BABY SITTER PLUS-PLUS
Bab 4
"Mbok, jangan berisik!" Hendra menyekap mulut Mbok Asih.
"Papa ngapain di dalam lemari Kak Tini?" tanya Ayu dengan kepolosannya. Bocah mana yang mengerti dan paham tentang ini semua? Tentunya ia sangat bertanya-tanya apa yang dilakukan papanya.
"Saya sedang mencari tikus yang masuk sini, Mbok!" elak Hendra. "Ayu, tidur di kamar Ayu, yuk! Papa antar," ajak Hendra.
"Mbok, awas kalau kamu bilang Ibu!" tekan Hendra mengancam. Sementara itu, ada Mila yang tertidur pulas di kamarnya. Ternyata Hendra sudah mempersiapkan diri sebelum ia bergegas ke kamar Tini.
***
Flashback sebelum tidur'Sebaiknya aku kasih obat tidur pada teh hangat yang akan diminum oleh Mila, ia biasa minum teh sambil menonton televisi, kegiatan itu dilakukan sebelum ia tidur,' gumam Hendra dalam hati sembari ngaduk obat tidur ke secangkir teh.
Tidak lama kemudian, minuman itu diminum oleh Mila. Selang setengah jam ia pun menguap dan tertidur pulas.
Itulah sebabnya, kenapa rencana yang sudah disusun rapi oleh Mila dan Mbok Asih menjadi sia-sia.
***
Pagi harinya, Hendra mulai beraktivitas seperti biasa. Ia berangkat kerja pagi-pagi. Juga dengan Mila, ia tetap berangkat ke kantor. Namun, sebelum ngantor, Mila pun menanyakan kejadian semalam. Sebab, ia terjebak permainan suaminya."Mbok, semalam aku ngantuk sekali, sepertinya diberikan obat tidur oleh Mas Hendra," bisik Mila pada Mbok Asih.
"Iya, Bu. Sepertinya begitu. Tapi tenang ya saja, kemarin mereka gagal melakukan aksinya," sahut Mbok Asih.
"Syukurlah kalau begitu, hari ini aku berangkat kerja, usahakan Tini dan Ayu pulang sekolah suruh ke mana dulu gitu, Mbok," suruhnya pelan-pelan. Meskipun Tini sudah berangkat ke sekolahnya Ayu diantar oleh supir, tapi Mila harus hati-hati dalam bicara.
"Baik, Bu. Nanti Mbok suruh ke swalayan dulu beli sayuran," sahut Mbok tanda mengerti dengan ucapan majikannya.
"Nanti ada tukang yang masang CCTV, kamu tolong tunjukkan di mana letak yang pas, yang penting di dalam kamar Tini," ujar Mila sembari mengemas berkas yang akan ia bawa ke kantor.
Sepotong roti yang masih dipegangnya pun diletakkan di piring. Ia sudah buru-buru berangkat ke kantor.
Mila dan Hendra berpisah, karena arah kantor mereka tidaklah sama.
Tidak lama kemudian, datanglah tukang pasang CCTV. Ia pun diberikan aba-aba letak posisi CCTV sebaiknya di dekat kasur, tapi jangan sampai terlihat oleh siapapun.
"Mas, cari tempat aman ya, jangan sampai terlihat orang!" seru Mbok Asih.
"Siap!"
Petugas itu paham ketika Mbok memintanya untuk meletakkan CCTV itu dengan sembunyi-sembunyi.
Sementara itu, Mila yang sudah tiba di kantor pun mendapatkan tugas ke luar kota kembali lusa nanti, tapi kali ini tidak bermalam di sana. Hanya pulang pergi dan dibiayai kantor dengan pesawat terbang.
'Baiklah, aku akan pura-pura pergi lama, agar ia melakukan itu pada malam lusa nanti,' gumam Mila dalam hati.
Sepulangnya dari kantor, Hendra pun duduk di samping Mila ketika makan malam.
"Mas, lusa nanti aku ke luar kota lagi," ucap Mila.
"Syukurlah," ceplos Hendra membuat Mila menghentikan suapannya.
"Maksudnya?" Alis Mila ditautkan hingga menyatu.
"Anu ... kan kamu bilang mau berhenti kerja, syukurlah kalau nggak jadi," sahut Hendra dengan wajah memerah. Kemudian, mereka melanjutkan makan malamnya.
Mereka berdua sudah berada di kasur, Hendra pun berusaha merayunya kembali.
"Sayang, kenapa belakangan ini kamu begitu dingin padaku?" tanya Hendra ketika Mila sedang nyekroll beranda sosial media miliknya.
Mila menggelengkan kepalanya, sambil fokus melihat ke layar ponselnya.
"Sayang, kamu masih haid?" tanya Hendra lagi.
"Sudah bersih, kenapa?" tanya Mila gantian.
"Kita itu, yuk!" ajak Hendra sambil menumpuk kedua telapak tangannya. Mila pun mengernyitkan dahinya.
"Mau ngapain, bukankah udah sering?" canda Mila meskipun itu nyata.
"Sering apa? Kamu sering ke luar kota, giliran sudah di rumah, kamu ada saja alasannya," sahut Hendra mulai marah karena Mila berkali-kali menolaknya.
"Mas, kamu bukannya sering, ya? Kenapa harus bohongi aku?" celetuk Mila tak sengaja.
Hendra pun menepis segala tuduhan Mila. Ia menganggap Mila mengalihkan pembicaraan.
"Kamu itu, bisa saja lempar batu sembunyi tangan!" tekan Hendra. Mila pun berdiri karena kesal mendengar penuturannya.
"Lempar batu gimana? Aku sudah tahu semuanya, Mas!" teriak Mila. Matanya membulat, dadanya sudah bergemuruh ingin membongkar semuanya dan meminta pisah.
Kemudian, Hendra turun dari ranjang dan berdiri sejajar dengan Mila.
"Tahu apa kamu? Memang kamu urusi aku? Sekarang suamimu minta hak nya saja tak kau hiraukan!" sanggah Hendra. Ia terus menerus menyudutkan Mila, membuat ia semakin berapi-api, amarahnya semakin memuncak ketika Hendra mengungkit kesibukannya.
Laki-laki aneh, berhenti bekerja tidak boleh, tak mengabulkan keinginannya pun dianggap tak mengurusinya.
Bersambung
Ekstra Part"Halo, Mbak Mila, kami sudah berada di Indonesia lagi," cetus Rika ketika ia menghubungiku."Syukurlah, aku amat bahagia dengarnya, apakah jenazah Dini dibawa ke Indonesia?" tanyaku."Nggak, ia meminta dikubur di sana, katanya tidak ingin membuat kita semua bersedih." Aku menghela napas sejenak, tak kusangka Dini yang berusia belia, sudah memikirkan ke arah sana."Astaga, anak itu, benar-benar mandiri sekali," ungkapku. "Lalu kalian sudah di rumah? Aku sedang tes lanjutan di rumah sakit.""Iya, kami di rumah orang tuaku, Mbak. Nanti aku hubungi lagi ya," celetuknya lalu telepon pun terputus.Setelah surprise yang diberikan oleh Dini alias Tini. Aku dan Mas Hendra memutuskan untuk melakukan pengobatan yang lebih rutin, uang yang diberikan olehnya, juga bukan sekadar hanya untuk berobat saja. Ya, kami sudah putuskan untuk membuat yayasan rehabilitasi, barangkali uang ini akan menjadi amal jariyah untuk Dini,
Bab 49Setibanya di rumah sakit, aku menanyakan di mana tempat Mas Hendra dirawat. Bagian informasi pun memberitahukan pada kami semua.Aku, Ayu, Mama, Papa, dan Mbok Asih pun segera bergegas ke kamarnya. Ruang VVIP tempat papa kemarin dirawat inap.Kulebarkan daun pintu dengan perlahan, khawatir Mas Hendra hendak tertidur. Namun, ketika aku membuka pintunya, karangan bunga muncul di hadapanku."Selamat ulang tahun, Mbak Mila," ucap Rika yang berada di balik karangan bunga itu. Aku pun memeluknya, dan menerima bunga tersebut."Terima kasih, ya Rika."Aku terharu dengan kejutan yang Rika berikan. Kemudian, kulihat wajah Mas Hendra yang sedang terbaring di ranjangnya. Ia tersenyum sambil memegang sesuatu.Aku langkahkan kaki ini ke arahnya, dan berhenti tepat di samping Mas Hendra."Selamat ulang tahun, Mila. Maafkan segala kesalahanku. Mungkin ini terakhir kalinya aku dapat memberikan kejutan
Bab 48Suster menganggukkan kepalanya di hadapan kami berdua, itu artinya benar adanya bahwa Mas Hendra dan Dini ada perkembangan."Sus, anak saya sadar?" tanya Mama mertuaku."Adik saya juga sadar?" tanya Mas Wisnu.Kami semua berharap kabar baik itu datang. Jadi dengan antusias Mas Wisnu selalu menyambar ucapan yang belum terlontarkan dari mulut suster."Jadi, kami punya harapan, kan Sus?" sambar Mas Wisnu kembali. Tangan Rika menarik lengannya, kemudian mengelus pundak Mas Wisnu."Mas, biarkan Suster bicara dulu, kita dengarkan suster terlebih dahulu, jangan nyerobot terus," tutur Rika mencoba cegah Mas Wisnu untuk tenang. Seberapa besar Mas Wisnu antusias dan berharap ada keajaiban untuk adiknya, mungkin sama rasanya dengan harapan Mama mertuaku yang berharap Mas Hendra sembuh."Baik, jadi untuk pasien Pak Hendra dan Dini, mereka sudah melewati masa kritisnya. Tadi kondisi Dini meman
Bab 47POV Mila"Aku pasrah, karena Dini telah melakukan hubungan bebas sudah hitungan tahun, sepertinya ini sulit untuk disembuhkan." Mas Wisnu pun sudah putus asa, ia tidak berharap banyak atas kesembuhan adiknya."Segala sesuatu, jika diiringi dengan doa pasti ada keajaiban di dalamnya," celetuk mama yang tiba-tiba ikut nimbrung. Mertuaku datang dengan memberikan ketenangan pada kami semua."Penyakit berbahaya sekalipun, jika sudah Allah berikan kesembuhan, maka akan sembuh. Mumpung baru jam sembilan pagi, kalian pergi ke mushola, lakukan salat taubat dan dhuha, doakan Hendra dan Dini." Mama mertuaku memberikan saran yang membuatku terenyuh. Ya, sudah lama sekali wajah ini tak menyentuh air wudhu.Aku bangkit, dan mengulurkan tangan ini pada Rika, lalu mengajaknya untuk melakukan apa yang mama mertuaku sarankan.
Bab 46POV WisnuFlashback ketika Pak Johan belum meninggal.Aku baru saja tiba di kota ini, kota yang kutinggal sejak lama hanya untuk mencari ketenangan di luar kota.Teringat pesan kedua orang tuaku, jika menetap di kota lagi. Tolong balas budi atas apa yang telah dilakukan oleh Pak Johan. Ia sangat berpengaruh dengan apa yang kami dapatkan sampai detik ini. Rumah yang kami miliki beserta perusahaan-perusahaan adalah jasa dari Pak Johan.Aku mencari keberadaannya. Ternyata ia ada di kota yang sama dimana tempat Dini tinggal.Aku menghubunginya. Namun, ia bilang akan keluar kota sore ini. Jadi, sebelum ia pergi, Pak Johan memintaku untuk menemuinya.Setibanya di kantor tempat Pak Johan, aku dipersilakan duduk olehnya."Kamu usia berapa Wisnu?" tanyanya."Sudah cukup umurlah, Pak," jawabku dengan canda."Mau kah kamu menikah dengan anakku? Ya, berharap j
Bab 45Pov MilaTernyata suami dari Rika itu adalah kakaknya Dini. Aku terkejut ketika ia menghampiri Mas Hendra. Tidak mungkin acara proses pemakaman akan berlangsung kisruh gara-gara perkelahian. Aku takkan membiarkan kekacauan pada suasana yang sedang berkabung ini."Mau apa kamu, Mas Wisnu?" tanyaku dengan cemas, tubuh ini sudah menghalangi ia agar tidak mendekati Mas Hendra. Bukan karena membela pezina, tapi aku hanya ingin menghormati keluarga almarhum tanteku."Hendra, kamu kah yang bernama Hendra?" tanyanya lembut membuat kami sedikit terkejut. Kukira ia akan memukuli, tapi justru membuat kami terbelalak dengan memberikan pertanyaan lembut."Iya, maafkan aku, Mas. Telah membuat adiknya, Mas, Della bunuh diri." Mas Hendra mengakui kesalahannya."Justru aku ingin meminta maaf, gara-gara Dini balas dendam, kamu dan keluarga kena imbasnya."Kini, aku bernapas lega, mereka sama-sama mengakui kesalahan.
Bab 44Pov RikaAku terkejut ketika melihat sosok laki-laki yang berada di sampingku. Pria yang baru saja membuatku cidera."Wisnu?" Aku terkejut, mulutku terbuka lebar ketika menyebutkan namanya."Ya, mungkin ini yang dinamakan jodoh," pungkas laki-laki yang tidak lain kakaknya Dini."Kalian sudah saling kenal?" tanya Bude Soraya. Aku tak mungkin menjelaskan bahwa Wisnu adalah kakaknya Dini alias Tini. Bisa-bisa ia akan syok mendengar penuturanku."Ya, Bude," sahutku sambil mengangguk."Kalau begitu, segerakan akadnya, Pak ustadz," pinta papa sambil memegang dadanya."Baiklah, kita mulai ya, para saksi, siap ya," ucap ustadz yang menjadi penghulu kami berdua.Namaku dan nama Mas Wisnu sudah ia pegang, kami segera menjalankan perintah papa. Meskipun aku tak ingin ini adalah permintaan terakhir kedua orang tuaku, tapi tidak ada salahnya menuruti keinginannya. Kami akan
Bab 43Pov RikaKenapa semua ini terjadi padaku? Apakah ini teguran dari Tuhan untukku atas perbuatan yang telah kulakukan?Mama yang ingin sekali menimang cucu dariku, kini berbaring di pembaringan terakhirnya. Ya Tuhan, semoga saja papa masih bisa diselamatkan.Suster sudah membawa jenazah mama, kini giliran kabar papa yang ia bawa."Sus, cepat katakan, bagaimana kondisi papaku?" sentakku. Masih ada Bude Soraya dan Mbak Mila yang mengelus punggungku agar terus bersabar dan kuat."Bu Rika, silahkan masuk ke dalam, papanya ingin bicara," ujarnya membuatku langsung ikut masuk ke dalam."Mbak, Bude, aku masuk dulu. Kalian tunggu di sini ya, tolong beri tahu saudara yang lain untuk segera menjemput jenazah mama." Sebelum masuk, aku berpesan pada Mbak Mila dan Bude Soraya. Mereka pun mengangguk seraya mengindahkan ucapanku.Aku masuk ke dalam, meskipun sakit kurasakan akib
Bab 42POV MilaKami semua serentak terkejut, dan saling bertatapan. Jantungku berdegup kencang. Perlahan korban berjatuhan dan meninggal di UGD. Astaga, apakah Tante Wulan dan Om Johan dapat diselamatkan?Kami menunggu keluarnya jenazah kedua, di dalam dokter sedang berusaha memberikan pertolongan ke semua korban. Kami hanya membantu doa. Semoga para korban termasuk orang tuanya Rika dapat diselamatkan.Tidak lama kemudian, keluarlah jenazah kedua yang sudah diselimuti kain putih."Sus, tunggu, saya mau lihat korbannya!" cegah Rika."Korbannya wanita, bernama Wulan," ungkap suster membuat Rika sontak tak percaya. Ia menutup mulutnya dan menangis histeris."Mama! Nggak mungkin ini Mama!" teriaknya. Ia tak berani membuka kain itu. Lututnya sudah terlihat lemas tak kuat menopang kedua kakinya. Mama dan aku berusaha menggandengnya sekuat tenaga."Aku saja yang melihat jenazah i