"Menikah?" Alana memutar badan menghadap ibunya kembali dengan tampang malas. "Dalam keadaan hamil begini, siapa yang mau nerima, Ma?""Mama bilang sudah punya calon, jadi kamu tinggal mengiyakan. Setelah mama sembuh, kita urus pernikahan itu!"Kepala Alana mendadak sakit kepala mendengar pengakuan sang ibu. Gadis itu tidak peduli siapa yang akan menjadi calonnya karena Alana tahu, sulit menemukan lelaki yang mau menerima kekurangannya.Apalagi kalau ternyata dia lelaki tua, berbau tanah dan jelek. Walaupun lelaki itu saudagar paling kaya kalau jelek dan tua, Alana tentu saja menolak. Dia bukan gadis matre, maka dari itu menerima keadaan Albian apa adanya yang ternyata berujung pengkhianatan."Nggak," jawab Alana setelah lama berpikir."Alana!" bentak Ranti balik, meskipun suaranya tertahan, dia tidak boleh kalah sama anak sendiri."Mama, aku nggak mau nikah sama calon mama itu. Aku bakal cari suami sendiri, menikah itu butuh cinta dan kalau menikah karena menyembunyikan kehamilan ini
Tepat pukul delapan pagi, Alana sudah siap berangkat ke kontrakan Bella. Hari ini penampilannya tetap terlihat cantik meskipun memakai celana jeans dengan atasan kaos putih. Tentu saja Alana harus berpakaian seperti itu karena ada kemungkinan mereka berdebat panjang, dia tidak ingin kesulitan melawan hanya karena memakai rok.Pintu baru terbuka sepuluh senti, tetapi Alana harus kembali menoleh ke belakang. Dia melihat ibunya berdiri di pintu kamar, kemudian berusaha mencapai kursi. Alana tetap diam menunggu apa yang akan ibunya sampaikan meskipun sebenarnya dia sangat buru-buru karena sudah janjian dengan orang suruhan Rasya."Kamu mau ke mana?""Keluar sama teman, Ma, sebentar doang." Alana menjawab sedikit malas.Apa dia keterlaluan? Mungkin iya, tetapi ada urusan yang begitu mendesak. Jika saja boleh, Alana sendiri tidak ingin menjadi anak durhaka. Namun, ada masalah yang membuatnya harus membantah. Entahlah, Alana sendiri sebenarnya kasihan pada sang ibu yang harus dia tinggal lag
"Pak Danis silakan duduk dulu!" pinta Ranti ramah pada lelaki yang kini diyakini akan menjadi calon menantu meskipun usia mereka tidak terpaut jauh.Alana menggigit bibir, bagaimana bisa duda dua anak terlihat awet muda seperti itu. Alana mencoba mencari celah, tetapi tetap gagal. Dengan tubuh tinggi atletis, siapa yang akan menyangka kalau ternyata dia seorang duda?"Kamu juga duduk, Na, atau ke dapur buatin Pak Danis minum." Ranti kembali menegur anak gadisnya."Eh, nggak usah repot-repot, Bu Ranti. Kebetulan lagi puasa nazar."Suara lembut itu terdengar indah di telinga Alana. Dia bagai terperangkap di sebuah tempat di mana dia sendiri tidak ingin lepas. Alana semakin yakin kalau Danis adalah sosok lelaki penyayang. Namun, jika dia menikah, apakah masih bisa melanjutkan misi balas dendam atau melupakan segalanya seolah tidak ada luka dalam hati?Alana menggeleng cepat, tindakannya sama sekali tidak boleh dibenarkan. Meskipun Danis tampan sekaligus mapan, tetap saja Alana harus meno
"Nggak usah pura-pura, Bel. Aku tahu akal bulus kamu, jadi katakan apa maumu karena aku nggak punya banyak waktu!"Bella menepuk jidat sendiri, merasa kesal dengan Alana. "Aku nggak pura-pura, Na. Mungkin kamu mengira aku menjebak atau akting? Lihat saja, aku nggak bawa ponsel atau apa pun yang bisa merekam pembicaraan kita. Aku nggak ngajak kamu masuk karena emang rumah lagi berantakan. Sekarang aku harus melakukan apa supaya kamu percaya? Telepon Albian dan minta putus sama dia? Aku bisa melakukannya demi kamu!""Tidak usah." Alana menghela napas panjang, kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah. Memang tidak ada cela untuk merekam mereka karena dan jendela rumah Bella pun tertutup rapat. Apa yang dia takutkan sekarang?"Aku juga sadar nggak pantas buat Albian. Ya, percayalah selama ini dia tulus, Na. Mungkin ada alasan lain yang membuat Albian harus pergi selain karena kamu hamil. Dia nggak mungkin ngebuang kamu gitu aja, padahal kalian bisa menikah, bukan? Pikirkan baik-baik,
"Ayo, kita ke luar. Kasihan Pak Danis kalau harus menunggu di luar, padahal udah repot-repot mau masak buat kita." Ranti menarik tangan putrinya keluar kamar dan melihat Danis tengah mengulum senyum kikuk. Ketiganya melangkah santai menuju meja makan. Lelaki itu menghela napas panjang berulang kali karena kaki dan tangannya berubah pucat dan sedikit gemetar. Bukan karena rasa lapar yang mendera, tetapi dia merasa jatuh cinta pada Alana. Danis diam-diam mengulum senyum, kemudian menunduk untuk menyembunyikan rona di wajahnya. Apa ini? Dia seperti remaja yang baru saja dilanda bunga-bunga cinta. Ketika seseorang jatuh cinta, apa dia bisa menyembunyikan kebahagiaannya? Danis pikir itu mustahil. "Pak Danis makan, anggap rumah sendiri. Terimakasih sudah mau repot memasak di sini." "Sama-sama, Bu Ranti. Semoga Ibu dan Alana suka masakan ini." Danis menggigit bibirnya, kembali memalingkan pandangan ketika melihat Alana melotot. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kalimat Danis tadi, t
"Mama kok marah gitu, kayak nggak pernah muda aja. Aku nolak Pak Danis karena enggak cinta sama dia, Ma. Cinta itu nggak bisa dipaksa, harus dari hati kita." Ranti mendengus. Benar apa yang dikatakan Alana, tetapi apakah salah jika ingin memberi yang terbaik untuk putrinya? Ranti tahu rasanya dicampakkan, bukan berarti menganggap semua lelaki adalah sama terlebih pada Danis yang memang sudah dewasa. Tanpa harus izin, Ranti duduk di dekat Alana, menyusun bantal dan bersandar pada dinding kamar karena perutnya masih terasa nyeri. Dia ingin berbicara dari hati ke hati berharap hati Alana terbuka. "Na, waktu kecil, kamu selalu bilang ingin membahagiakan papa, betul?" "Iya, Ma." Alana sudah menduga apa yang akan dikatakan sang ibu selanjutnya. Akan tetapi, dia memilih untuk diam saja daripada kembali berdebat. Sebenarnya Alana juga masih punya rasa takut melawan ibunya. Namun, ada dendam yang terus membara dalam hati. Alana tidak bisa menerima takdirnya, melihat Albian bahagia dengan Al
"Sya?" Alana kembali membuka matanya setelah beberapa menit berlalu dan mendapati Rasya yang sedang mengukir senyum padanya."Tidak, Na. Aku hanya bercanda, tetapi rupanya kamu memang tertarik sama aku. Kalau aja nggak, pasti kamu meronta. Ngomong-ngomong aku lihat kamu lagi ada masalah, betul?"Alana mendengus kesal. Dia memang tidak ingin disentuh oleh lelaki itu, tetapi Alana yakin pipinya sempat merona dan Rasya melihatnya sendiri. Dengan susah payah, si gadis malang akhirnya bisa lepas, kemudian membuang napas berat."Ada masalah lain, tapi lupakan tentang itu, Sya. Aku pengen ngeliat Albian dulu."Akhirnya Rasya mengangguk dan memberi kelegaan tersendiri dalam hati Alana. Lelaki itu menggandeng tangan Alana seolah mereka memang sepasang kekasih yang saling mencintai, menuju ujung tanah lapang itu, menyibak semak dan menemukan tembok berwarna hitam.Andai saja Rasya tidak membukanya, maka Alana mengira itu sebatas dinding. Dia sedikit menganga, tetapi kemudian harus fokus menurun
Rasya tertawa mengejek. "Bukan aku yang harus membunuhmu, tetapi Alana sendiri. Albian, aku tahu kamu masih mencintai Alana, hanya rasa takutmu dengan masalah itu membuatmu berpaling. Kamu takut menghadapi rintangan padahal masalah ada karena ulahmu sendiri.""Persetan dengan cinta, aku tidak pernah mencintai Alana!" elak Albian memberi tatapan tajam. Semburat merah terlihat jelas di matanya.Sekalipun mereka sudah mengakhiri hubungan dan Alana berada di posisi kuat, hatinya tetap saja terasa perih. Apakah benar selama ini Albian hanya pura-pura mencintainya? Lalu kenapa sampai menginginkan sesuatu yang lebih?Alana menghela napas berat, dia tidak tahu menebak kebenarannya. Mata Albian tidak menunjukkan pertanda apa pun, Alana pun mengukir senyum kecut. Janin di dalam perutnya memang masih belum terasa, tetapi tetap saja itu darah daging Albian dan sebuah dosa jika dia sampai menggugurkannya."Betul kamu nggak cinta sama Alana?" Rasya kembali bertanya, kini sambil merangkul pinggang g