Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku.
"Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point."Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya.Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu."Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali.Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk?Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku. Biarkan saja. Rasa suka dan benci seseorang tidak akan mempengaruhi kualitas hidupku jika aku tidak haus perhatian mereka. Aku harus terus belajar untuk tidak peduli karena akulah yang menguasai diriku, bukan orang lain.Keesokan harinya, ketika Mas Fadli sudah berangkat ke kantor, aku mencoba memeriksa setiap kotak, laci, lipatan, tumpukan buku, kertas, di bawah meja kerjanya, di atas lemari, dan berbagai sisi yang memungkinkan uang untuk bisa disembunyikan. Namun nihil. Tidak ada uang. Dimana Mas Fadli menyimpan uangnya? Masa iya, di rekening semua?Cukup lama, aku berpikir. Dimana ya? Sebab di dompetnya hanya lima puluh ribu dan setiap kali akan belanja, dia selalu masuk kamar. Bodohnya aku, sebelumnya aku tidak pernah mencoba mencari tahu. Lemas tubuhku sembari duduk di atas kasur. Mataku terus berputar mencari sesuatu di kamar ini yang bisa kucurigai."Duh, ya Allah dimana ya uangnya? Apa di bawah kasur? Eh?"Aku melongo sendiri. Lalu dengan cepat aku menunduk dan melihat ke bawah kasur. Tidak ada. Aku hempas dan hampir putus asa. Tapi tiba-tiba seperti mendapatkan ilham, aku mengingat saat baru-baru tinggal di kontrakan ini, Mas Fadli melarangku untuk menyentuh foto habib terkenal yang ada di ruang tamu."Apa jangan-jangan?"Aku langsung bergegas keluar dan mengambil kursi. Sekarang foto habib itu tepat di depan wajahku. Kuelus lembut dan kusingkirkan debu yang menempel di kaca foto itu. Setelah lebih bersih, perlahan kuangkat dan aku sangat terkejut sekali. Rupanya di belakang foto itu, bergantung dompet persegi panjang berwarna hitam. Mengental air liurku melihat benda itu seperti mengatakan hello padaku. Aku tau, pastilah isinya uang.Kucabut dompet itu dan benar saja, langsung hijau mataku melihat uang lembaran merah-merah, dan biru. Aromanya wangi sekali di hidungku ini. Kupegang perutku."Nanti kamu jadi orang kaya ya, Nak!" seruku berbinar.Dengan cepat, aku menghitung dan ternyata jumlahnya sepuluh juta! Waw! Kukipas-kipas uang itu merasakan sejuk angin yang menerpa wajahku. Kupandangi foto habib yang seperti tersenyum padaku, melihat tingkah konyolku. Aku menghayal uang ini diberikan dengan ikhlas oleh suamiku tapi itu hal yang mustahil. Pastilah Mas Fadli menyimpan uangnya di belakang bingkai foto habib, karena percaya habib membawa berkah. Aku mendecak-decak heran. Pantas saja bingkai foto ini nampak tinggi dan lebar, rupanya ada ruangan yang tebal untuk menyembunyikan harta berharganya.Kreeeeeek!Suara gerbang sedang di buka. Mataku langsung membeliak terkejut. Ini masih pagi dan Mas Fadli sudah pulang?Seperti dikejar setan, aku segera memasukkan uang itu ke dalam dompet lalu mengembalikannya ke tempat semula. Untung aku mengunci pintu sehingga Mas Fadli tertahan di depan pintu. Suara ketukan dan salam sahut menyahut dan aku hanya diam saja dengan tangan gemetar. Seolah-olah suamiku ada di depanku."Qi! Qirani!!! Buka pintu!""Ii-iiya, Mas!" seruku segera turun dari kursi dan menuju pintu. Tapi aku ingat, kursi belum aku pindahkan. Kupukul kepalaku sendiri sembari mengumpat kesal."Sial! Otakku dimana?! Haaaih!" ocehku berbisik sendirian. Aku berlari kecil menuju kursi plastik itu lalu kukembalikan di tempatnya semula, di samping meja makan."Kamu ngapain sih, lama sekali! Buka! Aku haus ini!" teriak Mas Fadli."Maaf, Mas. Aku tadi kebelet pipis, tapi pas pipis ada yang keluar sedikit. Kayaknya aku salah makan," tuturku tak karuan ngawurnya."Ada saja kamu ini, penyakitan. Sudah dibersihkan? Menjijikkan."Aku mengangguk. Dia lalu masuk ke ruang dapur. Menjijikkan katanya. Apa dia gak berpikir nanti setelah sama-sama lemah, ada yang merawat dan ada yang dirawat. Berarti jika aku sakit, dan butuh dirawat, berarti jijik dia ya membersihkan kotoran pasangannya? Bukankah cepat atau lambat, jika umur panjang, kita akan menemui masa menjadi lemah. Aku semakin ragu dan takut. Kupandangi foto habib itu dan dalam hatiku entah mengapa ada rasa sakit setelah dia mengatakan jijik."Belum masak kamu?""I-iya, belum, Mas. Aku belum lapar. Kan biasanya kamu pulang sore," timpal berusaha biasa saja. Padahal rencanaku, aku mau makan di luar, di warung nasi padang di depan. "Ngomong-ngomong kenapa kamu pulang cepat, Mas?" lanjutku."Aku mau ambil berkas, kelupaan. Oh ya, masakin aku mi," perintahnya keluar.Bukannya melaksanakan perintah, aku justru mengikutinya dengan langkah selembut kapas. Aku mengintip di sela-sela pintu dan kulihat Mas Fadli menuju foto habib. Aku menutup mulutku karena terkejut. Takut sekali, dia menyadari ada yang berubah di dompetnya. Tiba-tiba suamiku menoleh ke samping, ke arah dapur dan jantungku seperti akan lepas dari tungkainya. Seolah-olah dia bisa melihatku dengan matanya yang tajam itu.Kembali Mas Fadli melihat foto habib lalu memanjangkan tangannya, berjinjit, mengangkat foto itu. Dengan cepat ia meraih dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Lalu secepat kilat, dia mengembalikan kondisi seperti semula. Mas Fadli menyimpan uangnya di kantung dan masuk ke dalam kamar.Aku langsung meluruhkan tubuhku karena masih lemas. Huuft. Semoga saja dia tidak menyadari. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Mas Fadli pasti akan kembali untuk mi pesanannya. Oh ya Allah, baru saja jantungku sedikit tenang, sekarang meloncat-loncat lebih kencang. Aku berlari kecil ke arah kompor dan menadah air dari keran. Waktu begitu sangat lambat rasanya sampai kudengar Mas Fadli bicara di belakangku."Loh! Belum matang?""Belum, Mas. Tadi gak bisa nyala apinya," ujarku berusaha setenang mungkin.Mas Fadli memeriksa tabung gas."Ini masih banyak gasnya," ucapnya menolehku."Iya, Mas. Jadi aku coba perbaiki posisi selang regulatornya tadi. Syukurnya sekarang bisa," kilahku.Hanya anggukan samar dari kepala suamiku itu. Dia duduk di kursi makan menunggu mi-nya matang sembari memainkan hp. Feelingku mengatakan, dia sedang mengambil uang untuk modalnya bertemu wanita simpanannya itu. Siapa namanya? Tilam apa Nilam? Ciih. Terlihat jelas di wajahnya. Baiklah, bagaimana kalau jatahmu hanya yang di kantungmu sekarang, Mas? Sebab malam ini, perampoknya akan kuundang, bisik hatiku menyeringai.Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Aku menunggu Zulkifli mandi di masjid dekat pasar. Pria itu keluar dengan kondisi nampak jauh lebih segar dan sedikit basah di pakaiannya. Bentuk rahanya semakin keras, tatapannya tajam dan bulu-bulu di lengannya membuatnya sebenarnya gagah. Tapi karena panas matahari dan hidup lebih banyak di pasar, yang membuat rambutnya merah dan kulitnya menghitam tak terawat. "Kita ke danau, yuk!" ucapnya. Aku mengangguk. Selama perjalanan, pikiranku menimbang-nimbang. Untuk pertama kalinya aku keluar bersama pria lain, meskipun Zulkifli sahabat kentalku tetap saja jauh di lubuknhatiku ini, ada rasa bersalah pada Mas Fadli. Aku menghela napasku kuat-kuat karena sepertinya setiap sisi aku berat. Sekitar perjalanan 30 menit, kami sampai. Nampak agak sepi pariwisata danau ini. Sepertinya karena siang hari dan juga bukan hari libur. Aku duduk di warung lesehan yang menghadap pemandangan danau. Warung itu memiliki tempat yang berkotak-kotak memanjang, dipisah oleh pagar bambu. Jadi setiap tamu tida
"Anu ... telapak kaki istri saya lagi sakit, keseleo, Buk. Mau ganti tempat duduk, suasana baru. Kami makan di sana aja ya, nanti saya ambil makanannya," ujar Zulkifli yang membuat aku seperti kena serangan jantung mendengar ucapannya. Zulkifli sudah berdiri sedangkan aku masih gemetaran tak berani mengangkat tubuhku, bisa langsung kelihatan oleh penghuni kotak di sebelah. Kuharap Mas Fadli tidak keluar menyaksikan perbincangan ini. "Ooh gitu. Suami istri rupanya. Oke. Itu digendong aja istrinya daripada merayap macam tokek gitu.""Ii-iiya," jawab Zulkifli berjongkok dan langsung menyambar tubuhku. Diangkatnya tubuhku dengan cepat, seperti tubuhku ini hanya kapas di tubuh besarnya. Zulkifli terus berjalan memapahku. Sudah ... sudah habis napasku sekarang! "Tu-turunin," bisikku menekan suaraku sedemikian rupanya. Ya Allah, aku malu sekali. Zulkifli justru meremas pinggangku dan aku langsung membeliak marah. Tepat saat tanganku akan memukul apapun dari anggota tubuhnya, terdengar sua
"Kamu jangan menuduh suamimu begitu. Sudah rugi puluhan juta gitu, masih saja kamu berulah!""Kok aku terus sih yang disalahin, Ma?!Intinya aku katakan kebenaran bahwa uang yang hilang itu gak sebanyak itu," cerocosku. Mama mertua hanya mendelik. Ia memilih duduk di kursi yang tersandar di tembok."Aku gak percaya kamu. Bisa-bisanya uang puluhan juta kerampokan. Memang agak lain kalian ini," omel mama mertua dengan bibirnya yang melenceng kiri kanan. Aku hanya angguk-angguk saja. Habis-habiskan tenaga jika terus menimpali nenek ini. Biar saja dia ngomel sampai peot, yang penting uang itu sudah masuk kantongku. Hatiku menyeringai jahat. "Kamu gak suguhin mertuamu apa gitu?""Gak ada apa pun, Ma. Mas Fadli tidak ada stok teh atau kopi. Kalau mama mau minum air putih atau air gula, aku bisa buatkan sekarang." Yang kukatakan ini adalah kebenaran. Sebelumnya aku ikhlas hidup melarat selama dua tahun jarang minum enak sekedar teh, yang penting segera punya uang untuk beli rumah. Tapi se
"Misi belum bisa segera dijalankan, sebab partner belum balik dari Jakarta. Dia sedang jadi ajudan bos tambang. Seminggu lagi lah," ucap Zulkifli menyeruput kuah baksonya. "Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting motor itu bisa direbut," ucapku menggenggam erat-erat sendok garpu. Sedari tadi, tak ada satu pentolan bakso yang masuk dalam mulutku. "Tenang saja. Temanku itu perampok handal. Motong kepala orang juga sudah biasa."Astagfirullah. Aku langsung pegang dada. Ngeri kali. Biar aku marah sampai ke tulang sum-sum pada Mas Fadli, aku tak ingin sampai dia sampai celaka. Secepat kilat kutusuk tangan Si Kipli ini pakai garpu."Aaaakhhhh! Qiraaaani!" teriaknya kesakitan. Aku langsung pura-pura kembali mengaduk baksoku dengan garpu itu. Aku yakin banyak orang yang menoleh kami, biar saja. "Sinting, ya! Kalau sudah beneran tak waras oleh kelakuan suamimu, kubawa kamu ke RSJ sekarang! Haaaish dalam tusukannya ini. Wanita gila," omel Zulkifli dengan wajah merah padam. "Awas kalau sampai s
Aku lemas. Tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya air mataku saja yang jatuh tak tertahan. Bagaimana bisa ada penyakit itu dalam rahimku, Ya Allah? Zulkifli pun tak bereaksi ketika dokter mengucapkan vonis. "Pada kasus Anda, adanya kista pada ovarium dapat menjadi salah satu penyebab terbentuknya hormon hCG yang berarti bukan disebabkan oleh kehamilan. Hormon Hcg itu yang membuat alat tes kehamilan menjadi positif. Tentunya, karena benjolan ini memberikan gangguan pada organ reproduksi hingga menyebabkan tidak terjadi haid seperti orang hamil sungguhan," papar dokter itu tanpa ditanya. Dia pasti mengerti raut keherananku yang tak bisa diungkapkan. "Pe-penyakit apa ini, Dokter? Ap-apa ini mengancam nyawa?"Aku menoleh pada Zulkifli yang sedang bertanya. Dia mewakili ungkapan ketakutanku. "Kista adalah pembengkakan jaringan tubuh, yang di bagian dalamnya terdapat kantong berisi cairan. Namun, ada kalanya kista pecah dan menimbulkan gejala komplikasi serius. Itu sebabnya dibu