Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Aku menunggu Zulkifli mandi di masjid dekat pasar. Pria itu keluar dengan kondisi nampak jauh lebih segar dan sedikit basah di pakaiannya. Bentuk rahanya semakin keras, tatapannya tajam dan bulu-bulu di lengannya membuatnya sebenarnya gagah. Tapi karena panas matahari dan hidup lebih banyak di pasar, yang membuat rambutnya merah dan kulitnya menghitam tak terawat. "Kita ke danau, yuk!" ucapnya. Aku mengangguk. Selama perjalanan, pikiranku menimbang-nimbang. Untuk pertama kalinya aku keluar bersama pria lain, meskipun Zulkifli sahabat kentalku tetap saja jauh di lubuknhatiku ini, ada rasa bersalah pada Mas Fadli. Aku menghela napasku kuat-kuat karena sepertinya setiap sisi aku berat. Sekitar perjalanan 30 menit, kami sampai. Nampak agak sepi pariwisata danau ini. Sepertinya karena siang hari dan juga bukan hari libur. Aku duduk di warung lesehan yang menghadap pemandangan danau. Warung itu memiliki tempat yang berkotak-kotak memanjang, dipisah oleh pagar bambu. Jadi setiap tamu tida
"Anu ... telapak kaki istri saya lagi sakit, keseleo, Buk. Mau ganti tempat duduk, suasana baru. Kami makan di sana aja ya, nanti saya ambil makanannya," ujar Zulkifli yang membuat aku seperti kena serangan jantung mendengar ucapannya. Zulkifli sudah berdiri sedangkan aku masih gemetaran tak berani mengangkat tubuhku, bisa langsung kelihatan oleh penghuni kotak di sebelah. Kuharap Mas Fadli tidak keluar menyaksikan perbincangan ini. "Ooh gitu. Suami istri rupanya. Oke. Itu digendong aja istrinya daripada merayap macam tokek gitu.""Ii-iiya," jawab Zulkifli berjongkok dan langsung menyambar tubuhku. Diangkatnya tubuhku dengan cepat, seperti tubuhku ini hanya kapas di tubuh besarnya. Zulkifli terus berjalan memapahku. Sudah ... sudah habis napasku sekarang! "Tu-turunin," bisikku menekan suaraku sedemikian rupanya. Ya Allah, aku malu sekali. Zulkifli justru meremas pinggangku dan aku langsung membeliak marah. Tepat saat tanganku akan memukul apapun dari anggota tubuhnya, terdengar sua
"Kamu jangan menuduh suamimu begitu. Sudah rugi puluhan juta gitu, masih saja kamu berulah!""Kok aku terus sih yang disalahin, Ma?!Intinya aku katakan kebenaran bahwa uang yang hilang itu gak sebanyak itu," cerocosku. Mama mertua hanya mendelik. Ia memilih duduk di kursi yang tersandar di tembok."Aku gak percaya kamu. Bisa-bisanya uang puluhan juta kerampokan. Memang agak lain kalian ini," omel mama mertua dengan bibirnya yang melenceng kiri kanan. Aku hanya angguk-angguk saja. Habis-habiskan tenaga jika terus menimpali nenek ini. Biar saja dia ngomel sampai peot, yang penting uang itu sudah masuk kantongku. Hatiku menyeringai jahat. "Kamu gak suguhin mertuamu apa gitu?""Gak ada apa pun, Ma. Mas Fadli tidak ada stok teh atau kopi. Kalau mama mau minum air putih atau air gula, aku bisa buatkan sekarang." Yang kukatakan ini adalah kebenaran. Sebelumnya aku ikhlas hidup melarat selama dua tahun jarang minum enak sekedar teh, yang penting segera punya uang untuk beli rumah. Tapi se
"Misi belum bisa segera dijalankan, sebab partner belum balik dari Jakarta. Dia sedang jadi ajudan bos tambang. Seminggu lagi lah," ucap Zulkifli menyeruput kuah baksonya. "Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting motor itu bisa direbut," ucapku menggenggam erat-erat sendok garpu. Sedari tadi, tak ada satu pentolan bakso yang masuk dalam mulutku. "Tenang saja. Temanku itu perampok handal. Motong kepala orang juga sudah biasa."Astagfirullah. Aku langsung pegang dada. Ngeri kali. Biar aku marah sampai ke tulang sum-sum pada Mas Fadli, aku tak ingin sampai dia sampai celaka. Secepat kilat kutusuk tangan Si Kipli ini pakai garpu."Aaaakhhhh! Qiraaaani!" teriaknya kesakitan. Aku langsung pura-pura kembali mengaduk baksoku dengan garpu itu. Aku yakin banyak orang yang menoleh kami, biar saja. "Sinting, ya! Kalau sudah beneran tak waras oleh kelakuan suamimu, kubawa kamu ke RSJ sekarang! Haaaish dalam tusukannya ini. Wanita gila," omel Zulkifli dengan wajah merah padam. "Awas kalau sampai s
Aku lemas. Tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya air mataku saja yang jatuh tak tertahan. Bagaimana bisa ada penyakit itu dalam rahimku, Ya Allah? Zulkifli pun tak bereaksi ketika dokter mengucapkan vonis. "Pada kasus Anda, adanya kista pada ovarium dapat menjadi salah satu penyebab terbentuknya hormon hCG yang berarti bukan disebabkan oleh kehamilan. Hormon Hcg itu yang membuat alat tes kehamilan menjadi positif. Tentunya, karena benjolan ini memberikan gangguan pada organ reproduksi hingga menyebabkan tidak terjadi haid seperti orang hamil sungguhan," papar dokter itu tanpa ditanya. Dia pasti mengerti raut keherananku yang tak bisa diungkapkan. "Pe-penyakit apa ini, Dokter? Ap-apa ini mengancam nyawa?"Aku menoleh pada Zulkifli yang sedang bertanya. Dia mewakili ungkapan ketakutanku. "Kista adalah pembengkakan jaringan tubuh, yang di bagian dalamnya terdapat kantong berisi cairan. Namun, ada kalanya kista pecah dan menimbulkan gejala komplikasi serius. Itu sebabnya dibu
KEJADIAN SEBELUMYA DI KEDIAMAN ZULKIFLI"Sudah jam 10 malam ini, Nilam. Mau kemana kamu?""Ke warung," jawab Nilam ketus. "Kamu baru saja sampai, masa ke warung lagi.""Suka-suka akulah, Mas. Kamu kok ngatur?!""Loh! Aku harus ngatur kamu, dong! Aku kan suami kamu, Nilam.""Kalau mau ngatur aku, kasih aku duitlah. Ini kok ngasih uang ke istri macam ngasih jajan anak SD. 50 ribu sehari, itu harga makan siang aja, Mas!"Zulkifli meraih pundak istrinya. Ia mencengkram kencang dan menatapnya nyalang. Namun Nilam tentu saja jauh lebih berani. Ia tidak suka hidup sederhana, penuh cinta, apa itu?! Tidak membuatnya merasa beruntung memiliki suami seperti Zulkifli. Apalagi pria itu sekarang jauh dari kata tampan dan gagah seperti saat dulu kenal. "Kemarin saat aku ikut proyek, aku kasih kamu semua uang yang aku punya, Nilam. Sampai ratusan juta! Apa lagi?! Seharusnya kamu bisa nyimpan sebagai istri. Mengapa kamu tidak bisa mengerti, bahwa tidak selamanya kita akan ada! Bagaimana kamu bisa me
"Malam ini, aku sudah ceraikan istriku, Qi. Dia yang memaksaku untuk menceraikannya."Seketika aku langsung pias. Itu artinya, Nilam sudah jadi janda. Mas Fadli? Apa Suamiku sedang menemui wanita itu sekarang?! Aku langsung gemetar. "Assalamu'alaikum! Qirani!"Oh Ya Allah, itu suara Mas Fadli. Ada perasaan lega dalam hatiku. Tak peduli panggilan Zulkifli masih berlangsung, aku langsung menghambur menemui suamiku. Kutekan saja tombol off. "Mas," sapaku. "Ya. Kukira sudah tidur. Asik betul kamu main hp. Mentang-mentang sudah ada kuota sekarang."Aku lega, Mas Fadli pulang. Berarti dia tidak bertemu Nilam. Sekarang aku tidak tahu mau memulai darimana. Perkara operasi pengangkatan itu, siapa lagi yang bisa kuandalkan sekarang kalau bukan suamiku. Kutarik napasku dalam-dalam. Aku masih istrinya, harusnya aku tidak ragu. Ini tentang hak dan kewajiban. Yah, benar. Aku berhak mendapatkan jaminan kesehatan darinya dan dia berkewajiban menunaikannya. Salah jika aku bawa perasaan di sini. Aku