SH*T.
Bisa-bisanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Nilam.
“B*ngsat!” maki Bara kesal.
Fadlan dan Edo saling beradu pandang. “Gue yakin gara-gara putus dari si Cindy dia jadi gila beneran,” desis Fadlan sambil memasukkan barang-barang aneh yang dibeli Bara ke dalam plastiknya.
“Kayaknya gitu.” Edo mengangguk setuju. “Gue nggak nyangka dia secinta itu sama Cindy.”
Putra tidak mampu berkomentar lagi. Ia sendiri menatap ngeri sosok sahabatnya yang sekarang benar-benar terlihat aneh.
“Eh, Mas Bara sudah datang?!” Lengking suara Putri terdengar riang. Dengan gaun berwarna merah muda, dan rambut terurai sepunggung, gadis itu berjalan di antara meja-meja yang dipenuhi pengunjung restorannya.
“Hhhh, kita dari tadi di sini nggak disambut begitu tuh! Memang keadilan hanya untuk yang good looking,” gerutu Fadlan yang hanya mendapat lirikan sekilas dari Putri.
Tanpa diminta lagi, Putri langsung duduk di samping Bara, bergelayut manja seperti yang selama ini ia lakukan.
“Hus! Dia lagi sensi. Jangan ganggu,” ujar Putra seraya menarik lengan Putri.
“Ish, kenapa sih?!”
“Dia baru putus dari Cindy, Put. Jangan deket-deket, nanti kamu dimakan. Lebih baik duduk di samping Mas Edo sini, atau dipangkuan Mas juga boleh.”
Pletak!
Putra melempar sumpit di hadapannya, dan secara otomatis melenyapkan senyuman mesum Edo.
“Mas Bara baru putus? Astagaaa… syukurlah.” Bukannya menjauh, Putri malah semakin menempelkan tubuhnya ke tubuh kaku Bara. “Akhirnya Mas Bara putus juga dari si nenek lampir itu. Dia memang nggak baik buat Mas Bara.”
Fadlan mengerjap bingung. “Perasaan kalau kalian ketemu, kamu baik banget sama dia,” gumamnya bingung.
Selama ini, setiap mereka pergi bersama, Bara akan selalu membawa Cindy, dan Putra membawa adiknya. Dan kedua wanita berbeda usia 6 tahun itu terlihat sangat akur, laksana sahabat yang begitu dekat.
Putri mengerucutkan bibirnya, tidak memedulikan apa yang dikatakan Fadlan sama sekali. “Sekarang Mas Bara lagi jomblo dong?” tanyanya riang, sambil menempelkan dadanya ke lengan kekar Bara.
Edo yang melihat tubuh ranum Putri tidak bisa mengedipkan mata sama sekali. Ia benar-benar berharap bisa menggantikan posisi Bara saat ini juga. Namun, saat ia melihat tatapan tajam Putra, ia hanya mampu menelan ludahnya sendiri.
Bruk.
Tiba-tiba saja Bara bangkit dari kursinya. Hampir saja Putri terjerembab jatuh di samping pria itu.
“Gue pergi dulu.”
“Lho? Kok pergi? Kan belum makan? Aku sudah siapin menu spesial buat Mas Bara loh.”
“Lo mau ke mana, Bar?”
“Bar!”
“Bar, jangan bunuh diri!”
***
Bara tau, kesan pertemuan keduanya dengan Nilam sangat buruk. Ia masih mengutuki hal itu sampai sekarang. Bahkan mungkin Edo akan melakukan hal itu jauh lebih baik dari pada yang ia lakukan. Namun entah bagaimana, keesokan harinya Bara kembali datang ke department store yang sama, dengan tujuan gila yang sama juga.
Ia mendesah tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Untuk apa ia datang lagi? Apa yang akan ia katakan kepada Nilam jika mereka tidak sengaja bertemu kembali? Dan… Arggghh! Kejadian kemarin benar-benar memalukan.
Bara menghela napas panjang sambil memaki kebodohannya sendiri, dan bersyukur panggilan telepon di ponselnya membuat Bara memiliki alasan untuk segera kembali ke kantor saat itu juga.
Namun, saat Bara tanpa sengaja melihat sosok cantik Nilam bersama seorang bocah di lorong mall, tubuh Bara membatu seketika.
Nilam masih menggunakan seragam department store, tapi ditutupi jaket hitam yang sederhana. Ia mengapit tangan bocah kecil berwajah memerah itu sambil menghela napas berkali-kali. Dilihat bagaimana pun, Nilam tampak sangat kelelahan.
Mereka berdua berjalan menuruni escalator di depan toko furniture sampai ke lantai bawah, lalu berakhir ke Kidszone yang ada di lantai dasar mall itu.
Diam-diam Bara mengikuti mereka dari kejauhan, dadanya bergemuruh tidak menentu saat melihat Nilam dan bocah kecil di sampingnya. Mungkin bocah itu baru berusia 4 atau 5 tahun, dan ia memiliki wajah serupa Nilam, tapi jauh lebih mungil.
“Le, Mama masih harus kerja. Kamu tunggu di sini dulu, ya,” ujar Nilam, berlutut di hadapan putranya di depan pintu masuk Kidszone.
Bocah kecil itu menggeleng perlahan. “Leo mau sama Mama,” katanya, hampir menangis.
“Iya, nanti kita pulang ke rumah sama-sama. Mama kerja di atas. Kamu bisa main di sini dulu,” bujuk Nilam.
“Tapi Leo mau sama Mama,” rengek bocah kecil itu.
Nilam menarik napas panjang. Ia melirik petugas Kidszone yang sudah menanti.
“Sini, Sayang. Leo main sama Tante Amel dulu ya sambil nunggu Mama pulang.” Petugas Kidszone itu ikut berlutut di samping Leo.
“Nggak mau, Leo mau sama Mama.” Leo mulai menangis.
“Le, kalau kamu nakal, Mama nggak akan sayang kamu lagi!” ancam Nilam putus asa.
Wajah Leo semakin tertunduk di hadapan kemarahan ibunya. “Tapi… hiks… Leo mau sama Mama…”
“Kalau mau sama Mama kamu harus nurut. Mama kerja dulu sekarang. Kamu tunggu di sini, oke? Nanti Mama jemput,” bujuk Nilam lelah.
Akhirnya, setelah dibujuk beberapa saat Leo mengangguk meski masih dengan mata basah. Nilam tersenyum dan mengecup puncak kepala putranya. Lalu, dengan langkah cepat, ia kembali pergi menghilang di balik escalator.
Bara yang menyaksikan kejadian itu diam-diam semakin tidak memiliki kekuatan untuk berdiri. Ia bersandar di lorong mall dengan wajah nelangsa.
Jadi Nilam benar-benar sudah memiliki anak?
Pupus sudah harapannya.
***
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
“Apa kamu akan terus hidup begini?” Putra menghampiri Cindy yang berdiri di depan ruangan Bara.Cindy menegakkan punggungnya saat menyadari kedatangan pria itu. “Apa maksud kamu?” tanya Cindy defensif.“Apa kamu bisa hidup sama orang yang nggak cinta kamu? Kamu nggak bisa manfaatin Bara karena hutang di masa lalu, Cindy.”Cindy tersenyum sinis. “Memang apa bedanya? Toh, cinta nggak menjamin kamu nggak akan kehilangan orang yang kamu sayangi di masa depan. Jadi apa bedanya?” Cindy mengangkat bahu tak acuh. “Dan, ya. Aku memang manfaatin hutang itu. Kamu juga setuju kan kalau nyawa harus dibayar nyawa? Ibunya punya kesempatan hidup lebih lama karena ayahku, Putra. Apa salah kalau sekarang aku minta balasan atas itu? Aku nggak ngerti kenapa aku harus mundur demi kebahagiaan orang lain. Padahal, nggak ada satu orang pun yang peduli sama kebahagiaan aku.”Putra menatap pilu gadis itu. “Aku pedul
“Apa kamu benci saya?”Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Nilam. Padahal sudah lebih dari 4 jam pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Namun rasanya, ia terus berputar tanpa akhir.Bagaimana mungkin Nilam bisa membenci tunangan pria itu, saat ia lah yang berdiri di tempat yang salah.Ironisnya, kalau pun Nilam membenci Cindy karena telah merebut hati Bara kembali, ia sama sekali tidak mampu untuk membalikkan keadaan. Cindy memang sosok yang tepat untuk seorang Bara.“Karena rasanya, sekarang saya sangat membenci kamu.” Cindy kembali berbicara. Ia memang menunjukkan sisinya yang kuat, tapi Nilam bisa merasakan getar pahit dari suaranya.Mereka mungkin hanya terpaut 2 atau 3 tahun. Namun, tragedi pernikahan yang Nilam lewati membuatnya bisa berpikir lebih tenang. Ia tau jika cinta saja takkan bisa mempertahankan sebuah hubungan.“Apa Dokter menyesal menolong putra saya?” tanya Nilam, sebagai seorang ibu t
BUK!“B*ngsat!” Edo meninju dinding dengan tangan kosong. Gores bernoda marah di buku-buku jarinya mulai muncul setelah tinju yang keempat. Namun sengatan nyeri itu tidak membuat Edo berhenti. Ia terus melayangkan tinju sambil memaki. Kini noda darah di tangannya berpindah ke dinding.“Edo!” Putra mendesah lelah ketika melihat apa yang dilakukan Edo di area parkiran yang jarang dilewati orang. “Lo ngapain, hah?!” bentak Putra tak habis pikir. Masalah Bara saja belum selesai, apa sekarang pria itu harus menambah beban pikiran dengan kelakuan gila lainnya? Apa tidak bisa sehari saja ia bertingkah normal?“B*ngsat!”Putra menangkap lengan pria itu sebelum ia meremukkan jarinya sendiri ke dinding.“Lepas, s*alan!” teriak Edo frustasi. Wajahnya sekusut pikirannya saat ini. Ia menepis cengkraman Putra, lalu melayangkan tinju yang lain ke dinding yang membisu.“Lo mau m