Share

BAB 7

Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku.

"Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point.

"Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya.

Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu.

"Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali.

Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk?

Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku. Biarkan saja. Rasa suka dan benci seseorang tidak akan mempengaruhi kualitas hidupku jika aku tidak haus perhatian mereka. Aku harus terus belajar untuk tidak peduli karena akulah yang menguasai diriku, bukan orang lain.

Keesokan harinya, ketika Mas Fadli sudah berangkat ke kantor, aku mencoba memeriksa setiap kotak, laci, lipatan, tumpukan buku, kertas, di bawah meja kerjanya, di atas lemari, dan berbagai sisi yang memungkinkan uang untuk bisa disembunyikan. Namun nihil. Tidak ada uang. Dimana Mas Fadli menyimpan uangnya? Masa iya, di rekening semua?

Cukup lama, aku berpikir. Dimana ya? Sebab di dompetnya hanya lima puluh ribu dan setiap kali akan belanja, dia selalu masuk kamar. Bodohnya aku, sebelumnya aku tidak pernah mencoba mencari tahu. Lemas tubuhku sembari duduk di atas kasur. Mataku terus berputar mencari sesuatu di kamar ini yang bisa kucurigai.

"Duh, ya Allah dimana ya uangnya? Apa di bawah kasur? Eh?"

Aku melongo sendiri. Lalu dengan cepat aku menunduk dan melihat ke bawah kasur. Tidak ada. Aku hempas dan hampir putus asa. Tapi tiba-tiba seperti mendapatkan ilham, aku mengingat saat baru-baru tinggal di kontrakan ini, Mas Fadli melarangku untuk menyentuh foto habib terkenal yang ada di ruang tamu.

"Apa jangan-jangan?"

Aku langsung bergegas keluar dan mengambil kursi. Sekarang foto habib itu tepat di depan wajahku. Kuelus lembut dan kusingkirkan debu yang menempel di kaca foto itu. Setelah lebih bersih, perlahan kuangkat dan aku sangat terkejut sekali. Rupanya di belakang foto itu, bergantung dompet persegi panjang berwarna hitam. Mengental air liurku melihat benda itu seperti mengatakan hello padaku. Aku tau, pastilah isinya uang.

Kucabut dompet itu dan benar saja, langsung hijau mataku melihat uang lembaran merah-merah, dan biru. Aromanya wangi sekali di hidungku ini. Kupegang perutku.

"Nanti kamu jadi orang kaya ya, Nak!" seruku berbinar.

Dengan cepat, aku menghitung dan ternyata jumlahnya sepuluh juta! Waw! Kukipas-kipas uang itu merasakan sejuk angin yang menerpa wajahku. Kupandangi foto habib yang seperti tersenyum padaku, melihat tingkah konyolku. Aku menghayal uang ini diberikan dengan ikhlas oleh suamiku tapi itu hal yang mustahil. Pastilah Mas Fadli menyimpan uangnya di belakang bingkai foto habib, karena percaya habib membawa berkah. Aku mendecak-decak heran. Pantas saja bingkai foto ini nampak tinggi dan lebar, rupanya ada ruangan yang tebal untuk menyembunyikan harta berharganya.

Kreeeeeek!

Suara gerbang sedang di buka. Mataku langsung membeliak terkejut. Ini masih pagi dan Mas Fadli sudah pulang?

Seperti dikejar setan, aku segera memasukkan uang itu ke dalam dompet lalu mengembalikannya ke tempat semula. Untung aku mengunci pintu sehingga Mas Fadli tertahan di depan pintu. Suara ketukan dan salam sahut menyahut dan aku hanya diam saja dengan tangan gemetar. Seolah-olah suamiku ada di depanku.

"Qi! Qirani!!! Buka pintu!"

"Ii-iiya, Mas!" seruku segera turun dari kursi dan menuju pintu. Tapi aku ingat, kursi belum aku pindahkan. Kupukul kepalaku sendiri sembari mengumpat kesal.

"Sial! Otakku dimana?! Haaaih!" ocehku berbisik sendirian. Aku berlari kecil menuju kursi plastik itu lalu kukembalikan di tempatnya semula, di samping meja makan.

"Kamu ngapain sih, lama sekali! Buka! Aku haus ini!" teriak Mas Fadli.

"Maaf, Mas. Aku tadi kebelet pipis, tapi pas pipis ada yang keluar sedikit. Kayaknya aku salah makan," tuturku tak karuan ngawurnya.

"Ada saja kamu ini, penyakitan. Sudah dibersihkan? Menjijikkan."

Aku mengangguk. Dia lalu masuk ke ruang dapur. Menjijikkan katanya. Apa dia gak berpikir nanti setelah sama-sama lemah, ada yang merawat dan ada yang dirawat. Berarti jika aku sakit, dan butuh dirawat, berarti jijik dia ya membersihkan kotoran pasangannya? Bukankah cepat atau lambat, jika umur panjang, kita akan menemui masa menjadi lemah. Aku semakin ragu dan takut. Kupandangi foto habib itu dan dalam hatiku entah mengapa ada rasa sakit setelah dia mengatakan jijik.

"Belum masak kamu?"

"I-iya, belum, Mas. Aku belum lapar. Kan biasanya kamu pulang sore," timpal berusaha biasa saja. Padahal rencanaku, aku mau makan di luar, di warung nasi padang di depan. "Ngomong-ngomong kenapa kamu pulang cepat, Mas?" lanjutku.

"Aku mau ambil berkas, kelupaan. Oh ya, masakin aku mi," perintahnya keluar.

Bukannya melaksanakan perintah, aku justru mengikutinya dengan langkah selembut kapas. Aku mengintip di sela-sela pintu dan kulihat Mas Fadli menuju foto habib. Aku menutup mulutku karena terkejut. Takut sekali, dia menyadari ada yang berubah di dompetnya. Tiba-tiba suamiku menoleh ke samping, ke arah dapur dan jantungku seperti akan lepas dari tungkainya. Seolah-olah dia bisa melihatku dengan matanya yang tajam itu.

Kembali Mas Fadli melihat foto habib lalu memanjangkan tangannya, berjinjit, mengangkat foto itu. Dengan cepat ia meraih dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Lalu secepat kilat, dia mengembalikan kondisi seperti semula. Mas Fadli menyimpan uangnya di kantung dan masuk ke dalam kamar.

Aku langsung meluruhkan tubuhku karena masih lemas. Huuft. Semoga saja dia tidak menyadari. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Mas Fadli pasti akan kembali untuk mi pesanannya. Oh ya Allah, baru saja jantungku sedikit tenang, sekarang meloncat-loncat lebih kencang. Aku berlari kecil ke arah kompor dan menadah air dari keran. Waktu begitu sangat lambat rasanya sampai kudengar Mas Fadli bicara di belakangku.

"Loh! Belum matang?"

"Belum, Mas. Tadi gak bisa nyala apinya," ujarku berusaha setenang mungkin.

Mas Fadli memeriksa tabung gas.

"Ini masih banyak gasnya," ucapnya menolehku.

"Iya, Mas. Jadi aku coba perbaiki posisi selang regulatornya tadi. Syukurnya sekarang bisa," kilahku.

Hanya anggukan samar dari kepala suamiku itu. Dia duduk di kursi makan menunggu mi-nya matang sembari memainkan hp. Feelingku mengatakan, dia sedang mengambil uang untuk modalnya bertemu wanita simpanannya itu. Siapa namanya? Tilam apa Nilam? Ciih. Terlihat jelas di wajahnya. Baiklah, bagaimana kalau jatahmu hanya yang di kantungmu sekarang, Mas? Sebab malam ini, perampoknya akan kuundang, bisik hatiku menyeringai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status