Share

Bab 5. Disoraki Tetangga

Sepanjang malam, Alana tidak bisa tidur bahkan sulit untuk memejamkan mata barang sebentar. Dia sibuk memikirkan bagaimana cara lepas dari masalah itu tanpa harus menciptakan masalah yang lain.

Sinar mentari menembus kamar melalui celah ventilasi dan Alana masih duduk memeluk lutut di tempat tidurnya. Ada garis hitam di bawah mata gadis itu, dia terlihat kuyu tidak terawat. Perutnya merasakan lapar yang luar biasa karena sang ibu melarangnya makan tadi malam.

Ponsel gadis itu berdering. Ketika menoleh ke nakas, dia melihat nama Albian tertera di sana. Sebuah senyum tersungging di bibir Alana, lalu lekas mengangkat telepon. "Halo?"

"Na, hubungan kita benar-benar berakhir kemarin, nggak ada kesempatan kedua dan aku sudah menemukan penggantimu. Lupakan tentang cinta dan harapan yang kita bangun bersama. Janin itu ... gugurkan saja karena sampai kapan pun aku nggak akan pernah mengakuinya. Tidak ada bukti kuat kalau aku ayah biologisnya."

Sebelum Alana kembali membuka suara, panggilan sudah terputus sepihak. Albian sangat kejam karena sudah membuang Alana seperti itu. Padahal jika seseorang mencintai sesuatu, maka dia tidak akan pernah meninggalkannya. Semudah itu pula Albian menemukan sosok pengganti, mungkinkah itu sebuah jawaban kalau kepergiannya adalah sebuah rencana?

"Alana, keluar kamu!"

"Alana, jangan bersembunyi di dalam. Kami sudah tahu semuanya, keluar!"

Sebuah teriakan yang berulang kali Alana dengar. Jam masih menunjuk pukul sembilan pagi, tetapi sudah ada yang bertamu. Tidak, pintu rumahnya diketuk dengan keras, gadis itu segera keluar untuk mengintip di balik jendela.

Dia hanya sendirian di sana dan harus menghadapi beberapa orang dewasa di depan rumah? Bapak-bapak dan ibu-ibu itu nampak sedang marah bahkan beberapa dari mereka membawa spatula seperti ingin menggoreng Alana jika melihatnya. Mereka terus meneriakkan sumpah serapah. Apa yang baru saja terjadi?

"Hei, keluar kamu, Alana! Kalau kamu enggak keluar, aku bakar rumah ini!" teriak ibu yang memakai daster kuning sambil mengacungkan spatulanya.

"Alana, cepat keluar!" sahut yang lainnya bersamaan.

Alana takut jika sampai membuka pintu, bisa jadi dia akan diamuk massa. Namun, jika terus diam, lantas bagaimana cara mengetahui penyebab kemarahan mereka? Andai Ranti ada di sana, ketakutan Alana tidak akan terlalu besar. Lihat saja, tangan gadis malang itu sudah gemetaran.

Salah seorang dari mereka maju untuk mendobrak pintu rumah Alana membuat gadis itu segera membukanya. Begitu daun pintu terbuka lebar, semua mata menatap tajam penuh kebencian. Alana memejamkan mata sambil menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Alana, kamu nggak usah sok polos begitu. Kita semua sudah tahu kalau kamu itu berbadan dua. Dasar gadis pezina, harusnya kamu nggak ada di sini!" teriak bapak berkumis itu. Dia adalah Pak Seto, salah satu orang kaya yang pernah mencintai Ranti dan kini menyimpan dendam yang terus membawa karena kerap mendapat penolakan.

"Gadis seperti dia merusak nama baik keluarga dan kampung kita. Lebih baik diusir atau hukum dia dengan membawanya keliling kampung tanpa busana," tambah yang lain lagi.

Gadis itu mundur selangkah, dia semakin ketakutan. Sebuah aib yang besar apabila dia harus keliling kampung tanpa busana. Dia lebih memilih mati bunuh diri daripada menanggung malu seumur hidup. Terutama ketika salah satu atau sebagian dari mereka merekam video dan menyebarkannya di sosial media. Sekarang zaman semakin canggih, meskipun Alana tidak mati dan mereka melupakan masalah itu, trtap saja akan terkuak suatu hari nanti.

Albian memang lelaki yang kejam. Selain mencoreng nama baik keluarga Alana, dia juga merusak gadis itu, kemudian membuangnya seperti sampah. Sebuah kesalahan yang besar telah jatuh cinta pada sosok sepertinya. Alana terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat keburukan dalam diri lelaki itu.

"Mama kamu mana? Masa anak gadisnya nggak bisa dijaga sampai bunting kayak gini. Makanya aku udah sering bilang sama dia, Alana itu harusnya dididik biar enggak leluasa ngajakin pacarnya berduaan di rumah. Nah, lihat sendiri mereka pasti kumpul kebo. Kalau nggak gitu, mana mungkin bisa hamil!" sahut Siti—tetangga jauh yang memang sudah terkenal dengan mulutnya yang pedas.

Alana mengatur napas agar rasa takutnya bisa ditepis. Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan, dia pun melipat kedua tangan di depan dada. "Maksud kalian apa? Siapa yang hamil? Siapa yang menyebar berita itu? Dzolim namanya menuduh orang lain, apalagi tidak ada bukti."

"Alah, kamu nggak usah mengelak, Na. Semua orang juga sudah tahu kalau kamu itu hamil. Lihat tuh muka kamu lebam, pasti gara-gara dimarahi Bu Ranti, 'kan? Udah gadis, tapi belum bisa menjaga diri. Keperawanan itu dijaga buat suami, jangan ditawarin ke pacar. Murahan!"

"Bu Siti tahu kalau menuduh orang berzina itu dosa besar? Hati-hati loh, menuduh orang tanpa bukti bisa dituntut pencemaran nama baik." Alana tersenyum kecut berusaha menjaga ekspresi agar tetap terlihat santai.

Mereka semua saling pandang kemudian menunjuk satu sama lain. Alana tersenyum pongah, ternyata mereka datang tanpa membawa bukti. Akhirnya, rasa takut gadis itu hilang tidak bersisa sedikit pun.

"Bapak-bapak sama ibu-ibu, lebih baik kalian pulang mengurus pekerjaan sama jagain anak sendiri. Nggak usah sibuk nyari gosip. Makanya mulut itu dijaga biar nggak suka menyebar berita buruk!" tambah Alana lagi.

Tiba-tiba Leha keluar dari sekumpulan massa itu, dia tersenyum sinis menatap merendahkan pada Alana. "Jangan terlalu percaya diri, Na. Kemarin aku dengar sendiri ibumu teriak kalau kamu itu hamil anak Albian. Lebih baik kamu jujur aja deh atau bawa kekasihmu itu ke sini. Harusnya kalian dibawa keliling kampung supaya ada efek jera. Kalau kita biarkan, pasti gadis-gadis lain juga kepengen. Ah, semoga saja anak aku nggak berteman sama gadis murahan seperti kamu."

Siti maju ke depan sambil berkacak pinggang berakhir menarik rambut Alana kasar. Wanita berumur 40 tahun itu tidak sadar kalau enam bulan lalu, anaknya juga menikah karena kecelakaan setelah menghamili pacarnya. Akan tetapi, saat itu Alana memilih diam karena sang ibu melarangnya menyebar berita sekalipun itu benar.

"Aw!" pekik Alana ketika pinggangnya dicubit dengan keras.

"Gadis kotor sepertimu harus kita bawa ke kantor sekarang atau kamu akan semakin ngelunjak!" Siti menyeret Alana, tetapi kemudian Ranti datang dengan napas tersengal.

"Lepaskan anakku, kalian nggak boleh menyebar fitnah begitu saja. Untung ada orang yang bocorin rencana kalian, kalau tidak, Alana bisa dipermalukan padahal tidak bersalah. Wajah Alana lebam begitu memang benar aku yang menghukumnya, tetapi bukan karena dia hamil. Alana terlalu malas membersihkan rumah bahkan mencari pekerjaan, jadi apakah salah kalau aku memukulinya?"

Mereka semua terdiam, tidak lama setelah itu langsung pulang karena Ranti mengusirnya dengan beringas bagai singa yang mengamuk. Hati Alana merasa lega, tetapi kembali terluka begitu melihat Albian berdiri tidak jauh dari rumahnya sambil menggenggam tangan seorang gadis yang sangat Alana kenal.

"Bukannya dia Bella?" monolog gadis itu dengan suara yang sangat pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status