BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI

BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI

Oleh:  Ayaa Humaira   Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
6 Peringkat
70Bab
18.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Berbakti terhadap orang tua adalah keinginan setiap anak, namun perhatian dan kasing sayng Guntur terhadap ibunya selalu menoreh luka. satu karung beras yang dia berikan untuk ibunya ditengah-tengah keterbatasan ekonomi keluarganya malah tidak disambut baik. semua pemberian Guntur selalu dianggap remeh oleh ibunya. hingga ibunya sadar jika orang yang paling menyayanginya adalah Guntur dan istrinya. apakah ibunya akan berubah perlakuan terhadap guntur?

Lihat lebih banyak
BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Rosnani Laya
bagus ceritanya
2024-02-17 22:07:47
0
user avatar
Lof Yuh
njeh mbah .........
2023-07-08 23:55:30
0
user avatar
Ayaa Humaira
...️...️...️...️...️...️...️
2023-01-17 15:59:54
0
user avatar
Ayaa Humaira
jangan lupa bintang 5 nya ya
2023-01-02 06:57:50
1
user avatar
Ayaa Humaira
rekomendeeeeeeed ya
2023-01-02 06:57:02
1
user avatar
Ayaa Humaira
yuk baca cerita ini.
2022-12-16 11:05:27
1
70 Bab
Bab 1
"Bu, Alhamdulillah ini ada beras bisa untuk tambah-tambah kebutuhan ibu," ucapku seraya meletakkan dua kilo beras diatas meja dekat kompor. Didalam plastik itu juga ada gula satu kilo dan teh satu kotak.Ibu membuka bungkusan plastik itu, seketika mukanya berubah masam, "kalau gak niat ngasih, lebih baik gak usah ngasih sekalian Tur, ini mah cuma cukup untuk makan sehari!" cela ibu seraya meletakan dengan kasar gula kedalam plastik."Mbok ya dicontoh adikmu Guruh, dia kalau ngasih ibu itu minimal satu karung, bukan yang lima kilo tapi yang dua puluh kilo. Belum lagi gula, teh, kopi, perlengkapan mandi juga gak ketinggalan. Udah gitu ninggalin uang lagi. Lah kamu? Jangankan uang, beras aja cuma dua kilo kamu kasih ke ibu, kok kayak ngasih makan ayam aja." sungut ibu.Aku hanya diam, ada rasa nyeri dalam dadaku, memang nasibku tidak seberuntung Guruh, selepas lulus kuliah dia langsung diterima bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang tinggi, sedangkan aku? Aku hanya lulusan SMA yang
Baca selengkapnya
Bab 2
Perih rasa hatiku bagai tersayat sembiluh. Beras dua kilo jika untuku dan keluarga bisa dimasak untuk makan dua hari, terkadang lebih. Tapi dengan mata kepalaku sendiri beras yang mungkin sangat berharga itu harus kandas dilahap ayam.Gajiku bekerja di pabrik roti sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah dan di bayarkan setiap satu minggu sekali, jadi aku menerima gaji sebesar 300 ribu per minggu, semua sudah ada post-nya masing-masing, 125 ribu aku sisihkan untuk bayar angsuran. Selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras, bayar listrik, air uang saku Ridho dan jika bersisa akan ditabung Dahlia untuk biaya tak terduga, tapi lebih sering kurang daripada lebih.Aku mempunyai angsuran di bank milik pemerintah, yang aku gunakan untuk biaya wisuda Guruh waktu itu. "Coba kamu ajukan pinjaman di bank, Tur. Ibu sudah gak ada uang untuk biaya wisuda Guruh.""Pakai jaminan apa bu? Sertipikat rumah ini kan sudah digadaikan." jawabku waktu itu."Kan bisa pakai sertipikat rumahm
Baca selengkapnya
Bab 3
Kulangkahkan kaki menuju motor kembali, Dahlia sudah hendak masuk kedalam rumah ibu, namun urung dia lakukan. Beruntung Dahlia yang tadi sempat berbincang dengan mbak Yuli, tidak mendengar ucapan ibu. "Gak ketemu ibu dulu sama mbak Tika?" "Mbak Tika mungkin sudah di rumah mas Rahmat." Aku memundurkan motor hingga ke tepi jalan, sementara Dahlia mengekor dibelakangku."Itu berasnya kenapa diletak diteras mas? Nanti dimakan ayam?""Ruang tamu ibu penuh Dek, jadi mas tarok disitu dulu," bohongku.Aku tuntun motor menuju rumah mas Rahmat yang hanya berjarak 500 meter dari rumah ibu. Dahlia berjalan disamping kananku dengan menjinjing tas yang sudah mulai usang.Rumah mas Rahmat sudah dipenuhi orang. Dahlia menurunkan bawaan dan langsung berbaur dengan ibu-ibu yang tengah memasak."Eh Lia, sini masuk." Terdengar suara mbak Atin--istri mas Rahmat mempersilahkan Dahlia masuk, sementara aku berbaur dengan bapak-bapak yang sedang memasang tarup. Setelahnya aku tak mendengar lagi celoteh ibu-
Baca selengkapnya
Bab 4
"Astaghfirullah," ucap Dahlia lirih.Beras satu karung yang kuletakkan kemarin sama sekali tidak disentuh oleh ibu, bahkan memindahkannyapun tidak. Sekarang beras itu sudah beserakan dimana-mana karena karungnya bocor dipatokin ayam, sementara cipratan air bercampur tanah mengotori permukaan karung.Dahlia turun dan memungut beras yang berserakan, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik. Sementara karung yang kotor dia lap pakar ujung bajunya. Aku menghardik ayam-ayam itu agar tidak mendekat lagi.Suara knop pintu terdengar, sepertinya seseorang membuka dari dalam."Apa sih ribut-ribut?" Ibu keluar dengan mengucek matanya ynag masih setengah merem."Ini bu, berasnya ibu lupa masukan ya? Dimakan ayam, kan sayang?" ucap Dahlia sembari menyodorkan beras yang kami bawa kemrin."Sengaja gak dimasukan, biar untuk makan ayam, beras merk itu mana cocok dilidah ibu."Dahlia mengelus dadanya, ibu langsung masuk dengan membanting pintu."Mas, kita bawa pulang saja berasnya," ucap Dahlia, ma
Baca selengkapnya
Bab 5
Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah."Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib."Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku."Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras."Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku."Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-aya
Baca selengkapnya
Bab 6
Sikap Dahlia mendadak berubah tampak seperti orang yang sedang salah tingkah semenjak kedatangan mas Rendi. Dia makin banyak diam, padahal biasanya dia akan banyak biacara mengomentari ini itu.Selesai menurunkan atap rumbia, karyawan toko bangunan tadi langsung pulang. Sudah kutawari untuk mampir, sekedar minum kopi, tetapi dia tidak mau,katanya masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan."Mas Rendi tadi ngapain kesini Dek?" tanyaku sembari menyeruput kopi buatan Dahlia."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Dahlia membenarkan posisi duduknya, seperti ada yang tak nyaman ketika aku menanyakan mas Rendi.Selama ini aku tak pernah melihat Dahlia ngobrol berdua langsung. Jika sedang berkunjung ke rumah ibu dan di sana ada mbak Tika dan mas Rendi, Dahlia selalu menghindar. Aku rasa karena mbak Tika memang selalu judes terhadap Dahlia."Oh," jawabku singkat. Tak ingin mencurigai Dahlia, walaupun sebenarnya hatiku berkata lain. Seperti ada yang disembun
Baca selengkapnya
Bab 7
Dahlia"Mas Rendi ngapain kesini tadi Dek?" tanya mas Guntur tiba-tiba, diasaat hatiku tengah mengontrol perasaan yang tak menentu."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Berkali-kali aku membenarkan posisi dudukku agar tak begitu kentara jika aku tengah salah tingkah dan gugup.Mas Rendi, orang yang dulu sangat kucintai dan kuharapkan dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, namun nyatanya laki-laki itu pergi sehari sebelum melamarku. Acara lamaran yang sudah aku dan orang tuaku persiapkan harus kandas begitu saja.Jangan ditanya bagaimana rasa, sudah pasti sakit, bahkan karena kegagalan itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Aku tidak pernah lagi berbaur dengan tetangga selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, akupun menutup diri dari media sosial. Keseharianku hanya kuhabiskan dengan menulis, menulis surat tepatnya. Setiap hari aku selalu menulis surat untuk mas Rendi, apapun yang aku rasakan aku tulis didalam surat itu. Tapi surat
Baca selengkapnya
Bab 8
"Kamu gak apa-apa Dek?" Tak kujawab pertanyaan mas Guntur. Tanganku masih kuletakan dibawah guyuran air kran.Hatiku berdebar tidak karuan, dunia ini kadang terasa sempit, dulu ketika mas Rendi pergi begitu saja, sangat sulit aku temukan. Bahkan dirumahnya dia tidak pernah muncul. Orang tuanya pun seakan-akan lupa tetang diriku.Sekarang dia hadir dan menjadi kakak iparku. Bod0hnya aku tidak menyelidiki keluarga mas Guntur sebelumnya."Gak apa-apa Mas, cuma panas sedikit," jawabku, seraya mengoleskan pasta gigi kearea tangan yang terkena air panas."Kamu istirahat aja di kamar, biar Mas yang beresin depan sekalian buatkan kopi lagi untuk mas Rendi."Deg ... Jadi benar yang didepan itu mas Rendi, tadinya aku berharap aku hanya salah lihat dan kebetulan mirip dengan mas Rendi.Aku menurut dengan perkataan mas Guntur, segera aku ke kamar untuk menenangkan diriku. Tak berapa lama mas Guntur menyusulku ke kamar, dia membawa kotak yang dibungkus dengan kertas kado."Ini dari mas Rendi, Dek.
Baca selengkapnya
Bab 9
Posisiku menjadi guru honor terancam, karena tak lama lagi akan ada guru PNS yang akan ditugaskan di SD tempatku mengajar.Bukan aku tak pernah mendaftar diri menjadi CPNS, tetapi memang belum rezekiku menjadi abdi negara. Awal semester depan aku sudah tidak bisa lagi mengajar, posisi lainpun sudah penuh. Dengan sangat terpaksa aku harus mencari pekerjaan lain.Begitupun dengan Nia, dia senasib denganku. Dia akan lebih dulu keluar dari sekolah yang hampir 10 tahun ini menja diladang mencari rezeki, tetapi kami lebih suka menyebutnya sebagai tempat berbagi ilmu"Gak usah ngelamun gitu, masih banyak rezeki kita selain disini," ujar Nia mengagetkan lamunanku."Bukan itu yang aku pikirkan Nia, tapi pasti moment seperti ini tidak akan terulang lagi. Kumpul bareng begini, makan dikantin bareng-bareng. Pasti kita akan jarang ketemu, apalagi kalau kamu nanti ikit suami kamu." Nia tersenyum."Perpisahan disini bukan berarti kita tidak bisa ketemu ditempat lain. Di rumahku misal, atau kamu," uj
Baca selengkapnya
Bab 10
Rencanaku untuk membuka warung mie ayam disambut baik oleh bapak dan ibu, bahkan mereka siap untuk menambah modal jika uang yang aku punya masih kurang. Bapak yang paling semangat untuk membuatkanku warung. Pagi sekali Bapak sudah datang ketika aku masih sibuk di dapur. Celoteh bapak dan mas Guntur terdengar hingga kesini. Aku langsung membuatkan kopi hitam untuk bapak. Aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku masih ada dan sehat, walaupun perlakuan ibu mertuaku tidak sebaik yang aku kira diawal menikah, bahkah bisa dikatakan tidak baik. Aku tetap berusaha bersikap sebagai selayaknya seorang menanntu. Membantu jika bisa aku bantu dan memberi selagi bisa aku beri.Aku juga sebisa mungkin membujuk mas Guntur untuk tidak membenci ibu, dengan perlakuan yang semena-menanya itu. Aku tidak mau pada akhirnya nanti akan berbalik pada kami nantinya sebagai orang tua. Tugas kita hanya berbakti dan mendoakan kebaikan untuk orang tua.Setelah berbincang sebentar dengan bapak, kami berdua
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status