"Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da
****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud
Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia
"Bu, Alhamdulillah ini ada beras bisa untuk tambah-tambah kebutuhan ibu," ucapku seraya meletakkan dua kilo beras diatas meja dekat kompor. Didalam plastik itu juga ada gula satu kilo dan teh satu kotak.Ibu membuka bungkusan plastik itu, seketika mukanya berubah masam, "kalau gak niat ngasih, lebih baik gak usah ngasih sekalian Tur, ini mah cuma cukup untuk makan sehari!" cela ibu seraya meletakan dengan kasar gula kedalam plastik."Mbok ya dicontoh adikmu Guruh, dia kalau ngasih ibu itu minimal satu karung, bukan yang lima kilo tapi yang dua puluh kilo. Belum lagi gula, teh, kopi, perlengkapan mandi juga gak ketinggalan. Udah gitu ninggalin uang lagi. Lah kamu? Jangankan uang, beras aja cuma dua kilo kamu kasih ke ibu, kok kayak ngasih makan ayam aja." sungut ibu.Aku hanya diam, ada rasa nyeri dalam dadaku, memang nasibku tidak seberuntung Guruh, selepas lulus kuliah dia langsung diterima bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang tinggi, sedangkan aku? Aku hanya lulusan SMA yang
Perih rasa hatiku bagai tersayat sembiluh. Beras dua kilo jika untuku dan keluarga bisa dimasak untuk makan dua hari, terkadang lebih. Tapi dengan mata kepalaku sendiri beras yang mungkin sangat berharga itu harus kandas dilahap ayam.Gajiku bekerja di pabrik roti sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah dan di bayarkan setiap satu minggu sekali, jadi aku menerima gaji sebesar 300 ribu per minggu, semua sudah ada post-nya masing-masing, 125 ribu aku sisihkan untuk bayar angsuran. Selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras, bayar listrik, air uang saku Ridho dan jika bersisa akan ditabung Dahlia untuk biaya tak terduga, tapi lebih sering kurang daripada lebih.Aku mempunyai angsuran di bank milik pemerintah, yang aku gunakan untuk biaya wisuda Guruh waktu itu. "Coba kamu ajukan pinjaman di bank, Tur. Ibu sudah gak ada uang untuk biaya wisuda Guruh.""Pakai jaminan apa bu? Sertipikat rumah ini kan sudah digadaikan." jawabku waktu itu."Kan bisa pakai sertipikat rumahm
Kulangkahkan kaki menuju motor kembali, Dahlia sudah hendak masuk kedalam rumah ibu, namun urung dia lakukan. Beruntung Dahlia yang tadi sempat berbincang dengan mbak Yuli, tidak mendengar ucapan ibu. "Gak ketemu ibu dulu sama mbak Tika?" "Mbak Tika mungkin sudah di rumah mas Rahmat." Aku memundurkan motor hingga ke tepi jalan, sementara Dahlia mengekor dibelakangku."Itu berasnya kenapa diletak diteras mas? Nanti dimakan ayam?""Ruang tamu ibu penuh Dek, jadi mas tarok disitu dulu," bohongku.Aku tuntun motor menuju rumah mas Rahmat yang hanya berjarak 500 meter dari rumah ibu. Dahlia berjalan disamping kananku dengan menjinjing tas yang sudah mulai usang.Rumah mas Rahmat sudah dipenuhi orang. Dahlia menurunkan bawaan dan langsung berbaur dengan ibu-ibu yang tengah memasak."Eh Lia, sini masuk." Terdengar suara mbak Atin--istri mas Rahmat mempersilahkan Dahlia masuk, sementara aku berbaur dengan bapak-bapak yang sedang memasang tarup. Setelahnya aku tak mendengar lagi celoteh ibu-
"Astaghfirullah," ucap Dahlia lirih.Beras satu karung yang kuletakkan kemarin sama sekali tidak disentuh oleh ibu, bahkan memindahkannyapun tidak. Sekarang beras itu sudah beserakan dimana-mana karena karungnya bocor dipatokin ayam, sementara cipratan air bercampur tanah mengotori permukaan karung.Dahlia turun dan memungut beras yang berserakan, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik. Sementara karung yang kotor dia lap pakar ujung bajunya. Aku menghardik ayam-ayam itu agar tidak mendekat lagi.Suara knop pintu terdengar, sepertinya seseorang membuka dari dalam."Apa sih ribut-ribut?" Ibu keluar dengan mengucek matanya ynag masih setengah merem."Ini bu, berasnya ibu lupa masukan ya? Dimakan ayam, kan sayang?" ucap Dahlia sembari menyodorkan beras yang kami bawa kemrin."Sengaja gak dimasukan, biar untuk makan ayam, beras merk itu mana cocok dilidah ibu."Dahlia mengelus dadanya, ibu langsung masuk dengan membanting pintu."Mas, kita bawa pulang saja berasnya," ucap Dahlia, ma
Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah."Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib."Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku."Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras."Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku."Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-aya