Share

3 (Kepulangan yang Ditolak)

Langit sudah berisik diwarnai suara gemuruh yang membuat tengkuk Bian meriang. Meski hanya sekilas, itu membuat ia jadi kebelet pipis.

“Rumahmu yang mana, Ra? Astaga aku sudah tidak tahan mau numpang ke kamar mandi!” Antara kesal dan lelah, di malam buta begini malah kebelet banget.

Tiara meringis jijik. Jijik jadi memikirkan sesuatu yang mengotori pikirannya. Dalam hati ia ngedumel, ngapain, sih pake jujur banget? Kan, ngeri! Bikin otak travelling!

Tapi Bian tidak menyadari ekspresi itu. Dia sibuk melihat ke luar jendela mobil yang sudah masuk ke area perkampungan, di mana rumah-rumah berderet dengan lampu kuningnya.

“Bentar lagi, Mas. Sabar. Tinggal maju, belok kiri ....” Tiara berusaha menahan diri agar tidak emosi lagi, walau inginnya menghantam bos-nya ini. “Lagi pula kita tidak akan langsung pulang ke rumah saya, tapi langsung melayat,” tambahnya. Wajah Tiara tampak kesal, sesekali melirik bos muda itu dengan tatapan yang menusuk.

Bian pun menahan diri, menahan kebeletnya juga dan mengikuti instruksi Tiara dengan benar walau ingin sekali dia menyesali kedatangannya ke sana.

Tak lama dari situ terlihat orang lalu lalang di jalan. Di situlah rumah keluarga Afifah.

“Stop. Kita sudah sampai. Itu rumah sahabat saya yang wafat, Mas. Dan di sebelah sana rumah ibu bapak saya. Mas Bian kalau mau ke kamar mandi, langsung aja muter ke belakang rumah,” terang Tiara sambil membuka sabuk pengaman. Pun dengan Bian.

Akhirnya ... lelaki itu bisa bernapas lega. “Kalau gitu aku ke kamar mandi dulu. Nanti kususul,” kata Bian sambil ribut membuka sabuk pengaman yang terpasang. Dia tidak peduli lagi dengan apa pun atau dengan perasaan takut yang sempat muncul. Atau dengan rumah sahabat Tiara yang ramai oleh pelayat di sana. Yang penting bisa buang air kecil!

Tiara hanya bisa menghela napasnya berat. Dalam benak dia bisa bilang sial sekali hari ini. Sudah dirundung sedih ditinggal sahabatnya, mau cuti pun malah dikintili bos galaknya ini. Mana merepotkan.

Huft ....

Wanita itu menatap ke arah rumah Afifah yang masih dikerumuni orang. Dan orang-orang itu kini menatap ke arah mobil Bian yang terparkir sembarang. Mungkin penasaran, siapa yang datang bertamu tengah malam?

Tiara membuka pintu mobil. Saat keluar, rintik hujan menyambutnya. Tanpa mau mengantar Bian karena itu aneh sekali, Tiara hanya menunjuk di mana harusnya Bian melepas rasa kebelet yang melanda.

Bian dengan wajah tak karuan lari. Sementara Tiara melanjutkan langkahnya menuju ke rumah yang sedang berduka.

“Siapa itu ya?” Orang-orang mulai berbisik. Memerhatikan wanita cantik dengan rambut yang ditutupi selendang abu-abu.

Tiara bergeming memandang tanpa suara. Hingga bibir itu mengulas senyum kala matanya bertemu dengan mata para tetangga.

Wanita muda itu sampai di pekarangan rumah Afifah. Barulah semua orang menyadari siapa yang datang itu. “Oh Tiara? Ya ampun siapa sangka kamu akan pulang, Ra.”

Orang kampung ternyata tidak mengasingkannya yang telah lama tak pulang, dan sikap mereka masih sama, baik. Tiara menjawab ala kadarnya, dan dia langsung mencari keluarga Afifah, juga bertanya, “Apakah mendiang Afifah sudah dikuburkan, Pak?” Sambil berjalan menuju pintu utama rumah ia bertanya.

“Belum. Sebentar lagi mau dikuburkan.” Wajah bapak-bapak itu terlihat ragu mengatakannya.

Tampaknya ada masalah serius yang tak bisa warga katakan. Tapi memang terjadi hal yang membuat pemakaman terus ditunda. Namun mereka memilih bungkam dan membiarkan Tiara masuk dahulu.

Terlihat jasad telah dibungkus kain kafan terbaring di tengah rumah. Dikelilingi keluarganya. Pak Arif, Bu Nilam, dan Nurmaya sudah sembab matanya di hadapan Afifah yang terbujur kaku.

Tiara ambruk seketika usai melihat secara langsung tubuh sahabatnya. Dia menangis, mengingat kenangan dulu bersamanya. Secepat inikah, Fah? Dalam hati Tiara terus menyesali segala hal, terutama tentang ia yang tak pernah bisa menemuinya sejak ada kabar kalau Afifah menjadi gila.

Semua berita itu hanya menjadi kisah yang membuat tidurnya tak pernah nyenyak.

Nurmaya, adik Afifah yang mengabarkan tentang kematian kakaknya kini menatap dalam kebisuan, tanpa bisa diartikan. Namun, tatapan itu sangat dalam.

“Tiara?” Belum Tiara bicara dengan keluarga sahabatnya, muncul Bu Rafat, ibunya di sisinya. Tangan yang sudah mulai keriput itu kini memegang lengan Tiara.

"Ibu?" Tiara terkejut, ibunya tiba-tiba muncul begitu saja.

Wanita paruh baya yang ia panggil ibu itu segera menarik Tiara untuk keluar. “Tiara!” Seolah-olah tidak percaya putrinya pulang, wanita paruh baya itu menilik-nilik lekat setelah agak menjauh dari rumah keluarga Afifah.

Tiara benar-benar kaget dengan sikap ibunya yang tak biasa ini, tapi ia lebih kaget lagi ketika ibunya bilang, “Ngapain kamu pulang? Astagfirullah, Tiara.” Sambil memelankan suaranya, dan buru-buru menarik lagi anaknya ke arah rumah.

Wajah Bu Rafat terlihat panik.

Tiara membeku sejenak. Kenapa ibunya menyambut kedatangannya dengan penolakan begini? Rasanya memang seperti ditolak, jujur saja Tiara sedih.

“Bu, Ibu tidak suka Tiara pulang?” Mata Tiara berkaca kala menanyakannya. Siapa tahu ibunya hanya kaget dan tidak sengaja bilang seperti tadi.

Tapi kelihatannya Bu Rafat serius. Dia memegang tangan Tiara, menariknya duduk di kursi tua yang lama tak Tiara duduki. Terasa dingin menusuk ke tulang ekornya.

“Bukan, bukan ibu tidak suka. Tapi ... di desa kita sedang tidak baik-baik saja. Kamu seharusnya jangan pulang, Nak. Jangan.”

Wanita itu benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ibunya katakan. Setelah tiga tahun pergi, dan ketika bisa kembali, justru kejadian seperti ini yang terjadi.

“Kenapa, Bu? Tidak baik-baik saja itu kenapa?” Dengan sesak hampir mau menangis sedih, Tiara bertanya.

“Itu ... itu ....” Suara Bu Rafat tertahan. Wanita itu ragu mengatakannya. Dia terlalu takut. “Tiara, bukannya kamu lagi sibuk sekali di kota? Siapa yang beritahu soal meninggalnya Afifah?” Tiba-tiba pula Bu Rafat mengganti topik perbincangan.

Dahi Tiara mengerut. Dia sungguh bingung atas sikap ibunya.

“Tiara pulang untuk melayat, Bu. Di kota memang sibuk, tapi mas Bian mengizinkan cuti tiga hari, dan dia pun ikut ke sini,” ungkap Tiara mengejutkan Bu Rafat.

“Ikut? Ikut ke sini? Di mana sekarang?”

Tiara jelaskan mungkin masih di kamar mandi belakang rumah. Ia juga menambahkan terpaksa karena laki-laki itu yang memaksa.

Bu Rafat menatap dengan tatapan aneh. Ia mendekat dan bertanya, “Apa kamu dan bos-mu itu punya hubungan? Kalian pulang ke sini pasti bukan hanya ingin melayat, kan?”

Seketika wajah Tiara memucat. “Bu! Ngomong apa, sih? Bukanlah, Tiara beneran mau melihat Afifah untuk yang terakhir kalinya. Alhamdulillah sudah terlaksana.” Dalam benak ia melanjutkan, lega sudah bisa mewujudkan keinginan sahabatnya yang ingin dilihat sebelum dimakamkan.

Bu Rafat menghela napas dalam. “Baiklah. Siapa pun yang ngasih tahu kamu soal kematiannya, ibu tidak akan tanya lagi kalau tidak mau jawab. Tapi ibu mau kamu langsung kembali lagi saja ke kota sama bos kamu. Ya?”

Permintaan yang sangat memaksa. Tiara tak langsung menjawab dan hanya menatap ibunya secara heran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
misterius banget kematian Afifah. miris sekali nasibmu afifah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status