan. Berlari pelan menuju kamar. Menahan sesak yang mendera. Ia seperti terkhianat. Di khianati orang yang paling ia percaya seumur hidup ternyata lebih menyakitkan. Kenapa semua ini dia yang harus melalui. Kenapa? Dunia sangat kejam. Setelah kedua orang tuanya meninggal. Bibinya juga tiada, kenapa kenyataan pahit itu harus dirinya yang merasakan. Kenapa dirinya lah yang harus berdiri dalam lingkaran kebinasaan. Ujung kaki Ayuna menyandung lantai yang sedikit lebih tinggi. Kaki Ayuna tersungkur di lantai. Lutut itu mencium lantai. Dalam diam, tangis pun pecah . Tangan Ayuna menutup mulut, agar ta
Ujian telah usai. Seluruh siswa bernafas lega. Sang guru telah kembali ke kantor. Ayuna memasukkan buku ke dalam tas. Sebuah tendangan mengenai kursi yang duduki gadis itu. Ayuna terdiam, ia mendongak ke atas menatap gerombolan gadis-gadis yang mengelilingi mejanya. “Hai gadis murahan!” teriak salah satu siswa. “Enggak nyangka gue. Anak pengusaha kaya, tapi mungkin sekarang udah bangkrut.” Ayuna berubah cuek. Ia berniat berdiri dan tak meladeni mereka. Seorang gadis mendorong pundak Ayuna, membuat gadis itu kembali terduduk. “ Kita belu selesai. Ngapai loe pergi hah! Emang ya, pelacur. Mana punya adab.” “Jaga ya mulutnya. Yuna bukan pelacur.” Gadis berseragam SMA itu membuang wajah, seakan meremeh perkataan Ayuna. “Hah terus loe apa?” “Yuna udah nikah.” “Udah nikah, nikah siri berarti. Oh gue tahu loe jadi istri simpanan Om-Om.” Gadis itu memintak temannya mengambil kan sesuatu yang ia bawa. Sebotol air. “Gue punya ha
Acara makan berlangsung. Bunda Anda menata seluruh makanan di atas meja makan. Membuat putri dan temannya menelan ngiler. “Jadi kangen masakan Tante.” “Makanya, Yuna. sering-sering main ke sini.” “Iya Tante.” Ayuna mengambil nasi. Biasanya, ia akan mengambil nasi untuk Sang Suami. Tapi kali ini ia makan bersama keluarga Wanda tampa Sang Suami. “Tante. Yuna boleh berberapa hari inep sini.” “Boleh dong. Kamu sudah Tante anggap sebagai anak sendiri.” Mereka pun memulai acara makan pada malam itu dengan hening. Setelah selesai, Yuna mencuci piring dan menata di rak. Ia tahu diri menumpang di rumah orang. Jadi harus lebih banyak membantu Tante Anda. Jarum detik telah berlalu. Ayuna meletakan seluruh piring di rak. Mengelap pelipis dengan punggung tangan. “ Makasih loh Yuna. Udah bantuin Tante.” “Sama-sama Tan.” “Kalau ada apa-apa kamu cerita ke Tante. Tante juga penganti orang tuamu.” Ayuna mengangguk. Ia pun melangkah