Share

BAB 7

Author: Rora Aurora
last update Last Updated: 2024-04-30 18:27:03

Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku.

"Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point.

"Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya.

Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu.

"Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali.

Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk?

Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku. Biarkan saja. Rasa suka dan benci seseorang tidak akan mempengaruhi kualitas hidupku jika aku tidak haus perhatian mereka. Aku harus terus belajar untuk tidak peduli karena akulah yang menguasai diriku, bukan orang lain.

Keesokan harinya, ketika Mas Fadli sudah berangkat ke kantor, aku mencoba memeriksa setiap kotak, laci, lipatan, tumpukan buku, kertas, di bawah meja kerjanya, di atas lemari, dan berbagai sisi yang memungkinkan uang untuk bisa disembunyikan. Namun nihil. Tidak ada uang. Dimana Mas Fadli menyimpan uangnya? Masa iya, di rekening semua?

Cukup lama, aku berpikir. Dimana ya? Sebab di dompetnya hanya lima puluh ribu dan setiap kali akan belanja, dia selalu masuk kamar. Bodohnya aku, sebelumnya aku tidak pernah mencoba mencari tahu. Lemas tubuhku sembari duduk di atas kasur. Mataku terus berputar mencari sesuatu di kamar ini yang bisa kucurigai.

"Duh, ya Allah dimana ya uangnya? Apa di bawah kasur? Eh?"

Aku melongo sendiri. Lalu dengan cepat aku menunduk dan melihat ke bawah kasur. Tidak ada. Aku hempas dan hampir putus asa. Tapi tiba-tiba seperti mendapatkan ilham, aku mengingat saat baru-baru tinggal di kontrakan ini, Mas Fadli melarangku untuk menyentuh foto habib terkenal yang ada di ruang tamu.

"Apa jangan-jangan?"

Aku langsung bergegas keluar dan mengambil kursi. Sekarang foto habib itu tepat di depan wajahku. Kuelus lembut dan kusingkirkan debu yang menempel di kaca foto itu. Setelah lebih bersih, perlahan kuangkat dan aku sangat terkejut sekali. Rupanya di belakang foto itu, bergantung dompet persegi panjang berwarna hitam. Mengental air liurku melihat benda itu seperti mengatakan hello padaku. Aku tau, pastilah isinya uang.

Kucabut dompet itu dan benar saja, langsung hijau mataku melihat uang lembaran merah-merah, dan biru. Aromanya wangi sekali di hidungku ini. Kupegang perutku.

"Nanti kamu jadi orang kaya ya, Nak!" seruku berbinar.

Dengan cepat, aku menghitung dan ternyata jumlahnya sepuluh juta! Waw! Kukipas-kipas uang itu merasakan sejuk angin yang menerpa wajahku. Kupandangi foto habib yang seperti tersenyum padaku, melihat tingkah konyolku. Aku menghayal uang ini diberikan dengan ikhlas oleh suamiku tapi itu hal yang mustahil. Pastilah Mas Fadli menyimpan uangnya di belakang bingkai foto habib, karena percaya habib membawa berkah. Aku mendecak-decak heran. Pantas saja bingkai foto ini nampak tinggi dan lebar, rupanya ada ruangan yang tebal untuk menyembunyikan harta berharganya.

Kreeeeeek!

Suara gerbang sedang di buka. Mataku langsung membeliak terkejut. Ini masih pagi dan Mas Fadli sudah pulang?

Seperti dikejar setan, aku segera memasukkan uang itu ke dalam dompet lalu mengembalikannya ke tempat semula. Untung aku mengunci pintu sehingga Mas Fadli tertahan di depan pintu. Suara ketukan dan salam sahut menyahut dan aku hanya diam saja dengan tangan gemetar. Seolah-olah suamiku ada di depanku.

"Qi! Qirani!!! Buka pintu!"

"Ii-iiya, Mas!" seruku segera turun dari kursi dan menuju pintu. Tapi aku ingat, kursi belum aku pindahkan. Kupukul kepalaku sendiri sembari mengumpat kesal.

"Sial! Otakku dimana?! Haaaih!" ocehku berbisik sendirian. Aku berlari kecil menuju kursi plastik itu lalu kukembalikan di tempatnya semula, di samping meja makan.

"Kamu ngapain sih, lama sekali! Buka! Aku haus ini!" teriak Mas Fadli.

"Maaf, Mas. Aku tadi kebelet pipis, tapi pas pipis ada yang keluar sedikit. Kayaknya aku salah makan," tuturku tak karuan ngawurnya.

"Ada saja kamu ini, penyakitan. Sudah dibersihkan? Menjijikkan."

Aku mengangguk. Dia lalu masuk ke ruang dapur. Menjijikkan katanya. Apa dia gak berpikir nanti setelah sama-sama lemah, ada yang merawat dan ada yang dirawat. Berarti jika aku sakit, dan butuh dirawat, berarti jijik dia ya membersihkan kotoran pasangannya? Bukankah cepat atau lambat, jika umur panjang, kita akan menemui masa menjadi lemah. Aku semakin ragu dan takut. Kupandangi foto habib itu dan dalam hatiku entah mengapa ada rasa sakit setelah dia mengatakan jijik.

"Belum masak kamu?"

"I-iya, belum, Mas. Aku belum lapar. Kan biasanya kamu pulang sore," timpal berusaha biasa saja. Padahal rencanaku, aku mau makan di luar, di warung nasi padang di depan. "Ngomong-ngomong kenapa kamu pulang cepat, Mas?" lanjutku.

"Aku mau ambil berkas, kelupaan. Oh ya, masakin aku mi," perintahnya keluar.

Bukannya melaksanakan perintah, aku justru mengikutinya dengan langkah selembut kapas. Aku mengintip di sela-sela pintu dan kulihat Mas Fadli menuju foto habib. Aku menutup mulutku karena terkejut. Takut sekali, dia menyadari ada yang berubah di dompetnya. Tiba-tiba suamiku menoleh ke samping, ke arah dapur dan jantungku seperti akan lepas dari tungkainya. Seolah-olah dia bisa melihatku dengan matanya yang tajam itu.

Kembali Mas Fadli melihat foto habib lalu memanjangkan tangannya, berjinjit, mengangkat foto itu. Dengan cepat ia meraih dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Lalu secepat kilat, dia mengembalikan kondisi seperti semula. Mas Fadli menyimpan uangnya di kantung dan masuk ke dalam kamar.

Aku langsung meluruhkan tubuhku karena masih lemas. Huuft. Semoga saja dia tidak menyadari. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Mas Fadli pasti akan kembali untuk mi pesanannya. Oh ya Allah, baru saja jantungku sedikit tenang, sekarang meloncat-loncat lebih kencang. Aku berlari kecil ke arah kompor dan menadah air dari keran. Waktu begitu sangat lambat rasanya sampai kudengar Mas Fadli bicara di belakangku.

"Loh! Belum matang?"

"Belum, Mas. Tadi gak bisa nyala apinya," ujarku berusaha setenang mungkin.

Mas Fadli memeriksa tabung gas.

"Ini masih banyak gasnya," ucapnya menolehku.

"Iya, Mas. Jadi aku coba perbaiki posisi selang regulatornya tadi. Syukurnya sekarang bisa," kilahku.

Hanya anggukan samar dari kepala suamiku itu. Dia duduk di kursi makan menunggu mi-nya matang sembari memainkan hp. Feelingku mengatakan, dia sedang mengambil uang untuk modalnya bertemu wanita simpanannya itu. Siapa namanya? Tilam apa Nilam? Ciih. Terlihat jelas di wajahnya. Baiklah, bagaimana kalau jatahmu hanya yang di kantungmu sekarang, Mas? Sebab malam ini, perampoknya akan kuundang, bisik hatiku menyeringai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   ENDING

    "Mas?! Kamu kenapa?!""Ni ... Nilam, Qiran. Dia pergi membawa bayi kami." "Maksudmu?!!" tanya Qiran langsung tegang. "Nilam kabur, Qiran!""Ooh ya, Allah...."Qiran menggigit bibirnya. Ia tahu, tidak mudah di posisi Nilam. Dia sudah merasakan di posisi wanita itu dan Nilam merasakan imbas yang terparah. Ternyata yang diucapkan Nilam waktu itu serius. ***"Aku ingin bercerai," ujar Nilam saat baru seminggu dia disecar. "Cerai?" tanya Qiran. "Iya. Kamu hebat bisa tahan 2 tahun, aku tak sampai setahun sudah habis jiwaku, Qiran.""Kamu yakin? Bayimu butuh ayahnya.""Bayiku lebih butuh ibu yang bahagia. Bukankah begitu?"Qiran diam. Sejak itu Nilam tak pernah bicara soal itu lagi. Dia mengira, Nilam tidak melanjutkan niat itu karena ia melihat Fadli sepertinya mulai lebih luwes pada istrinya. Setiap kali dia ke sana menjenguk Nilam, dia sudah menemukan aneka roti dan buah di dekat meja. Qiran mengira itu semua bisa meluluhkan perasaan Nilam. Tapi rupanya, dua bulan terlewati, wanita i

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 83

    Fadli terkejut tak mengerti. Alisnya yang mengkerut dengan kening berlipat-lipat itu menandakan dia heran. Nilam pun yang sedang menggendong bayinya juga ikut bingung. "Uangmu yang hilang di rekening sejumlah 63 juta itu, aku yang ambil. Jadi yang 2 jutanya anggap aku sedekah saja," ucap Qiran tanpa keraguan sedikit pun. "Bicara yang jelas, Qirani," ujar Fadli tegang. "Perlu aku ulang, Mas?" tanya Qirani dengan wajah biasa saja. Dddrrrrtt... Ponsel Qirani bergetar. Qiran mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar Fadli diam dulu. Pembawaan Qiran santai saja seolah-olah tidak ada beban. Sedangkan Fadli masih terbengong-bengong. "Ya, Yank. Ooh, oke deh. Tunggu dah sebentar lagi ... Gak, Yank. Nanti lah di Star Five aja, belum kucoba menu yang itu. Oke. Siap."Panggilan selesai. Nilam hanya tersenyum kecil. Itu pasti dari mantan suaminya. Luar biasa beruntung Qirani, hidup mewah, makan siang di hotel. Tapi sekarang Nilam tak mau iri lagi pada Qiran meski sakit itu jelas masih

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 82

    SCENE FLASH BACKNita dan Pak Hasan secara tidak sengaja mendengar percakapan dokter yang sedang merayu Fadli dan Bu Sita agar setuju Nilam dioperasi. Mendapati keduanya masih kekeh, Nita langsung menyeret tangan ayahnya menjauh. "Pak, yakin gak kalau kita rayu Mama dan Mas Fadli, mereka akan luluh?""Bapak sudah ngomong, kok tadi subuh sama Mamamu. Jika memang harus kakak iparmu dioperasi, ya bismillah aja. Tapi Mama mu malah menggerutu tak jelas.""Mas Fadli juga kok gitu banget sih, Pak. Aku merasa kasihan sama Mbak Nilam meskipun aku gak akur sama dia.""Fadli sama Mamamu sama-sama punya bibit kikir. Sudah berulang kali Bapak kasih tahu kalian bahwa kikir itu sulur rambatnya sudah ada di neraka. Siapa yang kikir atas hartanya, tinggal ditarik ke neraka oleh rambatannya. Macam sulur labu. Menjalar."Nita menggigit bibirnya. Ia punya ide tapi ia sendiri masih ragu. Namun daripada tidak dicoba sama sekali, lebih baik gagal. "Aku akan menghubungi Mbak Qiran, Pak. Mungkin Mbak Qiran

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 81

    "Ini bayinya kalau lahir, akan prematur. Usianya baru 24 minggu. Beratnya kurang sekali ini, Bu. Seperti berat janin usia 4 bulan. Janinnya kurang nutrisi ini. Ibunya malas makan, ya?!" cecar Bu Dokter yang langsung membuat jantung Nilam seperti dihantam batu besar. "Makan kok, Dok. Cuman sering muntah," sambung Fadli tak mau dikira istrinya tak makan. "Makan, Dok tapi nasi dan kepala ayam atau ceker ayam, bukan dagingnya," tambah Nilam penuh dendam. Dalam hatinya, kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya, ia akan membuat perhitungan yang besar dengan suaminya itu. "Ibu hamil itu harus makan yang bernutrisi tinggi. Malah perlu juga disokong dengan susu dan vitamin. Karena apa yang dimakan ibunya, itu yang dimakan janin."Bu Dokter langsung memberi intruksi. "Sus, siapkan suntik pematangan paru. Jaga-jaga kalau bayinya lahir," ujar Bu Dokter pada asistennya. "Baik, Dok."Suasana menjadi tegang. Bu Dokter kembali melihat layar. "Denyut jantung janin masih bagus. Saya akan bantu su

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 80

    "Apa?!" Suara Fadli agak ketus. Sebab, dia sedang merasa diganggu saat menatap mantan istrinya yang begitu sangat cantik jelita. "Perutku sakit sekali, Mas. Sakit sekali.""Sakit gimana maksudmu?""Ya sakit. Cekat cekit. Ta-taapi sekarang sudah hilang," lirih Nilam. "Kamu pasti shock melihat mantan suami kamu yang sekarang jadi anak konglomerat, kan? Perempuan matre kayak kamu pasti nyesel banget."Mendengar ucapan suaminya, Nilam hanya memandang sinis. Ia ingin menimpali tapi kembali lagi rasa sakit di perutnya menyerang. Sejenak dia bergeming. Ada apa ini? Apakah sudah waktunya dia melahirkan? Usia kandungannya baru lima bulan jalan enam. Dia tidak mau memiliki bayi yang tidak normal. Usaha dan perjuangannya sudah sangat jauh untuk janinnya. Nilam berusaha bernapas dengan teratur. "Ayo! Kita ucapkan selamat atas kemenangan mereka dan kekalahan pada kita, Nilam," lirih Fadli dari hatinya paling dalam. Nilam bergeming. "Ayo kita naik! Biar cepat makan!" seru Bu Sita. "Ayo, Nila

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 79

    "Jadi gimana, Fadli, kamu mau datang tidak ke acara resepsi mantan istrimu?"Fadli hanya diam. Benar-benar diam. "Biar kita berangkat bareng pake mobil. Mama akan sewa mobil khusus biar kelihatan mewah, sesuai dengan pesta yang akan kita datangi. Nanti kamu yang bayar tapi ya."Wuuushhh! Undangan tebal dan berbingkai ukiran timbul berwarna emas itu melayang dan jatuh. "Cukup ya, Ma! Cukup! Aku muak mendengar Mama yang mau terlihat hidup hedon padahal modal pun tak ada. Mama itu seperti sedang memerasku! Mama belum sadar-sadar juga? Seberapa besar dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh Mama! Mama yang jadi ibuku yang menyebabkan aku sampai cerai dari Qirani!""Loh, kok kamu jadi ngegas, Fadli? Mama cuman kasih tawaran aja. Masa sekedar sewa mobil kamu gak mampu?! Kan uang dari Pak Wahyu sampai 75 juta. Janganlah kikir banget!""Kikir?! Ya! Aku kikir dan pelit memang! Ini semua karena ajaran dari Mama! Mama yang suruh aku pelit kikir pada Qirani sehingga dia sampai gak betah jadi is

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status