"Dia mantan kamu, 'kan?" tanya Nia lagi memastikan.
"Iya, mantan, tapi baru tadi diputusin."
Nia menghela napas berat. Kini, gadis yang satu tahun lebih tua dari adiknya itu tahu kalau Albian memang tidak mencintai Alana lagi, sejak beberapa bulan terakhir. Jika memang cinta, seharusnya dia tidak mengatakan kalau mereka sudah berpisah.
"Oh, gitu." Nia memindai sekitar, kemudian mendekati Alana seraya berbisik. "Na, lebih baik kamu pulang dan nggak usah nyari Al lagi. Kamu udah nggak punya tempat di hatinya. Aku kasihan loh kalau ngeliat perempuan nangis gara-gara pacarnya, apalagi kalau itu kamu. Perempuan itu harus punya harga diri!"
Alana mundur begitu mendengar apa yang diucapkan Nia. Gadis itu tahu kalau dia sedang mendapat sindiran. Sekalipun Nia selalu membantunya bertemu Albian, tetap saja bisa berubah dalam sekejap. Bukankah siang akan berganti malam apabila sudah waktunya?
"Aku nggak perlu disuruh pergi. Tenang aja, aku nggak bakal ngusik Albian lagi, kok."
"Bagus, aku juga nggak mau ngeliat muka kamu yang kuyu itu."
Alana memilih diam untuk sementara karena dia tahu, melawan Nia hanya akan menambah masalah apalagi saat ini kondisinya sedang mengandung. Jika dia diserang, lalu keguguran, bukankah para tetangga langsung menuduhnya hamil?
Akhirnya, Alana melangkahkan kakinya penuh rasa gundah menuju rumah sambil memesan ojek online. Dia bingung, bagaimana cara menjelaskan penolakan Albian pada sang ibu. Batin gadis itu terus menggerutu pada takdir yang tidak berpihak padanya.
***
"Aku pulang!" teriak Alana begitu tiba di rumah. Rambutnya sudah acak-acakan karena beberapa menit lalu, dia singgah di ujung jalan untuk mengamuk pada semua pengendara yang lewat. Beberapa dari mereka mengira Alana adalah gadis yang memiliki gangguan kejiwaan.
Tidak berselang lama, Ranti keluar dengan mata merah dan bengkak. Alana bisa menebak kalau sang ibu baru saja selesai menangis. Gadis itu merasa bersalah, tetapi tidak tahu bagaimana cara menebus kesalahan yang sudah dilakukan. Jika saja janin itu gugur, mungkinkah dia kembali mendapat maaf dan senyum hangat dari sang ibu?
"Apa kata Albian? Dia mau nikahin kamu, 'kan?"
"Belum." Alana menjawab lemah seraya menundukkan kepalanya.
Tentu saja hal itu memancing kemarahan Ranti. Dia menekan dagu Alana kuat, mengangkat wajah gadis itu penuh emosi. Ranti menatap tajam mata Alana yang berembun. Seorang gadis yang selama ini dia didik untuk patuh kepada orangtua, kini hamil di luar nikah. Siapa yang patut disalahkan?
"Mama, maafin aku, Ma!" pinta Alana berusaha menepis amarah Ranti.
Tidak semudah itu karena Ranti pun harus menanggung malu. Dia akan dicap sebagai ibu yang tidak bertanggungjawab padahal sejak dulu Ranti meminta Alana menutup aurat juga menjauh dari lelaki. Akan tetapi, dia terlalu membangkang dan diperbudak cinta sehingga berani melakukan hal di luar dugaan.
Beberapa tetangga pernah mengadu pada Ranti kalau Albian datang setiap hari menemui Alana. Dia hanya menanggapi dengan senyum karena begitu Ranti menanyakan kebenaran itu pada anak gadisnya, maka Alana akan mengiyakan, tetapi berdalih kalau mereka mengobrol di teras rumah saja.
"Mama nggak nyangka kalau selama ini kamu bohongin mama, Na. Kamu bilang lebih baik Albian datang ke rumah daripada harus ke luar dan bisa saja melakukan hal negatif. Ternyata kalimat itu cuma buat mengelabui orangtua sendiri. Kamu pikir nggak dosa, Na? Kamu pikir mama beneran senang kalau tahu Al datang ke sini lagi?!"
"Ma ...."
Ranti memang sayang pada Alana, hanya saja gadis itu sudah melampaui batas. Bagi Ranti, bentuk kasih sayang adalah bertindak tegas dalam mendidiknya, bukan menuruti segala keinginan sang anak meskipun itu merusak harga dirinya. Dengan berat hati, Ranti menarik tangan Alana, membawanya menuju kamar mandi.
"Ma, aku mau diapain, Ma?" Alana mulai panik. Dia sangat takut melihat amarah di mata sang ibu.
"Mama tidak punya pilihan." Ranti pun menceburkan kepala Alana ke dalam bak mandi dalam beberapa detik, kemudian mendorongnya ke sudut ruangan itu. Dia menyalakan shower dan menyaksikan sendiri bagaimana putrinya menggigil di sana.
Ranti bukan tega, tetapi tegas. Jika terus memberi maaf, maka Alana akan melakukan kesalahan sama di masa depan. Ranti hanya ingin anak gadisnya mengutamakan harga diri. Lagi pula, berzina adalah sebuah dosa yang sulit dimaafkan karena Tuhan bisa menegur dengan banyak cara.
Setengah jam Alana berada di bawah guyuran air itu, Ranti pun kasihan melihatnya. Maka dengan sekuat tenaga, dia menarik tangan anak gadisnya untuk berdiri, kemudian memintanya berganti pakaian. "Kalau sudah selesai, temui mama di depan!"
Alana mengangguk lemah. Dia tahu dirinya sudah bersalah dan sangat pantas menerima hukuman. Kalau saja dia tidak menuruti hawa nafsu, maka mungkin kebahagiaan dalam rumahnya masih terus mewarnai hari. Alana sadar, tetapi sekali lagi semua penyesalan itu tiada berguna karena janin dalam kandungannya masih ada.
***
Begitu selesai mengganti pakaian serta menggulung rambut dengan handuk kecil, Alana melangkah pelan menuju ruang tamu di mana sang ibu berada. Padahal ada ruang keluarga di depan kamar, entah kenapa Ranti ingin duduk di sana.
Alana tidak banyak bicara, dia hanya duduk menunduk di lantai depan Ranti. Apa pun yang ibunya ingin lakukan, Alana siap menerima. Bahkan jika diusir dari rumah sekalipun karena Alana tahu kehadirannya hanya menambah beban.
"Sudah berapa lama kamu hamil?"
"Aku nggak tahu, Ma. Mungkin dua bulan."
Ranti memejamkan matanya berusaha menerima luka yang mendera. Dua bulan bukan waktu singkat, maka berarti ada kemungkinan mereka sudah pernah melakukan hubungan suami istri sebelum itu.
"Kapan terakhir kali ...." Ranti menelan saliva, tenggorokannya bagai tersekat.
"Kemarin." Alana menjawab jujur karena tahu maksud pertanyaan ibunya.
Sebuah jawaban yang menjelma duri dalam hati Ranti. Kemarin adalah terakhir kali mereka melakukan hubungan suami istri, tetapi kenapa Ranti tidak pernah curiga selama ini? Sepandai apa Alana menyembunyikan kesalahannya itu?
Berbagai pikiran buruk menghantui pikiran Ranti sehingga wanita paruh baya itu kembali tersulut amarah. Dia memaki, mengatai Alana sebagai wanita murahan serta menampar dan menarik rambutnya berulang kali.
Apa yang bisa diharapkan pada gadis yang telah ternoda? Ranti tahu Alana sudah kehilangan kehormatannya dan Albian pun tidak memberi kepastian. Kacau, Ranti merasa harus turun tangan meskipun para tetangga akan tahu masalah mereka.
"Ini masalah besar, Albian harus menikahimu tidak peduli kalau seluruh manusia tahu kalian melakukan hal tabu."
"Jangan, Ma. Aku malu, Ma."
"Kamu malu sama tetangga, tetapi nggak malu sama Tuhan waktu ngelakuin hal kotor itu. Mama harus bertindak, kamu nggak boleh hamil tanpa suami. Albian harus bertanggungjawab!" Teriakan itu menggema, Ranti kembali memukuli anak gadisnya sebelum menemui Albian.
Sepanjang malam, Alana tidak bisa tidur bahkan sulit untuk memejamkan mata barang sebentar. Dia sibuk memikirkan bagaimana cara lepas dari masalah itu tanpa harus menciptakan masalah yang lain.Sinar mentari menembus kamar melalui celah ventilasi dan Alana masih duduk memeluk lutut di tempat tidurnya. Ada garis hitam di bawah mata gadis itu, dia terlihat kuyu tidak terawat. Perutnya merasakan lapar yang luar biasa karena sang ibu melarangnya makan tadi malam.Ponsel gadis itu berdering. Ketika menoleh ke nakas, dia melihat nama Albian tertera di sana. Sebuah senyum tersungging di bibir Alana, lalu lekas mengangkat telepon. "Halo?""Na, hubungan kita benar-benar berakhir kemarin, nggak ada kesempatan kedua dan aku sudah menemukan penggantimu. Lupakan tentang cinta dan harapan yang kita bangun bersama. Janin itu ... gugurkan saja karena sampai kapan pun aku nggak akan pernah mengakuinya. Tidak ada bukti kuat kalau aku ayah biologisnya."Sebelum Alana kembali membuka suara, panggilan sud
"Kenapa nggak masuk?" tegur Ranti membuat. Alana tersentak. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan."Ma, ada hal penting yang mau aku omongin."Ranti mengangguk pelan. Jika boleh dikata, wanita tua itu masih sangat kecewa pada anaknya. Akan tetapi, jika terus mendiamkan Alana, maka besar kemungkinan anak gadisnya akan semakin tertekan dalam dosa masa lalunya."Kemarin, semoga Mama mau maafin aku karena sempat marah waktu ditanya tentang Albian. Maaf, Ma, aku nggak berhasil memintanya bertanggungjawab. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi dia tetap menolak bahkan mengusirku dari sana. Mungkin benar, kami bukan jodoh dan aku akan berjuang sendiri untuk menjaga kandungan ini, lalu membesarkannya tanpa ayah," kata Alana yakin begitu mereka duduk berhadapan di kursi ruang tamu.Tidak ada jawaban, Ranti hanya menatap Alana lekat. Gadis itu ingin menunduk, hanya saja dia penasaran apa yang ada dalam benak sang ibu. Dia tidak tahu kalau sebenarnya Ranti dengan menc
Napas Albian memburu, lelaki itu terlihat sangat gugup. Alana sendiri menunggu jawaban sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Seorang lelaki yang sudah menodai kesuciannya, juga datang untuk menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Apakah ada kata maaf dari Alana? Mungkin itu sesuatu yang mustahil terjadi. "Aku nggak mungkin tahu kalau Alana di rumah sendirian kalau saja dia nggak ngasih tahu. Jadi, Alana ngundang aku ke sini bahkan berani bawa aku ke kamarnya. Tentu sebagai lelaki normal, aku tergiur untuk melakukan sesuatu yang lebih terutama Alana tidak melakukan penolakan. Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas? Pemuda di luar sana juga akan melakukannya kalau berduaan dengan gadis seksi dalam kamar. Apa aku benar?" "Hentikan bualanmu itu, Al. Aku mungkin sudah tidak suci lagi, tetapi kamu harus tahu kalau aku bukan pelacur!" gertak Alana semakin merasa terhina. Dia menyesal pernah menaruh hati dan kepercayaan pada sosok seperti Albian. Jika saja tahu mereka akan berakhi
Alana murka karena melihat Albian datang bersama Bella. Kenapa harus gadis itu yang berdiri di sisinya? Akan tetapi, Alana harus menyembunyikan rasa cemburu sebelum terbaca oleh mereka berdua. Kedatangannya ke rumah itu bukan untuk bertengkar apalagi menambah beban pikiran. Entah kenapa dia sendiri merasa yakin kalau Albian masih ingin kembali."Kamu ternyata emang tempramental, ya, Na? Tante Hesti itu saudara kandung mendiang mamaku, tetapi kamu malah menjambak rambutnya. Selain itu, umur kalian terpaut jauh, di mana sopan santunmu? Apa mungkin kamu masih sakit hati? Ayolah, lupakan saja masalah itu biar kamu bisa hidup tenang."Alana tertawa kecil mendengar penuturan Albian. Melupakan? Apa dia sudah gila? Oh, tidak, Alana harus bisa mengalahkan mereka bertiga bahkan ketika dia harus kehilangan nyawanya. Bukankah bagus jika mereka menjadi tersangka pembunuhan?Sekarang pandangan matanya fokus pada Bella yang menatap penuh tanda tanya. Namun, Alana tidak ingin mengambil pusing selama
"Antar?" Alana berdecih. "Aku bisa pulang sendiri, tetapi sebelum itu kamu harus jawab, sejak kapan kamu pacaran sama Al?"Jantung Alana berdegup terlalu cepat karena tersulut emosi. Ah, bahkan rasa amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan agar bisa menenangkan diri. Dengan perasaan malu kepada Tuhan, dia membaca dzikir karena pernah mendengar penceramah meminta para jamaah untuk berzikir ketika pikiran sedang kacau."Besok sudah tiga bulan. Puas?"Tiga bulan? Itu bukan waktu yang singkat. Berarti selama ini Albian berbohong bahwa dirinya sibuk di luar untuk mencari pekerjaan, ternyata demi menemui Bella. Meskipun masih samar, Alana yakin itu lah yang terjadi. Dalam tiga bulan itu pula, dia sering dicium secara tiba-tiba sehingga melahirkan bunga-bunga cinta.Alana tidak menduga jika Albian melakukannya karena tidak ingin ketahuan telah selingkuh. Setiap sentuhan darinya ternyata berubah menjadi kutukan dan penghinaan. Alan
"Kamu sudah gila? Aku bahkan tidak tahu nama kamu, tapi sudah ngajak pacaran aja. Kamu siapa, sih?!"Lelaki itu melepaskan cengkramannya, beralih menjabat paksa tangan Alana. Dia tersenyum penuh percaya diri seolah dia seorang pangeran. "Aku Rasya, ingat itu."Alana tertegun. Dia berusaha memutar otak mengingat hari-hari sebelumnya. Tidak, bahkan sejak kecil gadis itu belum pernah mempunyai teman dengan nama Rasya. Akan tetapi, lelaki itu terlihat familiar, entah dia datang dari mana."Aku nggak kenal sama kamu.""Jangan jutek seperti itu, Na. Kalau kamu nggak kenal sama aku, lebih baik aku perkenalkan diri. Gimana?"Lelaki yang sangat nekat, Alana bisa langsung menebak kalau dia tipikal egois dan ingin menang sendiri. Namun, mengajak berpacaran di pertemuan pertama membuat gadis itu merasa curiga.Tentu bukan tanpa alasan dia mengutarakan cintanya bahkan ketika menatap mata Rasya, yang ada hanya kebohongan dan luka di sana. Alana memahami karena sudah sering berkaca dengan ekspresi i
"Oke, deal. Kita pacar bohongan demi misi. Tapi aku masih bingung harus ngelakuin apa dan sebelum itu ada yang mau aku kasih tahu ke kamu, Sya." Alana berucap ragu.Bukankah kehamilannya adalah sebuah aib dan sama saja bodoh jika memberitahu Rasya tentang janin itu? Mereka tidak saling mencintai dan ada kemungkinan Rasya membatalkan kerja sama mereka. Namun, kalau terus diam apakah kelak tidak menyesalinya?Alana menggigit bibir bawahnya begitu Rasya menatap lekat menunggu Alana kembali bicara. Selain Bella, dia tidak pernah punya teman dekat karena di luar sana banyak teman yang memakan teman sendiri dam ternyata hal itu terjadi padanya juga. Alana juga takut jatuh cinta jika saja sering bertemu sama Rasya."Kamu mau ngasih tahu apa mau nanya? Mau nanya aku kerja apa? Tenang saja, papaku orang kaya dan tahun depan bakal jadi pewaris tunggal, meskipun sekarang masih yah lebih sering kumpul sama teman. Istilahnya menikmati masa pengangguran sebelum benar-benar sibuk. Lagian kita cuma p
Air mata Alana semakin menggenang, dia pun mengangkat tangannya di udara siap untuk menusuk perut sendiri. Sekalipun itu akan sangat menyakitkan, tetap saja dia harus melakukannya. Alana berharap setelah ini semua orang hanya menganggapnya depresi bukan karena hamil.Napasnya kini memburu sementara kaki berubah pucat. Alana menggigit bibir berusaha memantapkan hati untuk tidak memikirkan hal lain lagi. Dengan gerakan cepat, dia mengarahkan gunting itu ke perutnya."Alana!" teriak Ranti histeris. Untung saja dia berhasil mencekal tangan anak gadisnya sebelum ujung gunting itu berhasil merobek perutnya yang masih rata. "Kamu sudah gila, hah?!""Lepasin, aku mau mati!" Gadis malang itu kesetanan, dia mendorong ibunya sendiri.Bukankah orang depresi memang seperti itu? Dia akan kehilangan kendali, tepatnya alam bawah sadar yang lebih kuat bekerja. Alana tertawa keras melihat ibunya sendiri tersungkur di lantai. Tidak, pandangan gadis itu terganggu oleh halusinasi. Dia mengira wanita yang