"Itu untuk kalian, bisa untuk tambahan modal," ucap mbak Tika masih dengan gaya sombongnya. Padahal katanya kedatangannya kesini untuk meminta maaf.Aku melirik Dahlia yang masih sibuk meracik mie ayam, entah untuk siapa mie ayam itu, aku belum sempat tanya-tanya tentang penjualan hari ini, namun wanitaku itu tak menanggapi. Aku yakin uang ini adalah sogokan agar aku tak membocorkan rahasianya di hotel tadi."Untuk apa semua ini Mbak?" Aku mengangkat uang yang sedang aku pegang."Kan sudah aku bilang, untuk kalian. Terima aja, uang segitu sudah pasti sangat berguna kan buat kalian. Kalian bisa sewa lapak di pinggir jalan besar, daripada jualan disini. Nyapein badan doang, dapet hasil juga gak." Hatiku benar-benar panas mendengar ucapan mbak Tika."Kenapa? Kurang? Ini aku tambahin." Mbak Tika kembali mengeluarkan uang dari dalam tasnya, "nih, terima!" Wanita yang DNA-nya sama denganku itu meraih tanganku dan memaksaku untuk menerima uang darinya lagi.Mbak Tika mendekat dan berbisik di
Aku semakin menunduk dalam, Haji Mansur memandangku tajam, seolah kesalahanmu sangat fatal, padahal belum terjadi, hanya aku kurang teliti saja."Tur, sudah berapa lama kamu ikut saya?" Aku beranikan diri mengangkat wajah."Sudah 10 tahun lebih Ji," jawabku hati-hati."Apa kamu gak punya keinginan membuka tokomu sendiri?" "Keingin pasti ada, tapi ...." Aku menggantung kata-kataku, "untuk hidup sehari-hari saja pas-pasan."Haji Mansur hanya mengangguk-angguk. "Tur, kamu adalah karyawan terlama disini, itu kenapa saya selalu bawa kamu ketika antar pesanan ke orang-orang penting, agar kamu kenal sama mereka, jadi kalau kamu nantinya punya modal dan ingin membuka tokomu sendiri, kamu sudah punya akses ke mereka.""Tapi seandainya saya buka toko saya sendiri apa Haji gak takut kesaing?""Hahahaha ... Guntur, Guntur." Haji Mansur malah terkekeh panjang."Apa saya salah biacara ya Ji?" tanyaku dengan memasang mimik tak bingung."Saya ini tidak punya anak, kamulah yang saya anggap anak, kam
Dahlia masih terdiam mendengar bentakan dari si ibu yang menelfonnya. Segera aku ambil alih handphonenya dan meminta maaf."Maaf bu, soal kuah mie ayam tadi ya? Maafkan kami, tadi kebetulan istri saya jaga warung sendirian, jadi karena buru-buru kuahnya sampai tertinggal. Waktu istri saya telfon ibu, tapi nomonya tidak aktif," jelasku."Eh gimana sih ini, saya ini mau tanya, kuahnya memang ketinggian apa sengaja gak dikasih kuah ya?" "Maaf sekali, kuahnya ketinggalan.""Owalah, dikira memang benar tidak pakai kuah, tapi ini enak lho mas. Baru kali ini makan mie ayam tanpa kuah malah enak banget. Engga enek. Temen-temen pada ketagihan. Rencana besok mau pesan lagi 20 bungkus.""MasyaaAllah, ini beneran Bu?" Dahlia tiba-tiba memgambil handphone dari tanganku."Iya mbak, benar. Besok mau pesan yang kayak tadi ya, yang pedas semua. Mie ayam goreng ya tanpa kuah," jelas ibu itu mengulang pesanannya."Baik bu, siap. Mau diantar jam berapa?" jawab Dahlia."Seperti tadi, besok biar saya yang
"Maksud kamu apa? Aku gak paham? Apa yang kamu titipkan sama ibu?" Aku ikut naik keatas saung, begitupun dengan Dahlia, sedari tadi dia mencoba menenangkanku agar tak naik pitam"Jadi selama ini aku bayar angsurannya, Mas. Uangnya aku titip ke ibu, katanya kalau ditransfer takut Mas Guntur tidak tahu.""Astaghfirullah, ibu," kuredakan emosiku dengan meneguk air putih yang diberikan Dahlia."Ibu tidak pernah memberikan apa-apa Ruh, kami setiap bulan selalu pontamg panting mencari tambahan.""Demi Allah, Mbak, Mas. Setelah aku menerima gaji pertamaku, aku langsung bantu membayar angsuran. Bahkan angsuran yg aku titipkan ke ibu itu full. Hanya akhir-akhir ini saja aku titip separo, karena aku juga harus bayar angsuran mobil.""Astaghfirullah," tak henti-hentinya aku dan Dahlia mengucap istighfar. Sebenarnya ada apa dengan ibu? Kenapa ibu begitu senang melihat aku dan Dahlia menderita."Apa kamu sama mbak Tika tidak pernah memberi ibu uang belanja?""Kalau aku kasih Mas, bahkan kadang sem
Dadaku mendadak bergemuruh, rasa sesak seperti terhimpit batu yang sangat besar. Berkali-kali aku menghirup udara dengan rakus. Kuletakkan ponsel Dahlia dengan perlahan."Mas, udah bangun?" Suara Dahlia membuatku sedikit terkejut."I-iya, barusan mau lihat jam di ponselmu, tapi tiba-tiba ada pesan." Aku ingin melihat reaksi Dahlia ketika dia membuka pesan dari mas Rendi."Pesan dari siapa?" Dahlia mendekat dan meraih HP yang baru saja kuletakkan.Aku terus mengamati wajah wanita didepanku, agar aku tahu bagaimana perubahan mimik wajahnya. "Mas, ini pesan dari mas Rendi, tolong telfon dia dan bilang jangan pernah hubungi lagi atau semacamnya." Diluar dugaan, aku kira dia akan salah tingkah. Akupun memencet tombol hijau di aplikasi wA-nya. Tanpa menunggu lama, terdengar suara bariton dari seberang."Halo Dalia, akhirnya kamu mau menghubungiku," ucap suara dari saluran telepon."Sudah aku bilang, jangan pernah hubungi Dahlia, paham kan mas?""Gu-Guntur ...," Jawabnya terbata. "Aku hanya
"Kamu memang pembawa sial, pantas ibu tak pernah menyayangi kamu dari kecil," teriak wanita itu. Setelah mengatakan itu mbak Tika pergi, namun ketika dia sampai di motornya, wanita itu kembali berteriak, "kamu akan menyesal karena telah menghancurkan rumah tanggaku Guntur!"Aku tak menghiraukan ocehan wanita itu, tapi dalam hati aku bertanya-tanya, apa maksud sebenarnya perkataannya. Kenapa ibu membenciku dari kecil. Aku kira dulu karena aku termasuk anak yang nakal, tetapi hingga aku sudah besar, bisa mencari uang sendiri, perlakuan ibu semakin parah, apalagi ketika bapak meninggal.Apa sebenarnya aku bukan anak kandung ibu? Tetapi di Kartu Keluarga dan akta kelahiran menunjukkan aku anak kandung mereka. Aku masuk kembali ke ruangan untuk melanjutkan pekerjaanku, namun baru saja ingin mencatat bahan-bahan yang perlu dibeli, telepon dari Mas Rahmat menghentikan aktivitasku."Tur, ibumu tadi jatuh di kamar mandi, sekarang aku bawa ke puskesmas"Yaa Allah, iya Mas, Guntur ke sana." Ta
Cukup lama aku berpikir, bahkan aku sampai telpon Dahlia untuk meminta saran. Pikiranku sudah terlalu buntu memikirkan ibu."Balik lagi mas, jangan sampai terjadi apa-apa sama ibu, iya kalau mbak Tika sama Guruh datang lagi, kalau tidak kan, ibu benar-benar sendiri disana," ucap Dahlia. Terbuat dari apa hati Dahlia. Kenapa dia begitu kuat menghadapi ibu? Sedangkan aku sendiri yang katanya anak kandungnya tak sekuat Dahlia.Akupun menuruti apa kata Dahlia. Tujuanku hanya satu, berbakti. Jika nanti ibu tidak mau menerimaku, ya sudah aku akan pulang.Sekitar setengah jam aku sudah sampai di depan puskesmas. Ada rasa ragu ketika hendak menuju ruangan ibu.Perlahan aku mendekati ruangan di mana ibu dirawat, terdengar suara ibu tengab berbincang, tapi aku tak mendengar siapa lawan bicara ibu."Kenapa cepat sekali?""Tika harus ketemu sama om Bas, Bu. Nanti dia marah kalau Tika telat. Bisa-bisa jatah Tika di kurangin." Ternyata sudah ada mbak Tika di dalam. Aku sengaja tidak langsung mas
Tanganku sudah menyentuh handel pintu, dengan posisi setengah tegak bertumpu pada lutut, ketika ibu memanggil. Badanku masih mematung antara ingin menoleh atau terus keluar."Tur ...," Panggilnya lagi.Akupun akhirnya menoleh kemudian mendekati ibu, "iya Bu, Ibu lapar atau haus?""Mana Tika sama Guruh?" tanya ibu tanpa melihatku."Guntur gak tau Bu, nomornya Guruh gak aktif," jawabku."Mana HP Ibu?" Akupun mengambilkan handphone ibu yang terletak di dalam laci nakas."Kamu ini gimana? Kenapa gak kesini?" tanya ibu dengan seseorang di dalam telpon, entah siapa yang ibu hubungi, kemungkinan mbak Tika."Kamu pulang aja Tur, sebentar lagi Tika kesini," perintah ibu setelah menyimpan handphone-nya di bawah bantal."Tapi ini sudah malam Bu, sudah jam sebelas. Apa mungkin mbak Tika kesini?" Aku melirik arlojiku dan benar sudah pukul sebelas lewat dua puluh menit. "Kamu pulang saja!" Ibu membuang muka dan memiringkan badannya kekiri membelakangiku.Tanpa berkata apa-apa lagi, aku beranjak k