"Dia bukan supirku. Zulkifli adalah putraku. Dia ternyata anakku bersama Ningsih. Zulkifli adalah janin yang ada di rahim Ningsih saat dia pergi karena ancaman ibuku itu. Aku bahagia sekali, Anggun. Rupanya aku memiliki seorang putra yang gagah. Jadi, uang 100 juta tak cukup untuk menebus ketidakbisaanku mendidiknya selama ini. Putraku hanya sedikit nakal."Jatuh tas branded yang ada di tangan Bu Anggun bersama wajahnya yang langsung putih pucat. Supir itu putra suaminya? Bagaimana bisa? Apakah ini sudah diatur? Siapa yang mengaturnya? Bayangan wajah Bu Nurul dan Bu Ningsih seperti sedang menertawakannya. "Besok pagi kita urus. Sore ini aku akan mengundang pelapornya ke rumah. Tolong bantu siapkan jamuan untuk mereka. Kemungkinan aku akan mengundang satu keluarga langsung.""Kalau begitu, aku akan bantu di dapur dan beres-beres, Mas. Sudah mau ashar sebentar lagi," ujar Bu Ningsih mencoba akan keluar. Rasanya masih sangat asing sekarang berduaan di kamar meskipun itu suaminya. "Tida
"Tidak perlu, Qiran. Di rumah ini, kamu bukan tamu apalagi pembantu. Kamu anakku, kamu akan menjadi menantu di sini. Jadi duduklah!" seru Pak Wahyu yang membuat Fadli sekeluarga terperanjat hebat. Apalagi Nilamsari, mendadak gelap pandangannya seketika. Terbuka mulut Qirani seperti huruf 0. Ia bahkan tidak tiba-tiba tidak tahu caranya duduk kembali. Mundur apa maju dulu. Ucapan Pak Wahyu membuatnya jiwanya melayang-layang ke awan. Bu Nurul yang mendengarnya semar mesem bahagia. Meskipun dia tidak tahu, apakah ucapan Wahyu itu sungguh-sungguh dari hatinya atau hanya ingin memanasi keluarga mantan suami Qirani. Bu Nurul pernah bercerita pada Pak Wahyu bagaimana perlakuan keluarga Fadli pada putrinya. "Mbak Nilam!" seru Nita melihat Nilam tidur di atas meja. Lengannya yang menjadi alas kepalanya. Setelah mendengar suara Nita barulah jiwa Qirani kembali ke bumi. Kaget lagi dia melihat Nilamsari pingsan. Bu Sita nampak cuek saja dengan kondisi menantunya. Namun dia tak punya tenaga kare
"Sekarang, kamu sudah siap menemui Mama?" tanya Pak Wahyu pada Bu Ningsih. Sebab, semenjak kemarin, Bu Ningsih belum mau menemui mertuanya. "Siap, Mas. Asalkan aku ditemani Zulkifli, insyaAllah siap.""Untuk apa menemuinya? Tidak perlu," ketus Zulkifli. Melihat respon putranya, Pak Wahyu hanya menghela napas. Ia tak bisa menyalahkan Zulkifli jika tak bisa menerima neneknya. Terlalu dalam belati yang dihujamkan ibunya dalam kehidupan istri dan putranya. "Nenekmu pasti sudah sangat tua, Nak. Kasihan jika kita tahan maaf untuknya. Maaf yang sekarang, saat kita masih di bumi jauh lebih berpahala. Kita harus bisa melapangkan dada untuk menerima nenekmu, Zul.""Papa tahu, kita menderita dalam perpisahan karena nenekmu. Demi Papa, maafkan nenekmu, Zul."Tak ada respon Zulkifli selain pasrah dibawa oleh ayahnya berjalan menuju kamar Bu Sari. Bahkan ketika sudah di kamar itu, Zulkifli pun enggan melihat neneknya. Sedangkan Bu Ningsih menangis sesegukan melihat kondisi mertuanya yang hanya
"Kamu cantik," ucap Zulkifli melihat Qirani yang sedang menatap langit yang begitu cerah. "Kamu juga tampan," sambut Qiran kikuk. Mereka sedang candle night dinner di atas gedung tertinggi yang tanpa atap. Sebuah fasilitas yang ditawarkan oleh hotel berbintang. Para pengunjung bisa menikmati makan malam yang berhiaskan lilin dan taburan bintang dari langit secara langsung. Lampu-lampu kuning temaram digantung dengan cantik di setiap pohon palem hias dan juga bunga-bunga cantik yang menjadi pagar sisi pinggir gedung. Bisa melihat pemandang kota dengan gemerlap kelap kelip suasana malam yang menjadi andalan hotel itu. "Kira-kira, mantan kita akan datang gak?" tanya Zulkifli serius. "Datang lah. Rugi kalau gak datang. Untuk mendapatkan makan malam di sini kan tidak sembarangan orang. Aku heran, kenapa Papa-mu sampai adakan acara makan malam segala dengan keluarga Fadli," sungut Qiran tak habis pikir."Biasanya berdasarkan pengalamanku sama dia, ya untuk menunjukkan kekuasaan dan keko
"Menikahlah denganku. Aku mencintai kamu tidak hanya di waktu sekarang, tapi sudah jauh lebih dulu saat kita masih remaja. Mau kan kamu, jadikan aku teman hidupmu selamanya, Qirani?"Sejenak hening di antara mereka. Tiba-tiba Qirani manyun, memonyongkan mulutnya. Zulkifli keheranan. Lagi ditembak kok cemberut gitu? Zulkifli melepaskan tangannya lalu mendorong bibir Qirani dengan telunjuknya sampai mundur ke belakang kepala Qirani. "Aaaihhhh!" seru Qirani menangkap telunjuk Zulkifli dan menepisnya. "Kenapa mulutmu macam ikan asin cucut?" tanya Zulkifli menjentik kening Qiran. "Haaaih sakit!" Qiran memukul lengan Zulkifli. Namun semua orang juga tahu jika melihat, pukulan itu adalah pukulan manja dan penuh perasaan. "Kenapa makanya?!""Karena aku kesal sih," timpal Qiran masih manyun."Ya Allah segitunya. Makanya aku gak mau ungkapkan perasaanku yang sebenarnya sama kamu sejak dulu, gini nih, malah dikeselin. Kamu gak tahu, butuh berapa lama aku punya nyali untuk mengaku."Kali ini
Mobil Zulkifli sudah berada Mall. "Sudah sampai. Ayo kita turun!" seru Zulkifli."Eittz! Tunggu dulu. Itu kan duit 25 juta. Kita berempat. Bagi dulu duitnya baru turun!" usul Bu Nurul antusias. "Naah ide bagus, Mbak," sambut Bu Ningsih setuju. "Iya, biar gak anak dua ini saja yang habiskan uang. Baju yang biasa 3 seratus ribu di pasar, dibeli mahal-mahal di sini," cerocos Bu Nurul. "Iiih Ibuk, baju apaan dapat 3 seratus ribu," ketus Qiran manyun. "Udah, kamu keluarin aja duitnya. Kita dapat masing-masing 5 juta. Nah sisa 5 juta pake makan enak-enak!" usul Zulkifli. "Aku setuju," sambut Bu Nurul. Bu Ningsih menyenggol putranya."Nanti kamu boleh pakai uang Mamak juga. Gak apa-apa, Zul.""Mamak beli lah sesuatu. Itu kan tujuan Papa. Nanti aku bantu carikan gamis-gamis oke biar Mamak makin cantik di depan Papa!""Iiih Mamak sudah tua juga, ngapain cantik-cantik," ucap Bu Ningsih malu. "Mama tetap cantik bagaimana pun dandanannya. Tapi supaya mengimbangi Papaku yang gagah, mestila
SCENE SAAT ZULKIFLI BARU SAMPAI DI RUMAH SAKITQirani melihat Pak Wahyu sedang bicara dengan Bu Ningsih juga ibunya. 'Mumpung sekarang di rumah sakit, aku harus membawa obat yang kemarin itu ke laboratorium. Dari kemarin gak sempat' batin Qirani. Ia langsung berdiri. "Kamu mau kemana, Qi?" tanya Zulkifli. "Mau ke depan. Ada urusan sedikit.""Kamu akan jadi istriku, Qi. Terbukalah secara detail."Qiran kembali duduk. Dari tasnya, dia mengeluarkan tablet obat yang sudah dia bungkus dengan tisu."Dua hari yang lalu, aku melihat Tari menukar obat nenekmu dengan obat ini. Lalu dia memberikan Bu Sari minum obat ini.""Mungkin itu memang sudah obatnya?" "Tapi gelagatnya mencurigakan. Aku ingin membawa obat ini ke laboratorium. Kita cek apa kandungannya dan untuk apa?""Okelah. Aku temani. Ayo!".... .... "Kapan bisa diambil hasilnya, Mbak?" tanya Qirani. "Besok pagi.""Baik."Qirani berbalik dan mendapati Zulkifli menerima panggilan. Setelah selesai, mereka bertatapan. Zulkifli memega
"Kamu dimana, Qi? Disuruh nemenin ibu tiriku, kok ngilang?" tanya Zulkifli via telepon. "Ya gimana aku gak kabur, dia ngusir aku!"Qiran menjawab sembari berjalan perlahan mendekati Zulkifli. Kebetulan Zulkifli menelpon di luar ruangan dan dia pun sudah dekat dengan ruangan perawatan Bu Anggun. "Iya sudah. Kamu dimana makanya itu?""Di hatimu, Sayang," jawab Qiran menahan senyum. "Duh duh duh! Kawin lari yuk!" kekeh Zulkifli merab4 tengkuknya karena terasa ada angin. Geli seperti ada yang tiup dengan lembut. "Ayok!"Refleks Zulkifli berbalik dan sudah mendapati Qiran di belakangnya. Alhasil, hidung Qiran yang tidak semancung dia jadi sasaran. Ditariknya hidung itu gemas. "Pinter ngerjain memang, ya!""Iiih! Aku gak mau mancung! Nanti banyak cowok yang mau! Cukup kamu aja yang mau sama aku!"Qiran merengek menjauhkan wajahnya sembari mengusap hidungnya yang terasa menyatu dan mengembang hampir bersamaan. Zulkifli tertawa. "Kamu bawa apa itu?" tanya Zulkifli menoleh ke arah goodie