Share

BAB 8

Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh!

"Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk.

"Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!"

"Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya.

"Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding.

"Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku.

Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan dengan mataku yang melihat jam. Sudah jam 1 malam dan detik terasa begitu lama. Zulkifli janji akan datang jam 2 dini hari.

Kleeeek!

Seperti akan meloncat jantungku mendengar suara pintu sedang dibuka. Itu pasti Si Kipli. Dia datang lebih cepat rupanya. Aku pura-pura tidur. Rencana kami, dia akan mengancam Mas Fadli untuk memberitahu dimana letak uangnya. Jika mentok Mas Fadli bungkam, Kipli akan mengacak rumah sampai ketemu tanpa sengaja uang yang di belakang foto habib.

Kraaak! Krrrassh!

Suara laci lemari di luar sedang dibuka. Apaan sih Kipli itu, kenapa dia membuang-buang waktu?! Harusnya dia langsung nodong Mas Fadli. Aku jadi bingung, mau bangunin Mas Fadli atau temui Zulkifli dulu. Setelah kupikir-pikir, aku memutuskan keluar dan menemui tamu yang sudah kuundang itu.

Aku langsung keluar dan menemukan seorang laki-laki yang membungkus seluruh wajahnya dengan topeng kain hitam. Persis seperti ninja. Dia sedang membawa pisau. Aduh gayamu Pli, macam perampok sungguhan. Mana pakai pisau betulan pula.

"Eiiih! Ngapain sih kamu obok-obok laci sih?!" seruku menahan suara, berbisik. Si Kipli refleks mundur seperti kaget sekali. Dia langsung menodong pisau di depanku. Aku malah berkacak pinggang dan balas melotot. "Apaan sih?! Nanti keburu ketahuan Mas Fadli. Cepat todong dia sekarang! Nanti aku pura-pura keluar dari kamar mandi, ya!" bisikku menunjuk ke arah kamar mandi.

Si Kipli mengikuti arah tanganku dan aku mendekatinya tanpa rasa takut. Kipli makin mundur tanpa bicara tapi pisaunya yang semakin maju dan mendekatiku.

"Hati-hati, Pli. Jangan sampai ada yang terluka! Kusunat kamu dua kali kalau ada setetes darah di antara kita yang jatuh. Sana! Sana bangunin Mas Fadli. Terus lanjutkan sesuai rencana, oke!"

Kutahan suaraku sekecil mungkin sembari menujukkan jempolku. Kutepuk pundaknya lalu mendorongnya. Nampak dari matanya Si Kipli kebingungan. Aku semakin mendorongnya agar segera masuk kamar tidur menemui Mas Fadli.

"Sana! Apaan sih! Biar kelar urusan. Inget apa kata-kataku tadi sore. Awas melenceng!" ucapku lagi sembari menunjuk ke arah foto habib.

Baru saja aku mau melangkah menuju kamar mandi, Mas Fadli sudah keluar kamar dan melihat kami. Si Kipli langsung menarik rambutku hingga aku terjerembab mundur. Aku sampai terkejut luar biasa. Jelas terasa sakit sekali apalagi saat lengan besar Kipli mencekikku. Kipli langsung menodong pisau itu ke arah leherku. Ya Allah, makin tak habis terkejutku. Luar biasa aktingnya. Awas saja, aku akan membalasmu Zulkifli Ibrahim!

"Ssi-ssiapa, kamu!" seru Mas Fadli langsung memucat panik.

"Tak perlu tahu siapa aku, tebus nyawa wanita ini!"

Aku hampir mati di tempat karena sangat terkejut. Yang barusan ku dengar bukan suaranya Zulkifli! Ya Allah!!! Pekik hatiku keras.

"A-apa maksdunya?! Lepaskan dia! Kami tidak punya harta, Mas! Ini juga rumah kontrakan. Rumah reot begini, kami mana ada uang!"

"Jangan bohong kamu! Cepat serahkan atau wanita ini akan mati."

"Maaaas," lirihku sangat ketakutan.

Mas Fadli panik luar biasa. Ia mencoba mendekat tapi leherku semakin dicekiknya sampai merah padam wajahku. Ya Allah, ternyata yang memasuki rumahku adalah perampok sungguhan! Bagaimana ini?!

"Serahkan seluruh uang yang kalian punya!"

"Tidak ada! Kami tidak punya apa-apa, Mas!"

"Bohong!" seru perampok itu menekan lengannya di leherku.

Aku dibuat mendongak ke atas hingga kerongkonganku terasa seperti tercekat hebat. Sampai keluar air mataku tiba-tiba karena sakitnya dan kesalnya, Mas Fadli bersikukuh tidak mau menyerahkan uangnya meskipun melihatku tersiksa begini.

"Lepaskan atau aku akan teriak dan orang-orang akan mendengarnya!" tawar Mas Fadli.

"Ya, kalau kamu mau istrimu mati langsung sekali tebasan!"

Perampok itu makin serius dan nampak tak ada rasa takut. Merinding seluruh bulu kudukku. Aku makin kesakitan dan kecewaku makin dalam karena Mas Fadli masih belum mau menyerahkan hartanya.

Tiba-tiba Mas Fadli masuk ke dalam kamar dan kembali dengan menunjukkan dompetnya yang usang. Ia membuka dompet itu dan memperlihatkan isinya yang hanya sekitar seratus ribu lebih. Si perampok itu menggeleng keras sembari menyeretku.

"Lepaskan!" teriakku kasar.

"Bergerak lagi, kusayat lehermu! Perempuan sinting!" umpatnya.

"Maaas!" teriakku tertahan. Kesal sekali, kenapa Mas Fadli tidak mengeluarkan uangnya sedangkan perampok ini membuatku semakin kesakitan?!

"Bawa ini!" seru suamiku.

"Siapa yang butuh uang 100 ribu, ha?! Berikan uang tabungan kalian! Tak mungkin tidak ada! Perhiasan juga!"

"Demi Allah, kami tidak punya simpanan perhiasan, Pak!" timpal Mas Fadli. Dan poin itu dia berkata jujur. Tidak ada satu pun perhiasan yang kumiliki.

"Kalau begitu uang! Kamu kan PNS, aku tahu! Tidak mungkin tidak ada uang. Jangan coba bohongi aku. Mati istrimu kubuat."

Mas Fadi hanya menggeleng keras. Sedangkan aku hampir mau pingsan karena kekurangan oksigen. Perampok itu kembali mengeratkan dekapan tangannya di leherku. Ledua tanganku di pilintir dan dikuasi salah satu tangannya. Karena aku lemah, begitu leluasa perampok itu mengganti lengannya dengan pisau di depan leherku.

Mas Fadli gelagapan. Aku berusaha menarik bernapasku kuat-kuat.

"Mmaaas ...," panggilku. Sempurna air mataku jatuh. Aku menangis bukan semata-mata karena sakit dicekik tapi lambatnya Mas Fadli mengambil keputusan. Dia lebih sayang pada uangnya!

"Jadi kamu gak mau serahkan uangmu?!" seru perampok.

"Aku gak punya uang, Pak! Jadi kalau sampeyan mau bawa apa saja, silahkan dibawa. Ada tabung gas, baju-baku, tivi, barang-barang di sini bisa sampeyan bawa."

"Ciiih itu sampah!" hentak perampok itu.

Aku sekarang pasrah. Rupanya Mas Fadli masih teguh. Karena sekarang pisau yang di depan leherku, aku berusaha mengeluarkan suara meski terisak.

"Mas, kasihlah uangnya, Mas. Aku takut."

"Kan ini! Mana ada lagi!" jawabnya dengan nada penuh amarah padaku.

Demi apa pun, dia sedang dusta. Sekarang aku benar-benar tahu, tidak ada hal yang bisa membuatnya jujur dan mengorbankan uangnya meskipun istri dan janin dalam kandunganku dalam bahaya.

"Ya sudah pak rampok, bunuh saja aku!" seruku menghentakkan kaki sedangkan dua tanganku masih dikuasainya. Aku kecewa sekali.

Perampok itu panik. Ia menarikku dan melototkan matanya.

"Perempuan cerewet! Bikin ribet!"

Perampok itu menoleh ke arah dompet Mas Fadli yang sudah berhamburan isinya.

"Ya sudah, 100 ribu itu boleh! Apes banget datangin rumah orang miskin!"

Mas Fadli langsung menyerahkan selembar uang merah itu lalu menangkap tubuhku yang lemas. Meski sudah bebas, tapi kecewa di hatiku tak terbendung. Perampok itu langsung menuju pintu keluar. Namun terdengar suara dentuman yang cukup keras.

Buuuugh!

Tubuh perampok itu terhuyung kembali masuk rumah dan jatuh di lantai. Kedua bola mataku membeliak melihat sekejap kemudian muncul sosok berpakaian hitam namun kali ini bertopeng sarung lusuh. Hatiku memekik keras. Aku langsung tahu siapa dia dari sorot matanya yang tajam. Batinku memekik.

'Zulkifli!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status