Enzo berdiri membeku di tempatnya, matanya membelalak, tidak bisa memproses informasi yang baru saja ia dengar. Amora adalah adik Aiden Ardheon. Fakta itu bagaikan palu godam yang menghantam kepalanya, menghancurkan semua asumsi dan keyakinan yang selama ini ia pegang. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah lelucon yang buruk.“A-apa? Nggak mungkin,” sangkal Enzo, suaranya bergetar. Wajahnya pucat pasi, ekspresi syok yang mendalam terlukis jelas. Ia menatap Amora, lalu ke Faris dan Jericho secara bergantian. “Kalian pasti lagi nge-prank saya, kan? Kalian sengaja mengarang cerita supaya saya menyesal sudah menceraikan Amora, kan? Iya, kan?” Ia menuduh Faris dan Jericho bersekongkol dengan Amora hanya demi mengerjainya.Jericho membalas tatapan Enzo dengan tenang. Senyum tipis yang penuh kemenangan terukir di bibirnya. “Bohong? Kalau begitu, silakan cari sendiri faktanya!” ujarnya santai. “Nggak sulit buat dapat infonya, kok. An
Enzo, dengan senyum lebar yang terlihat aneh di wajahnya, berdiri di hadapan Amora dan Faris. Matanya berbinar, ia baru saja menemukan sebuah teka-teki yang berhasil ia pecahkan. Sementara itu, Faris mengerutkan alisnya, mencoba memahami situasi absurd yang sedang ia hadapi. Di sampingnya, Amora terlihat sangat kesal.“Faris, ada apa?” Amora bertanya, suaranya terdengar lelah.Belum sempat Faris menjawab, Enzo sudah lebih dulu menyambar dengan penuh semangat yang berlebihan. "Jelas mau ketemu kamulah, Ra!" sahut Enzo, matanya berbinar-binar penuh kegirangan. “Ayo, cepat jelaskan sama berondong kamu ini, tentang status pria yang ada di samping kamu!”Enzo menunjuk Jericho dengan jari telunjuknya, baru saja berhasil mengungkap sebuah rahasia besar. Jericho, di sisi lain, hanya berdiri tegak, dengan ekspresi datar yang tidak goyah. Faris menoleh ke arah Jericho, lalu kembali menatap Enzo dengan tatapan bingung. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa pria di depannya ini begitu bersemangat
Dengan tatapan mata yang tajam dan penuh perhitungan, Enzo menelisik setiap inci penampilan Jericho. Sebuah seringai tipis mulai terbentuk di sudut bibirnya, menandakan bahwa sebuah ide licik sedang berputar di benaknya. "Ah, saya ingat!" serunya tiba-tiba, jarinya menunjuk ke arah Jericho dengan nada penuh kemenangan. "Anda, orang yang pernah ketemu saya bersama dengan bos Amora, kan?" tebaknya, memecahkan sebuah misteri besar yang selama ini mengganjal pikirannya.Jericho, yang sedari tadi hanya mengamati interaksi antara Enzo dan Amora dengan ekspresi datar, kini mengalihkan pandangannya sepenuhnya kepada Enzo. Sorot matanya dingin dan menusuk, tanpa sedikit pun menunjukkan keterkejutan atau emosi lainnya. "Ya, itu saya," Jericho menjawab singkat dengan suara tenang namun berwibawa, meremehkan Enzo dan menganggapnya gangguan. Konfirmasi itu membuat Enzo semakin yakin pada dugaannya, didorong rasa cemburu. Ia mengamati gelagat Amora yang gelisah di samping Jericho, dan senyum sin
Amora menatap kosong ke luar jendela kafe, membiarkan kebisingan kota larut dalam benaknya. Namun, satu suara yang dikenalnya, satu suara yang dulu begitu ia puja, kini hanya menciptakan gelombang kekesalan di dalam dadanya. Suara itu adalah suara Enzo, mantan suaminya. Pria yang pernah ia anggap sebagai sosok sempurna.“Kenapa, Ra? Kenapa kamu diam saja?” Enzo bertanya, suaranya terdengar cemas dan penuh penyesalan yang terlambat.Amora membalikkan pandangannya, menatap Enzo dengan mata dingin. “Aku hanya teringat betapa bodohnya aku dulu,” jawabnya pelan, tetapi setiap kata terasa seperti tamparan keras bagi Enzo. “Aku benar-benar buta. Aku pikir kamu adalah segalanya. Bertanggung jawab, baik, santun. Ternyata semua itu hanya topeng.”Enzo menelan ludah. Wajahnya yang dulu selalu terlihat percaya diri, kini tampak layu. “Aku tahu aku salah, Ra. Tapi aku sudah berubah. Aku benar-benar menyesal.”Amora tertawa sinis. “Berubah? Kamu tahu, Zo? Sejak kapan kamu berubah? Sejak kamu meliha
Mulut Amora menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari Enzo. Sebuah kalimat pendek, "Mas... kangen kamu," yang diucapkan dengan nada genit yang tidak pada tempatnya. Ia menatap Enzo, yang kini tersenyum sumringah, seolah-olah ia baru saja mengatakan hal paling romantis di dunia. Enzo, seperti yang ia kenal, hanya akan menunjukkan ekspresi dan gestur tubuh seperti itu ketika ia sedang menginginkan sesuatu darinya. Dan Amora sudah sangat hafal akan hal itu. Baginya, senyum Enzo kini terasa seperti topeng, menyembunyikan motif tersembunyi."Sehat, Zo?" tanya Amora, suaranya datar, tanpa emosi.Seketika, senyum Enzo luntur. Matanya terbelalak, seolah-olah ia baru saja ditampar. "A-apa? Kamu barusan panggil Mas dengan sebutan apa, Ra?" tanyanya, nada suaranya sedikit syok."Zo. Enzo," jawab Amora tak acuh, kembali fokus pada barang-barang di meja kasir. "Nama kamu memang Enzo, kan?" lanjutnya, seolah-olah ia sedang berbicara dengan orang asing.Enzo bergidik, m
Suara pintu yang terbuka dengan kasar mengoyak keheningan sore. Diiringi derap langkah yang menggebu dan napas yang memburu, sebuah teriakan menggema, "Livy! Di mana kamu?!"Livy yang sedang merebahkan diri di kamarnya, tersentak kaget. Jantungnya berdebar, merasakan getaran amarah yang kuat dari suara itu. Dia bangkit dari ranjang, merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, lalu dengan langkah ragu membuka pintu.Di ruang tengah, sang Ayah, Pak Brata, berdiri dengan wajah merah padam, urat-urat di lehernya menegang. Di sampingnya, Bu Sofwa, istri baru Pak Brata, menatap suaminya dengan bingung. Wajahnya yang biasanya ramah kini dipenuhi tanda tanya."Ada apa, Bang? Kok, pulang-pulang malah marah-marah?" tanya Bu Sofwa, suaranya lembut, mencoba menenangkan.Pak Brata mengabaikan pertanyaannya. Tatapannya hanya tertuju pada satu orang. "Mana Livy?" ulangnya, suaranya terdengar lebih menuntut."Livy ada di kamar, Bang. Memangnya, ada apa, sih?" Bu Sofwa mengerutkan alisnya. "Apa mantan su