Share

4 (Pemakaman Afifah)

“Kembali ke kota? Bu, kami baru sampai. Bahkan Mas Bian belum selesai di kamar man—”

“AAAARGGGGHH!” Belum Tiara tuntaskan ucapannya, suara jeritan Bian mengudara memenuhi gendang telinga Tiara dan ibunya.

Seketika Tiara dan Bu Rafat lari menuju ke belakang rumah yang hanya bercahayakan lampu kuning lima watt.

“Astagfirullah, Mas Bian!” Tiara kaget setengah mati melihat Bian terduduk di antara batu-batu pijakan. Batu hitam yang dipasang di antara tanah-tanah menuju jamban. Tiara cepat-cepat menghampiri dan membantunya untuk berdiri.

Wajah Bian pucat pasi. Dia menunjuk ke arah yang gelap gulita dan mulai meracau tak jelas. "Ra! Ra! A-ada babi! Gede banget!" Tergagap sesekali.

Tiara hanya bisa mangap kala mendengarnya.

“Mas, Mas Bian sepertinya lelah, ya sampai berkhayal tentang babi. Walau kampung, di sini mana ada babi.” Seolah tak percaya dengan kata-kata Bian, Tiara memasang wajah kesal. Ada-ada saja bos-nya ini.

“Tapi, Ra. Beneran ada babi.” Sambil melirik-lirik pada wanita paruh baya di belakang Tiara. “Aku tadi habis buang air kecil bersihin sepatu, tapi tiba-tiba denger sesuatu. Aku keluar kamar mandi, eh ada babi gede banget deket sana! Deket pohon pisang! Hampir nyerang aku, Ra!” kukuhnya.

Suara nyaring Bian mengundang penasaran warga yang sedang berada di pekarangan rumah mendiang Afifah. Mereka pun memeriksa, ada keributan apa, sementara ibu Tiara masih membisu.

“Ada apa ini? Kenapa berisik sekali? Siapa kamu?” Pak RT ternyata, bersama beberapa warga lain.

“P-Pak RT. Ini bos Tiara yang mengantar Tiara pulang.” Bu Rafat segera menyela. Karena ucapannya, Bian akhirnya tahu kalau wanita di depan matanya ini adalah ibu Tiara.

Ingin sekali dia menyapa, tapi situasinya belum memungkinkan.

“Halo, Pak RT. Saya Bian, maaf untuk keributannya. Saya hanya—”

“Tadi jatuh.” Bu Rafat kembali menyela.

Bian dan Tiara seketika menatap Bu Rafat yang seolah tak ingin membicarakan tentang babi besar tadi. Tapi kenapa? Ada apa? Bian sangat syok berasa hampir kehilangan nyawa, tapi seolah-olah ibunya Tiara ini mau menutupi hal itu? Dia benar-benar kehabisan kata-kata.

“Oh, tamu dari kota, toh?”

“Nggeh, Pak. Tiara datang untuk melihat jasad Afifah, tapi setelah ini mereka akan pulang kembali, kok ke kota,” lanjut Bu Rafat.

Lagi-lagi membuat Tiara dan Bian terdiam heran. Mereka saling kunci pandang untuk beberapa saat. Saling kode satu sama lain untuk bertanya apa maksud ucapan ibunya.

Tiara tertawa garing. “Bu, Ibu ngomong apa? Kami akan di sini selama tiga hari.”

“Heh, bukannya kalian sibuk di kota? Nggak apa-apa, pulang lagi saja. Tenang, jangan khawatirkan ibu lagi.” Bu Rafat segera menarik tangan Tiara dan Bian, melewati Pak RT dan warga. “Kami masuk dulu, Pak RT. Mohon izin untuk menerima tamu saya.”

Bu Rafat dan sikap anehnya benar-benar mengundang segudang tanya di kepala Tiara serta Bian.

KREET ... pintu depan ditutup rapat setelah melepas tangannya dari dua manusia muda itu. Ia mengintip di jendela, melihat Pak RT dan lainnya kembali ke rumah yang tengah berduka.

“Bu, ada apa sih? Kenapa terasa tegang banget?” Pertanyaan Tiara membuyarkan pikiran kacau Bu Rafat. Wanita itu berbalik dan mendekati Tiara serta Bian.

“Dengar, desa kita sedang tidak baik-baik saja. Ibu nggak bisa percaya siapa pun di sini. Dan ibu takut kamu sama atasan kamu ini kenapa-kenapa. Jadi sebaiknya kalian pulanglah segera ke kota. Ibu mohon,” pinta Bu Rafat.

“Maksudnya bagaimana, Bu? Saya tidak paham.” Bian ingin tertawa dengan segala keanehan ini. Dia baru saja sampai setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Ketika tiba, selain sial bertemu babi raksasa, ia juga langsung diult oleh pengusiran ibu pegawainya sendiri. Haha sangat lucu! Bian mulai merasa gila.

“Pokoknya di sini berbahaya.” Bu Rafat enggan menjelaskan. Bukan karena apa, tapi jika sesuatu yang pantang disebut itu dibeberkan, takutnya nanti malah keluarganya yang menjadi sasaran.

Sesuatu yang pantang itu adalah mengatakan tentang adanya babi ngepet di desa. Sudah sangat meresahkan, dan Bu Rafat sangat takut anaknya menjadi sasaran tumbal atau semacamnya. Membayangkan itu saja Bu Rafat ngeri.

Bahkan makhluk sialan itu sedari tadi sudah mondar-mandir di sekitaran desa, bukan? Bu Rafat sangat khawatir hingga tak mampu lagi berkata-kata.

“Bu, bagaimana mungkin kami pulang lagi di saat hujan mulai turun? Jalanan juga udah pasti licin.” Meski butuh penjelasan panjang, Tiara menahan diri. Dia lebih khawatir bakal kena pecat kalau tiba-tiba diusir begini bersama bos-nya.

“Itu benar, Bu. Kami lelah setelah perjalanan panjang. Dan lagi benar kata Ibu, desa ini mengerikan. Babi di mana-mana. Saya takut kalau pulang sekarang walau sebenarnya saya mau. Nanti tiba-tiba mobil saya dicegat babi besar itu bagaimana?” Bian menolak pergi, dan menganggap kalau peringatan bahaya dari Bu Rafat itu karena banyaknya hewan liar di desa tersebut. Akan lebih aman lagi kalau mereka pulang besok saat sudah pagi atau siang.

Tiara kesal mendengar ucapan sembrono Bian. Refleks tangan itu menyikut pinggangnya hingga Bian mengaduh. Bu Rafat sendiri tak berkomentar, dia hanya menghela napasnya begitu berat. Yang dikatakan Bian ada benarnya, tapi tetap diam di rumah itu sama dengan sedang menunggu si pelaku pesugihan menemukan mereka.

“Ya, sudah kalian istirahatlah untuk malam ini. Tapi janji, besok harus segera pergi, paham?” titah Bu Rafat seraya kembali mengintip ke luar jendela.

Tiara mendengar di luar berisik. Ia pun ikut mengintip tanpa mengiyakan perintah ibunya. Ternyata keranda yang membawa jasad Afifah sudah digotong keluar oleh bapak-bapak, salah satunya bapak Afifah sendiri.

“Bu, Tiara mau ikut ke—”

Ceklek. Pintu rumah malah dikunci oleh Bu Rafat. Ia kini memandang mata anaknya. “Ganti bajumu dan tidur. Ini sudah malam. Biarkan saja Afifah diantar bapak-bapak dan keluarganya saja. Kamu tidak perlu ikut ke sana. Lihat, tidak ada anak muda yang ikut, bukan?”

“Tapi, Bu—”

Bu Rafat tak mau dengar. Ia memilih meninggalkan Tiara dengan kebingungannya, dan mengapit lengan Bian. “Nak Bian nanti tidur di kamar ini, ya. Silakan istirahat.”

“I-iya, Bu. Terima kasih.” Dalam hati Bian berkata beda. Tawarin makan, kek. Lapar sudah menyerangnya sejak masih di perjalanan tadi.

***

Pemakaman Afifah sudah selesai. Warga kembali ke rumahnya masing-masing bersama. Jangan sampai terpisah sendiri, nanti bertemu dengan babi! Warga sangat hati-hati sejak babi ngepet ada di desa itu.

“Pak, tapi apa tidak apa-apa membiarkan Pak Zakaria dan istrinya di makam berdua saja? Saya khawatir.” Pak Daus, tetangga keluarga berduka bertanya pada Pak RT.

“Mereka bilang masih belum mau meninggalkan makam, jadi biarkan saja. Kita doakan semoga mereka tidak apes bertemu babi itu.”

Ketika warga beramai-ramai pulang, Pak Zakaria dan istrinya memang masih ada di sana tak peduli hujan semakin deras.

Sunyi, sepi, hening ... gelap. Baju yang mereka kenakan basah.

“Pak, apa sudah waktunya?” Bu Lastri bertanya pada suaminya.

“Tunggu setidaknya dua jam lagi. Kalau kita bongkar sekarang, takut ketahuan. Biarkan warga tidur dulu.” Pak Zakaria menyahuti.

Istrinya hanya mengangguk setuju. Dan mereka menunggu lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status