(Alur mundur sedikit)
Sepulangnya Nia setelah bertemu dengan Yuda, dirinya tidak mendapati anak-anak di rumah, karena dibawa jalan-jalan oleh Irsya.
"Jangan harap bisa menyogokku melalui anak-anak," desis Ilma lirih saat memasuki ruang tamu.
Setelah membersihkan badan, Nia mengunjungi rumah orang tuanya karena ingin melihat keadaan Fani.
Sampai di rumah yang dituju, Nia tidak membahas apapun. Hanya saja, sesekali mengejek Fani yang ternyata tidak sekuat yang ia sangka.
"Mikir apa sih, sampai sakit gitu? Mbak kira kamu gak akan pernah tumbang, Fan! Masa iya, kamu bisa lemas tidak berdaya seperti itu?"
"Ya 'kan namanya manusia, Mbak! Ada kalanya sehat, ada kalanya sakit!" gerutu Fani kesal.
Nia kembali lagi ke rumah setelah mendapat telepon dari Dinta kalau
Di rumahnya, Irsya merasa gelisah. Berkali-kali meminta maaf pada Nia tapi, pesannya tidak pernah dibaca sama sekali. Hingga malam hari, tanda centang belum berubah menjadi hijau.Iseng, dilihatnya story istrinya."Tidak akan aku biarkan siapapun untuk masuk ke dalam wilayahku. Seperti kata pepatah mengatakan, kejahatan terjadi juga karena adanya kesempatan. Situ kasih kesempatan, saya mending mundur!"Jantung Irsya mendadak berdegup kencang. Takut kalau-kalau hanya karena masalah Ilma, Nia meminta cerai."Kenapa aku bodoh sekali, membuat marah Nia yang pernah trauma. Seharusnya aku lebih sabar dan mengalah. Toh selama ini, dia tidak pernah bersikap yang membuatku marah," lirih Irsya menyesal.Pria itu menyugar rambutnya kasar."Aku harus bagaimana sekarang?" tanya Irsya seora
"Ilma, kamu!" Doni bangkit dan terlihat marah. Sedetik kemudian berkacak pinggang. "Kamu sadar tidak dengan apa yang katakan barusan? Ilma! Bu Nia istri dari Pak Irsya. Berarti itu rumah Bu Nia juga. Kami main ambil ini itu di sana tanpa menghargai nyonya di rumah itu!""Mas! Aku di sana itu mengerjakan sesuatu hal. Boleh dikatakan, aku sebagai pembantu gratis sementara pas hari itu. Harusnya Mbak Nia berterimakasih dong sama aku? Aku ambil gelas, ambil apapun, karena seperti yang tadi aku bilang, aku sudah tahu seluk beluk rumah Pak Irsya," racau Ilma kesal."Ya tapi Bu Nia istrinya Pak Irsya, Ilma!""Tapi dia orang baru, Mas. Seharusnya dia sadar. Kalau aku sudah pernah masuk ke rumah itu sebelum dia. Masalahnya apa?""Ilma! Dimana kecerdasan kamu? Gunakanlah otak kamu untuk berpikir. Seharusnya kamu lebih paham etika di rumah orang!" bentak D
Di kantor yang luas, dengan duduk di meja paling depan, berhadapan langsung dengan meja dan kursi yang diduduki Juan, Irawan menginterogasi bawahannya. Sementara Arya dan Eko duduk di kursi lain dengan perasaan gelisah. "Bapak tahu dari siapa, Pak?" tanya Juan balik begitu dirinya merasa sedang diadili. Ekor matanya melirik ke samping, tempat Arya duduk--yang dalam hatinya telah ia sangka sebagai pengadu. "Dari teman mahasiswa yang skripsinya batal. Apa benar dia melakukan plagiarisme?" Pria yang berwatak tegas itu bertanya dengan sorot mata tajam. "Iya, Pak. Ada sebuah aduan pada saya tentang hal itu." "Apa yang lain tahu hal ini? Maksudnya, dosen pembimbing yang lain tahu?" cecar Irawan membuat Juan terlihat tidak nyaman dengan duduknya. "Mereka tahu ada Ma
Sepeninggal Irawan, baik Arya maupun Eko sangat was-was, Juan akan memarahi mereka karena dianggap mengadu."Apa kalian berdua bekerjasama berusaha menjatuhkan aku?" Kedatangan Juan di hadapan mereka berdua dan mengatakan hal demikian sesuai dengan prasangka Arya dan Eko."Maksud Pak Juan, apa yang dikatakan Pak Irawan tadi adalah hasil aduan kami?" tanya Eko tegas. Pria itu memang sangat memegang prinsip kejujuran. Sehingga apapun dan siapapun yang melakukan sebuah kebohongan, tidak akan pernah dirinya mau mendukung."Jangan berlagak tidak tahu. Jelas, kita sama-sama mendengar. Dari mana Pak Irawan tahu tentang skripsi yang dibatalkan kalau tidak dari kalian?" tanya Juan dengan sorot mata tajam dan menatap keduanya secara bergantian. Suasana kantor memang sepi. Banyak dosen yang sudah ke kelas mereka untuk memberikan kuliah. Sementara yang lain yang tidak mengajar, memilih pergi
Seorang pria yang terlihat rapi penampilannya keluar dari mobil."Pak Arya?" pekik Fani kaget. Pria yang berstatus sebagai dosennya itu tersenyum manis. Ada binar bahagia melihat gadis yang beberapa hari ini tidak ia lihat, kini ada di hadapannya. Meski Fani ada di teras yang posisinya berada lebih tinggi dari tanah. Sementara dirinya ada di halaman."Pak Arya mau cari rumah siapa? Ada kenalan gitu di kampung saya?" tanya Fani sambil berdiri. "Oh, apa mau cari dukun pijat, Pak? Ada di gang sebelah. Itu emang paling laris. Tapi, dari mana Pak Arya tahu?" tambahnya lagi."Tante, itu siapa? Kenapa masih muda dipanggil Pak?" tanya Danis sembari menarik daster panjang yang dipakai Fani."Adek, diam! Tante sedang bicara sama orang penting!" ujar Fani lirih."Enggak. Aku mau jenguk kamu!" jawab Arya terlihat salah tin
"Saya sudah bilang, ini kelalaian saya, Pak. Saya mengaku salah.""Betulkah? Tidak ada niat atau sesuatu lain?" tanya Irawan tegas."Sesuatu lain apa, Pak? Saya ini kan tidak dekat dengan para mahasiswa jadi, tidak hal semacam itu,""Baiklah! Saya terima, Pak. Jangan pernah diulangi lagi hal ini. Atau Anda akan diragukan kemampuannya untuk kembali menjadi ketua dalam kegiatan ini. Dan satu lagi, jangan pernah menganggap bahwa saat kita memiliki kekuasaan, bebas menggunakan hal itu untuk misi apapun!" Kalimat yang diucapkan Irawan baru saja, menyentil hati Juan. Dalam hatinya bahkan timbul was-was, orang di hadapannya yang memiliki kedudukan lebih tinggi itu mengetahui sesuatu hal.'Aku harus membungkam mulut Ilma. Kalau tidak, apa yang aku lakukan selama ini akan terbongkar,' kata hati Juan.Setelah berbasa-bas
"Kamu tadi bilang apa, Fani? Ilma insyaf?" tanya Arya pura-pura tidak tahu. "Eh, itu, Pak, enggak. Enggak apa-apa. Lupakan saja! Yang penting kan, sekarang saya bisa melanjutkan skripsi saya lagi." Jawaban dari Ilma sedikit membuat Arya kagum. Gadis yang terkenal ceplas-ceplos, nyatanya tidak memiliki rasa dendam pada orang yang telah berusaha menjatuhkannya. "Apa ada penjelasan kenapa tiba-tiba skripsi saya diperbolehkan lanjut, Pak?" tanya Fani penasaran. "Em, gak ada! Tiba-tiba saja Pak Juan memutuskan hal ini." Fani terdiam. Tiba-tiba berpikir, mengapa bisa hal ini terjadi. Apakah Ilma memang sudah sadar akan kesalahannya atau ada sebab lain. "Ada teman kamu yang bilang ke Pak Irawan masalah ini. Makanya Pak Juan mendapat teguran dan secara tiba-tiba meminta kamu untuk melanjutkan lagi," tambah Arya.
Hari-hari berjalan mulai normal. Fani sudah kembali mendapatkan keceriaan hidup seperti sedia kala. Mengerjakan skripsi dengan otak pas-pasannya. Berjualan dan menagih utang pada teman-temannya. Serta berdebat dengan Dinda setiap hari untuk banyak hal."Fani! Itu baju kotor kamu jangan diletakkan di atas rak piring!" teriak Dinda saat Fani sudah bersiap berangkat kuliah."Ya Allah, Din, lupa. Eh, waktu itu di rumah sakit, siapa ya, yang janji gak mau marah-marah lagi sama aku?" tanya Fani sambil mengedipkan mata. Bila sudah berkata demikian, Dinda akan diam dengan wajah sendu. Menyesal dan merutuki diri telah bertindak gegabah.Namun, Fani selalu menuruti apa yang Dinda suruh padanya. "Demi menjaga kewarasan kamu!" ucapnya sembari meletakkan baju yang kotor ke dalam ember yang terletak di pojok ruangan.Yuda kembali pada sikap awalnya yang suka