“Udah selesai Nek!” ujar Ayuna antusias sambil mengelap telapak tangannya yang basah.
“Ya udah sekarang langsung tidur aja, biar ini semua nenek yang beresin.”
“Tapi Nek?”
“Udah sana masuk, sekalian bilang ke Kakak mu untuk tidur di kamar Kakek dan Bejo.”
“Baik Nek.” Ayuna melangkah panjang layaknya tentara. Kepala Ayuna menoleh kanan dan kiri, mencari sosok Sang Suami yang ia akui sebagai Kakaknya. Entah dosa apa tidak jika ia tak mengakui suaminya sendiri. Ayuna terlalu sebal dengan Eugene hingga melakukan tindakan seperti itu.
Dari luar rumah sederhana Nenek dan Kakek. Terlihat Eugene mencengkeram Ngerat lengan Bejo. Pria gondrong itu malah tertawa sambil setengah meringis.
“Mas!” panggil Ayuna membuat Eugene melepaskan cengkeramannya. Namun, tetap menatap sinis pada Bejo.
“Ada apa? Tegang banget.&rd
Butiran-butiran kristal embun jatuh di dedaunan. Mentari tersenyum hangat pada permukaan bumi. Burung kenari bertengger di dahan-dahan pohon. Menimbulkan suara merdu yang saling bersahutan satu sama lain. Sisa hawa dingin masih membekas. Seorang gadis keluar dari kamar, sambil merapatkan jaket tebal miliknya.Mata besar itu semakin melebar. Mencari Sang Nenek yang lebih dulu bangun. Mata Ayuna sedikit bengkak, tadi malam gadis itu tak bisa tidur Nyenyak. Kasur kapuk itu sangat keras di tambah selimut tipis yang tak bisa meredam rasa dingin.Gadis itu berdiri tepat di depan kamar tempat Eugene tidur, Bejo keluar menyimbahkan kain yang berfungsi sebagai pintu, “Giman Nyenyak tadi tidurnya?”“Iya,” dusta Ayuna gadis itu.“Mau ikut?”“Kamana ?”“Mancing.”“Yuna pengen macing.”“Baiklah kau tunggu di sini aku mau mengambil alat pancing.”Ayuna pun menunggu di kursi kayu ruang tamu. Mata gadis itu berkali-kali mencuri
Mata hazel itu berembun karena tak tega berpisah dengan Sang Nenek yang sudah Ayuna anggap seperti Neneknya sendiri. Tangan keriput itu memeluk erat tubuh kecil Ayuna. Hati Nenek Purna terasa sedih karena haru berpisah dengan gadis yang sudah di anggap cucu sendiri, walaupun mereka hanya tinggal sebentar.“Nek!” tegur Bejo, mengingatkan Sang Nenek untuk tak larut dalam kesedihan. Dan menandakan bahwa ada seseorang yang menunggu gadis itu.Wanita beruban itu melepaskan pelukannya, lalu memegang kedua pundak Ayuna. “Sudah lah Cah Ayu (gadis cantik) jangan nangis terus, nanti Nenek ikut nangis loh .” Punggung jari ibu itu menghapus sudut pipi Ayuna. Menghapus jejak kesedihan di wajahnya.“Baik Nek!” Menunjukkan gigi gerigi dam senyum lebar. Memberi tanda bahwa ia akan baik-baik saja.“Gitu dong senyum.”Eugene hanya memandangi Ayuna dari dekat mobil. Setelah memberikan pelukan te
Semilir Angin berembus di penjuru arah. Menerbangkan kain-kain yang menutup kamar Ayuna. Bangun kamar mereka mirip rumah panggung yang berada di atas pesisir pantai. Jika Ayuna membuka jendela, ia bisa melihat pemandangan yang sangat menarik dari lautan biru di bawah sinar rembulan. Rembulan bagaikan raja malam yang membimbing komet dan bintang untuk bertaburan di langit secara sempurna tanpa berebut satu sama lain.Ayuna duduk di depan cermin. Menaburkan pipi dengan bedak tipis. Lalu memoles bibir dengan lipstik berwarna matte. Senyum gadis itu mengembang, karena akan ada acara penyambutan untuk mereka . Ia melangkah pelan keluar kamar, kaki itu menginjak jembatan kayu satu persatu. Menengok kanan dan kiri mencari Sang Suami. Dari tadi lelaki itu menghilang. Entah ke mana, atau dia sedang berdiam diri di suatu tempatGadis sawo matang itu berpapasan dengan Seorang pelayan Resort yang berpakaian tradisional kota SB. “Mbak!” t
Sang Raja Siang telah tenggelam. Di gantikan rembulan indah yang menemani gelapnya malam. Warna laut membiru, pantulan rembulan terukir jelas di permukaan laut. Kaki telanjang Eugene memasuki Resort. Mengganti pakaian santai, lalu melangkah keluar kamar yang ia sewa. Lelaki itu tidak berjumpa dengan Sang Istri.Eugene berjalan sambil menikmati indahnya raja malam. Suara ombak terdengar nyaring. Bagaikan Melody indah di malam hari. Sebuah restoran di Resort itu sedang berpesta. Menyambut para tamu termasuk untuk Eugene. Ia menjejakkan kaki ke tempat itu. Berharap bisa menyembuh kan kemarahannya pada Sang Istri yang berani menggoda Pria lain di depannya.Saat Eugene baru memasuki area Restoran, ada dua pelayan menyambutnya. Ia pun membalas dengan senyuman hambar. Ekor matanya sibuk mencari di mana kursi nyaman. Pilihannya pun jatuh pada kursi kedua dari panggung restoran. Dan berada di dekat tembok.Tangan kekar itu menarik k
Hari semakin larut, Sang Purnama masih setia menemani para bintang-bintang yang tersebar di atas langit. Hembusan angin lembut menampar kulit Ayuna. Gadis itu duduk di ujung jembatan kaku dan mengayunkan kakinya di atas permukaan air. Tak peduli dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk dan masuk ke dalam pori-pori. Entah kenapa, hari ia merasakan sakit yang sangat dalam. Sakit salam hati yang tidak tahu kapan berdarah-darah. Namun, dokter atau pun perawat lain tak akan bisa menyembuhkannya.Setelah ia bertemu dengan Violet dan Ayuna. Gadis itu memesan makanan sedikit, lalu meninggalkan dua mantan kekasih itu. Lalu menangkan diri ujung jembatan kayu dekat dengan kamarnya.Air mata itu tiba-tiba luluh dengan sendirinya di pipi, “Duh kenapa kok aku nangis?” Gadis itu terlalu lugu dan polos. Ia tak pernah merasakan jatuh cinta, mana mungkin ia tahu perasaan tersakiti.“Apa karena tadi aku enggak di ajak makan sa
“Mas marah tadi sama Yuna?” pertanyaan Ayuna merobek kembali ingatannya. Saat mereka masih berada di rumah kakek Purna. Di mana Seorang lelaki secara langsung menyatakan cinta pada istrinya. Ada rasa marah yang berkobar. Namun, ia tak bisa mengartikan rasa marah itu sebagai perasaan cemburu.“Iya.”“Marah kenapa?”“Saya enggak suka kamu dekat dengan Bejo.” Eugene menoleh.” Cepatlah tidur!” perintah Eugene langsung di idahkan Ayuna. Ia pun mundur hingga pantatnya berada di tengah-tengah ranjang. Eugene mendorong bahu Ayuna, mengisyaratkan agar gadis itu merebahkan badanya. Menaikkan selimut.“Maaf mas! Bikin Mas marah,” ujar polos Ayuna, tanpa menyadari sikap jangkel yang Eugene berikan“Lain kali, jika kau terluka jangan di paksakan jalan. Ingat, kaki itu akan semakin bengkak jika kau paksa berjalan.”“Baik Mas. Mas Mua ke mana?”“Kel
Ombak-ombak menggulung-gulung mengenai bibir pantai. Sebuah jejak kaki membekas di bibir pantai. Telapak kaki itu menginjak pasir-pasir putih bersih. Putih seputih susu. Sedangkan warna air laut biru, sebiru langit. Pohon-pohon kelapa berdiri jauh di sana. Terdengar suara ombak yang melebur di bibir pantai. Menyisakan buih-buih putih.Gadis kecil itu termenung di bibir pantai, sesekali melihat Sang Suami yang bersama perempuan lain. Ada rasa perih yang merayap. Perasaannya bagaikan suara ombak yang terombang-ambing. Dari tadi pagi, kebersamaan mereka di ganggu oleh perempuan yang pernah singgah di hati Sang Suami. Lelaki itu tak menolak saat Violet merangkul lengannya. Membiarkan Sang Istri tersakiti dalam diam menyaksikannya.Pria itu bangkit dari pasir. Butir-butiran pasir masih menempel di pantatnya. Melangkah menuju Sang Istri yang sibuk dengan pikirannya. Menarik tangan Ayuna. “Mau ke mana?”“Aku Haus.”Violet
Ombak-ombak menggulung-gulung mengenai bibir pantai. Sebuah jejak kaki membekas di bibir pantai. Telapak kaki itu menginjak pasir-pasir putih bersih. Putih seputih susu. Sedangkan warna air laut biru, sebiru langit. Pohon-pohon kelapa berdiri jauh di sana. Terdengar suara ombak yang melebur di bibir pantai. Menyisakan buih-buih putih.Gadis kecil itu termenung di bibir pantai, sesekali melihat Sang Suami yang bersama perempuan lain. Ada rasa perih yang merayap. Perasaannya bagaikan suara ombak yang terombang-ambing. Dari tadi pagi, kebersamaan mereka di ganggu oleh perempuan yang pernah singgah di hati Sang Suami. Lelaki itu tak menolak saat Violet merangkul lengannya. Membiarkan Sang Istri tersakiti dalam diam menyaksikannya.Pria itu bangkit dari pasir. Butir-butiran pasir masih menempel di pantatnya. Melangkah menuju Sang Istri yang sibuk dengan pikirannya. Menarik tangan Ayuna. “Mau ke mana?”“Aku Haus.”Violet