I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sayang, aku hamil," lirih Alana sambil menunjukkan hasil Test Pack strip pada Albian—kekasihnya. "Kamu nggak perlu ngasih tahu ke aku, Na. Gugurkan saja kandunganmu itu." Albian menjawab santai tanpa melirik benda itu, lalu bersandar di kepala ranjang. Mereka sudah tiga tahun menjalin hubungan asmara. Selama itu pula Alana sering melakukan aktivitas yang melewati batas sampai akhirnya curiga ketika dua bulan tidak pernah mendapat tamu bulanan. Dengan sedikit ragu, dia melakukan tes kehamilan dan dua garis merah itu seperti duri yang menusuk jantungnya. Terutama ketika mendengar jawaban dari Albian. Lelaki itu tidak memiliki tanggungjawab sama sekali. Apa yang harus Alana lakukan sekarang? Mencoba melawan takdir dengan menggugurkan kandungan, mengingat Albian sendiri adalah lelaki pengangguran? "Aku hanya menidurimu sekali, mustahil kamu bisa langsung hamil," lanjut Albian masih tidak percaya. Lagi dan lagi Alana melihatnya berbicara tanpa beban. Padahal selama ini dia selalu meno
Alana yang hendak menyusul Albian tersentak di depan kamar sendiri begitu melihat Ranti—sang ibu—pulang dengan wajah ditekuk. Wanita itu bahkan tidak menyapa anak gadisnya melainkan bergegas masuk kamar Alana. Menggeram, Ranti merasa dugaannya semakin kuat setelah melihat ruangan yang menjelma seperti kapal pecah."Seharian ini kamu ngapain aja, Na?" Sebuah pertanyaan yang terdengar biasa saja padahal memiliki maksud tersendiri yang tidak Alana mengerti."Nonton, Ma.""Tadi mama ketemu Al di depan, kamu yakin nggak ngelakuin apa-apa sama dia? Kalian itu pacaran, mustahil kalau di rumah cuman ngobrol. Mama pernah muda dan sudah sering melihat atau mendengar cerita teman yang peluk cium sama pacarnya. Mama bisa percaya sama kamu, 'kan?""Pasti, Ma. Albian itu anak baik, nggak mungkin lah mau ngerusak aku."Wajah Ranti merah padam mendengar jawaban Alana padahal tadi hanya pertanyaan pancingan. Dia membuang tas tangan—yang selalu dibawanya ke sekolah—ke sembarang arah. Wanita itu tahu ka
"Kamu jangan bercanda, Al. Aku datang ke sini untuk menuntut pertanggungjawaban. Kamu yang hamilin aku, merusak masa depan aku!" Hidung Alana kembang kempis mendengar penuturan Albian."Masa depan? Sekarang lebih baik kamu pulang karena aku nggak punya uang buat nikahin kamu!" usir Albian berkacak pinggang berdiri menghadap Alana."Al, ini jawaban kamu? Ternyata sebelum kita melakukan perbuatan hina itu, kamu cuma mengiming-imingiku dengan pernikahan dan cinta. Sekarang aku sadar kalau semua yang kamu katakan itu bohong." Alana bangkit, kemudian memberi tamparan di wajah kekasihnya.Wajah yang dulu selalu dia rindukan setiap hari, bahkan hadir dalam mimpinya. Wajah teduh itu berubah sangar karena sekarang Alana pun mendapat tamparan yang sangat keras dari sebelumnya. Alana memegangi pipi kiri, merasakan panas yang luar biasa. Cinta, apakah dia masih bisa percaya akan keberadaannya?"Sejak dulu aku emang pengen pisah sama kamu karena sadar kalau perbuatan kita sudah melampaui batas, te
"Dia mantan kamu, 'kan?" tanya Nia lagi memastikan."Iya, mantan, tapi baru tadi diputusin."Nia menghela napas berat. Kini, gadis yang satu tahun lebih tua dari adiknya itu tahu kalau Albian memang tidak mencintai Alana lagi, sejak beberapa bulan terakhir. Jika memang cinta, seharusnya dia tidak mengatakan kalau mereka sudah berpisah."Oh, gitu." Nia memindai sekitar, kemudian mendekati Alana seraya berbisik. "Na, lebih baik kamu pulang dan nggak usah nyari Al lagi. Kamu udah nggak punya tempat di hatinya. Aku kasihan loh kalau ngeliat perempuan nangis gara-gara pacarnya, apalagi kalau itu kamu. Perempuan itu harus punya harga diri!"Alana mundur begitu mendengar apa yang diucapkan Nia. Gadis itu tahu kalau dia sedang mendapat sindiran. Sekalipun Nia selalu membantunya bertemu Albian, tetap saja bisa berubah dalam sekejap. Bukankah siang akan berganti malam apabila sudah waktunya?"Aku nggak perlu disuruh pergi. Tenang aja, aku nggak bakal ngusik Albian lagi, kok.""Bagus, aku juga n
Sepanjang malam, Alana tidak bisa tidur bahkan sulit untuk memejamkan mata barang sebentar. Dia sibuk memikirkan bagaimana cara lepas dari masalah itu tanpa harus menciptakan masalah yang lain.Sinar mentari menembus kamar melalui celah ventilasi dan Alana masih duduk memeluk lutut di tempat tidurnya. Ada garis hitam di bawah mata gadis itu, dia terlihat kuyu tidak terawat. Perutnya merasakan lapar yang luar biasa karena sang ibu melarangnya makan tadi malam.Ponsel gadis itu berdering. Ketika menoleh ke nakas, dia melihat nama Albian tertera di sana. Sebuah senyum tersungging di bibir Alana, lalu lekas mengangkat telepon. "Halo?""Na, hubungan kita benar-benar berakhir kemarin, nggak ada kesempatan kedua dan aku sudah menemukan penggantimu. Lupakan tentang cinta dan harapan yang kita bangun bersama. Janin itu ... gugurkan saja karena sampai kapan pun aku nggak akan pernah mengakuinya. Tidak ada bukti kuat kalau aku ayah biologisnya."Sebelum Alana kembali membuka suara, panggilan sud