Share

Bab 4. Ma, Maafin Aku!

"Dia mantan kamu, 'kan?" tanya Nia lagi memastikan.

"Iya, mantan, tapi baru tadi diputusin."

Nia menghela napas berat. Kini, gadis yang satu tahun lebih tua dari adiknya itu tahu kalau Albian memang tidak mencintai Alana lagi, sejak beberapa bulan terakhir. Jika memang cinta, seharusnya dia tidak mengatakan kalau mereka sudah berpisah.

"Oh, gitu." Nia memindai sekitar, kemudian mendekati Alana seraya berbisik. "Na, lebih baik kamu pulang dan nggak usah nyari Al lagi. Kamu udah nggak punya tempat di hatinya. Aku kasihan loh kalau ngeliat perempuan nangis gara-gara pacarnya, apalagi kalau itu kamu. Perempuan itu harus punya harga diri!"

Alana mundur begitu mendengar apa yang diucapkan Nia. Gadis itu tahu kalau dia sedang mendapat sindiran. Sekalipun Nia selalu membantunya bertemu Albian, tetap saja bisa berubah dalam sekejap. Bukankah siang akan berganti malam apabila sudah waktunya?

"Aku nggak perlu disuruh pergi. Tenang aja, aku nggak bakal ngusik Albian lagi, kok."

"Bagus, aku juga nggak mau ngeliat muka kamu yang kuyu itu."

Alana memilih diam untuk sementara karena dia tahu, melawan Nia hanya akan menambah masalah apalagi saat ini kondisinya sedang mengandung. Jika dia diserang, lalu keguguran, bukankah para tetangga langsung menuduhnya hamil?

Akhirnya, Alana melangkahkan kakinya penuh rasa gundah menuju rumah sambil memesan ojek online. Dia bingung, bagaimana cara menjelaskan penolakan Albian pada sang ibu. Batin gadis itu terus menggerutu pada takdir yang tidak berpihak padanya.

***

"Aku pulang!" teriak Alana begitu tiba di rumah. Rambutnya sudah acak-acakan karena beberapa menit lalu, dia singgah di ujung jalan untuk mengamuk pada semua pengendara yang lewat. Beberapa dari mereka mengira Alana adalah gadis yang memiliki gangguan kejiwaan.

Tidak berselang lama, Ranti keluar dengan mata merah dan bengkak. Alana bisa menebak kalau sang ibu baru saja selesai menangis. Gadis itu merasa bersalah, tetapi tidak tahu bagaimana cara menebus kesalahan yang sudah dilakukan. Jika saja janin itu gugur, mungkinkah dia kembali mendapat maaf dan senyum hangat dari sang ibu?

"Apa kata Albian? Dia mau nikahin kamu, 'kan?"

"Belum." Alana menjawab lemah seraya menundukkan kepalanya.

Tentu saja hal itu memancing kemarahan Ranti. Dia menekan dagu Alana kuat, mengangkat wajah gadis itu penuh emosi. Ranti menatap tajam mata Alana yang berembun. Seorang gadis yang selama ini dia didik untuk patuh kepada orangtua, kini hamil di luar nikah. Siapa yang patut disalahkan?

"Mama, maafin aku, Ma!" pinta Alana berusaha menepis amarah Ranti.

Tidak semudah itu karena Ranti pun harus menanggung malu. Dia akan dicap sebagai ibu yang tidak bertanggungjawab padahal sejak dulu Ranti meminta Alana menutup aurat juga menjauh dari lelaki. Akan tetapi, dia terlalu membangkang dan diperbudak cinta sehingga berani melakukan hal di luar dugaan.

Beberapa tetangga pernah mengadu pada Ranti kalau Albian datang setiap hari menemui Alana. Dia hanya menanggapi dengan senyum karena begitu Ranti menanyakan kebenaran itu pada anak gadisnya, maka Alana akan mengiyakan, tetapi berdalih kalau mereka mengobrol di teras rumah saja.

"Mama nggak nyangka kalau selama ini kamu bohongin mama, Na. Kamu bilang lebih baik Albian datang ke rumah daripada harus ke luar dan bisa saja melakukan hal negatif. Ternyata kalimat itu cuma buat mengelabui orangtua sendiri. Kamu pikir nggak dosa, Na? Kamu pikir mama beneran senang kalau tahu Al datang ke sini lagi?!"

"Ma ...."

Ranti memang sayang pada Alana, hanya saja gadis itu sudah melampaui batas. Bagi Ranti, bentuk kasih sayang adalah bertindak tegas dalam mendidiknya, bukan menuruti segala keinginan sang anak meskipun itu merusak harga dirinya. Dengan berat hati, Ranti menarik tangan Alana, membawanya menuju kamar mandi.

"Ma, aku mau diapain, Ma?" Alana mulai panik. Dia sangat takut melihat amarah di mata sang ibu.

"Mama tidak punya pilihan." Ranti pun menceburkan kepala Alana ke dalam bak mandi dalam beberapa detik, kemudian mendorongnya ke sudut ruangan itu. Dia menyalakan shower dan menyaksikan sendiri bagaimana putrinya menggigil di sana.

Ranti bukan tega, tetapi tegas. Jika terus memberi maaf, maka Alana akan melakukan kesalahan sama di masa depan. Ranti hanya ingin anak gadisnya mengutamakan harga diri. Lagi pula, berzina adalah sebuah dosa yang sulit dimaafkan karena Tuhan bisa menegur dengan banyak cara.

Setengah jam Alana berada di bawah guyuran air itu, Ranti pun kasihan melihatnya. Maka dengan sekuat tenaga, dia menarik tangan anak gadisnya untuk berdiri, kemudian memintanya berganti pakaian. "Kalau sudah selesai, temui mama di depan!"

Alana mengangguk lemah. Dia tahu dirinya sudah bersalah dan sangat pantas menerima hukuman. Kalau saja dia tidak menuruti hawa nafsu, maka mungkin kebahagiaan dalam rumahnya masih terus mewarnai hari. Alana sadar, tetapi sekali lagi semua penyesalan itu tiada berguna karena janin dalam kandungannya masih ada.

***

Begitu selesai mengganti pakaian serta menggulung rambut dengan handuk kecil, Alana melangkah pelan menuju ruang tamu di mana sang ibu berada. Padahal ada ruang keluarga di depan kamar, entah kenapa Ranti ingin duduk di sana.

Alana tidak banyak bicara, dia hanya duduk menunduk di lantai depan Ranti. Apa pun yang ibunya ingin lakukan, Alana siap menerima. Bahkan jika diusir dari rumah sekalipun karena Alana tahu kehadirannya hanya menambah beban.

"Sudah berapa lama kamu hamil?"

"Aku nggak tahu, Ma. Mungkin dua bulan."

Ranti memejamkan matanya berusaha menerima luka yang mendera. Dua bulan bukan waktu singkat, maka berarti ada kemungkinan mereka sudah pernah melakukan hubungan suami istri sebelum itu.

"Kapan terakhir kali ...." Ranti menelan saliva, tenggorokannya bagai tersekat.

"Kemarin." Alana menjawab jujur karena tahu maksud pertanyaan ibunya.

Sebuah jawaban yang menjelma duri dalam hati Ranti. Kemarin adalah terakhir kali mereka melakukan hubungan suami istri, tetapi kenapa Ranti tidak pernah curiga selama ini? Sepandai apa Alana menyembunyikan kesalahannya itu?

Berbagai pikiran buruk menghantui pikiran Ranti sehingga wanita paruh baya itu kembali tersulut amarah. Dia memaki, mengatai Alana sebagai wanita murahan serta menampar dan menarik rambutnya berulang kali.

Apa yang bisa diharapkan pada gadis yang telah ternoda? Ranti tahu Alana sudah kehilangan kehormatannya dan Albian pun tidak memberi kepastian. Kacau, Ranti merasa harus turun tangan meskipun para tetangga akan tahu masalah mereka.

"Ini masalah besar, Albian harus menikahimu tidak peduli kalau seluruh manusia tahu kalian melakukan hal tabu."

"Jangan, Ma. Aku malu, Ma."

"Kamu malu sama tetangga, tetapi nggak malu sama Tuhan waktu ngelakuin hal kotor itu. Mama harus bertindak, kamu nggak boleh hamil tanpa suami. Albian harus bertanggungjawab!" Teriakan itu menggema, Ranti kembali memukuli anak gadisnya sebelum menemui Albian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status