Melly"Tante, kenapa tidak mau menikah dengan ayahku. Apa ayahku terlalu jelek sehingga tante tidak mau menjadi istrinya?" tanya Aldo memelas.Bukan aku tidak mau menjadi istri dari pak Abdi. Tapi bagaimana ya? Pak Abdi sendiri tidak pernah membahas masalah itu. Masak aku duluan yang harus nyosor beliau? Dimana harga diri aku sebagai wanita. Walaupun seorang janda aku juga punya harga diri. Tidak mudah obral sana sini."Tante tidak bisa menikah dengan polisi. Tante takut melihat lelaki berseragam coklat. Bisa-bisa Tante pipis di celana karena ketakutan," ujarku berbohong. Pak Abdi hanya melihat sekilas saja, kemudian melempar pandangannya keluar kamar hotel. "Ayah Aldo tidak jahat, Tante. Ayolah Tante menikah dengan ayah Aldo. Kalau tidak mau, Aldo bunuh diri!" Ancam bocah lima tahun itu. Kemudian dia berlari ke luar penginapan. Baru saja sampai penginapan dia sudah banyak drama, padahal capeknya saja belum hilang."Aldo!" Teriak pak Abdi seraya mengejar jagoannya yang hendak menyebe
Tiga bulan telah berlalu. "Kak, tadi malam pak Bayu melamar kakak untuk menjadi istrinya. Beliau sangat menginginkan kakak menjadi ibu sambung bagi putra semata wayangnya," ujarku pada kakak ipar yang sedang membuat sarapan untuk sekeluarga. "Kamu jawab apa?" tanyanya seraya terus mengaduk nasi diatas penggorengan. "Bayu belum berani membuat keputusan. Semua keputusan Bayu serahkan kepada Kakak. Kan yang menjalani rumah tangga bersama pak Abdi, Kakak. Bukan Bayu," ujarku seraya duduk diatas kursi meja makan Pagi-pagi aku telah bertandang ke rumah mertua untuk menyampaikan berita gembira ini. Menurut aku sih kabar gembira. Karena akhirnya kak Melly dilamar oleh pak Bayu yang merupakan seorang perwira polisi. Setelah rumah kami selesai dibangun, kami bertiga pindah ke rumah baru. Sementara kak Melly dan ibu mertua tetap bertahan di rumah sewa, begitu juga pak Abdi. Jadi mereka tetap bertentangga sampai sekarang. "Kakak tidak mau, Bay. Kakak masih betah menjanda," jawab kak Melly.
"Dasar benalu. Menantu tidak berguna! Seharusnya kamu ngaca. Anak saya tidak pantas menikah dengan kamu!" Teriak mertua saat melihat aku masih di kamar. Beliau berdiri di pintu bilik sembari berkacak pinggang, dengan mata melotot bagaikan singa kelaparan yang siap menerkam mangsanya."Maaf, salah saya apa, Bu?""Kamu tidak tau dimana salahmu? Makanya ngaca, Kau ... ngaca?" Begitulah omelan yang setiap hari aku dengar dari mulut ibu mertua. Membuat kupingku selalu panas dan emosiku sangat membara. Sebagai seorang laki-laki aku merasa harga diriku sudah diinjak-injak."Ibu selalu saja menghina dan memaki saya. Emang saya ada salah apa?" Sudah bosan rasanya diri ini dimaki-maki oleh mertua, aku bagaikan sampah di matanya."Tidak perlu dijelasin. Manusia otak udang kayak kamu tidak akan faham apa-apa." Hinaan demi hinaan terus dilancarkan untukku."Bu, apa gunanya ibu marah-marah sementara saya tidak tau salah saya dimana?"Sudah lelah berlemah lembut dengan mertua tapi tidak a da gunanya
"Keluar kau dari rumahku. Aku tak sudi mempunyai menantu tidak berguna seperti kamu. Kalau mau makan gratis, bukan disini tempatnya." Ibu mertua mendorong tubuhku ke depan halaman rumah. Bruk Tubuhku jatuh tersungkur, untung bibir tidak mengenai sudut teras rumah. Semua mata menatapku penuh dengan kehinaan. Sakit tubuh ini tidak sebanding dengan rasa malu karena diperlakukan tidak manusiawi. "Ibu ..." Naya menangis tersedu melihat sang ibu begitu tega mendorong tubuh suaminya hingga tersungkur ke tanah. "Gak apa, Nay. Mas pantas diperlakukan begini!" ujarku menengahi. "Saya akan pergi dari rumah ini. Maafkan segala kesalahan saya selama ini." Ujarku seraya menangkupkan kedua tangan di dada, memohon maaf karena sudah menyusahkan keluarga ibu mertua selama ini. "Mas, jangan pergi!" Naya menahan lembut tubuh ini yang hendak masuk ke kamar untuk membereskan baju. Untuk apa bertahan sementara mereka membenci. Bagaimana pun berusaha menjadi menantu baik, tetap saja tidak di anggap. T
"Jadi kamu menuduh suamiku gonta ganti pasangan? Halah ... paling kamu itu iri sama aku kan? Makanya cari suami yang bisa dibanggakan jangan kayak suami sampah mu itu." ejek kak Melly dengan begitu percaya dirinya.Padahal kelakuan lelaki yang berstatus abang iparku itu, sangat buruk diluar sana."Semoga Kakak gak malu jumpa Naya, jika mengetahui bagaimana mas Andre yang sebenarnya." sindir Naya. Nampaknya perselisihan kakak beradik ini harus segera dihentikan. Aku tidak ingin terjadi konflik diantara mereka berdua."Apa maksudmu, Nay!" Kak Melly mendorong tubuh Naya sehingga wanitaku jatuh terjerembab ke tanah. Di luar para tetangga sudah mulai berkumpul untuk melihat perseteruan kakak beradik tersebut."Nay ... kamu jangan memfitnah Kakakmu ya! Heran ibu lihat. Maumu apa sih. Biar Melly bernasib buruk seperti kamu juga? Atau jangan-jangan benar kata Melly. Kamu itu iri terhadapanya!" Ibu mertua bukannya menengahi pertikaian anak-anaknya, malah mengompori dan hanya berpihak sebelah s
"Tolong ... tolong." Dari kejauhan terdengar suara seseorang minta tolong. Naya menatapku dengan wajah pucat pasi, nampaknya dia sangat ketakutan."Mas, kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini tidak aman bagi kita." Naya menarik paksa tanganku untuk segera menjauh pergi dari sini.Belum selesai Naya berbicara tiba-tiba datang seorang bapak tua menghampiri kami yang masih terpaku di taman kota."Nak, bisa minta tolong?" Seorang bapak tua dengan pakaian compang camping datang dengan tergopoh-gopoh, beliau menjumpai kami berdua yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi."Insya Allah, jika kami mampu, pasti akan kami bantu," ujar Naya sambil menyuruh si bapak itu untuk duduk. "Saya dirampok dan ponsel untuk menghubungi anak saya pun diambil oleh mereka." ujarnya sendu.Tubuhnya gemetar terlihat bulir bening menetes membasahi kedua pipinya."Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku dengan menatap manik mata tuanya."Saya gak tau mau pulang kemana, Nak. Nomor ponsel anak saya pun
"Assalamualaikum." Seorang wanita paruh baya dan seorang wanita masih muda berhamburan memeluk pak Herman yang sedang tergolek lemas diranjang pasien. "Papa kenapa bisa terjadi begini. Huhuhu." Wanita berjilbab maroon memeluk dan menangis terus seakan tidak mau melepaskan Pak Herman. Kurasa beliau istrinya."Papa ... mana yang sakit, Pa." Wanita muda berambut golden brown juga ikut menangis sambil terus meracau entah apa yang dikatakannya. Kaki pak Herman dipijat."Ini sakit, Pa?""Gak, Nak. Papa tidak mengalami cedera kok. Cuma syok aja. Untung aja ada nak Bayu yang menolong Papa. Kalo gak entah bagaimana nasib Papa sekarang." Kata pak Herman sambil berusaha bangkit dari tidurnya dan bersandar di dinding ranjang pasien."Bayu. Naya. Sini, Nak!" Pak Herman melambaikan tangannya kearah kami berdua yang masih duduk diatas sofa kamar pasien. Sebenarnya aku tidak suka terlalu berlebihan dipuja puji begini. Aku jadi salah tingkah dengan segala sanjungan dari pak Herman.Empat pasang mata
"Terima kasih, Pak. Sudah menerima saya menjadi salah satu karyawan Bapak." ucapku sambil menangkupkan tangan di depan dada sebagai wujud rasa terima kasihku dan penghormatan atas kebaikan pak Herman."Sama-sama, Bay. Semoga kamu betah bekerja dengan saya." "Tentu, Pak. Tentu saya sangat betah kerja disini. Saya tau saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Pengalaman dalam bekerja pun saya sangat minim. Suatu kehormatan saya diterima disini. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak." Aku bangkit dan berdiri seraya membungkukkan tubuh ini."Bapak berharap kamu bisa bekerja dengan rajin dan tidak curang.""Tentu, Pak. Saya berjanji akan terus berusaha dan belajar. Saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak yang sudah menerima saya bekerja disini." Lanjutku lagi. "Harus ... kamu jangan buat saya kecewa. Walaupun belum berpengalaman kamu bisa membuktikan jika kamu lebih dari yang lain.""Baik, Pak." jawabku antusias. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini, bercampur aduk a