“Bar, lo beneran nggak ikut?” tanya Putra di telepon.
“Nggak. Kalian lanjut aja. Gue ada perlu.”
Putra menghela napas panjang sambil menatap langit malam. Di kejauhan tiupan terompet tahun baru terdengar sayup-sayup, meskipun saat ini baru pukul 8 malam.
Ia melempar kantong arang yang dibeli di warung depan gang sambil memijat pangkal hidungnya.
Padahal mereka sudah merancanakan malam tahun baru itu sejak jauh-jauh hari, tapi bisa-bisanya Bara membatalkan rencana mereka di saat-saat terakhir.
“Bener kan dia kaga bakal datang?” tanya Edo yang sudah siap dengan baskom berisi ayam dan gitar milik Fadlan.
Bukannya menjawab, Putra malah merebahkan tubuh di atas kursi panjang depan kontrakan.
“Udah gue bilang, dia mau ketemu sama si Cindy sekarang. Mungkin mau ngajak balikan lagi. Kan momennya pas tuh di malem tahun baru,” ujar Fadlan yang tengah sibuk membuat perapian sederhana dari tumpukan bata.
“Iya, abis itu langsung k*nthu deh! Hahahaha.” Edo tertawa mesum.
“K*nthu mata lo. Orang si Cindy lagi dinas.”
“Lah, malem tahun baru begini dinas bukan liburan?”
“Liburan itu buat dokter-dokter senior. Yang lagi Koas justru jadi tumbal pas kaya gini,” ujar Fadlan menirukan kata-kata Riri di telepon tadi, seraya memasukan arang ke dalam perapian. “Anj*ng, areng beginian aja laku di kota. Lah di rumah gue kayu banyak tinggal bakar,” gerutu Fadlan.
“Ya, bawalah sana dari Jogja buat taun depan. Sekalian jualan.”
Fadlan menyipit sinis. “Eh, Do, lo kaga ngajak si Mayang itu?”
“Kaga lah. Nanti tuan Putri gue ngambek. Eh kaga taunya dia datang sendiri.” Edo melirik kesal sosok Putra yang masih berbaring di atas kursi.
Mendengar nama adiknya keluar dari mulut Edo membuat Putra langsung memicingkan mata.
“Putri sibuk di resto barunya,” ujar Putra sambil beranjak duduk di kursi.
“Ah kaga seru!” Edo membanting baskom berisi ayam yang sudah ia bumbui. “Mana rame kalo bakaran cuma bertiga begini. Mana pedang semua.”
“Ya lo ajak aja dah tu kucing, kancutin biar seksi.”
“Anj*ng.” Edo mendesis kesal sambil merebahkan tubuhnya di lantai. “Ngomong-ngomong, Put, nama resto baru si Putri lucu juga. Sushi and H*ntai, hahahaha.”
“Anj*ng, Bego! Mentai, Gendeng! Bukan h*ntai dasar wibu mes*m!” maki Putra tersungut-sungut.
“Hah? Masa? Hahahahaha salah dong gue. Pantes gue pikir berani banget dia buka resto H*ntai di mall gitu.”
“Hahahahaha dasar g*bl*k!” tawa Fadlan terpingkal, terlebih saat ia melihat reaksi Putra yang ikut geram. “Emang susah kalo otak filternya udah b*k*p semua,” tambah pria itu sambil menarik baskom berisi dua ekor ayam di dekat kaki Edo. Ia memasangkan keduanya ke dalam kawat pemanggang.
Ini adalah ritual malam tahun baru mereka berempat sejak kelas 1 SMA. Dari hanya berempat, lalu menjadi lebih ramai ditambah Putri yang diajak kakaknya, lalu Cindy yang diajak Bara. Fadlan juga pernah beberapa kali membawa pacar, meski di tanggal satu tahun berikutnya, ia dicampakan gadis itu. Hanya Edo yang datang sendiri karena masih berharap lampu hijau dari Putra untuk mendekati adiknya. Meski itu tidak pernah terjadi sampai detik ini.
“Do, ini ayam udah lo cuci bersih kan?”
“Udahlah!” jawab Edo sewot. “Lo nggak liat udah gue bumbuin juga? Buru bakar, laper gue!”
“B*ngke! Lo bakar sendiri aja, Setan!” Fadlan membanting ayam itu dengan wajah mengernyit.
“Heh, B*bi! Kenapa lagi sih?!” bentak Edo kesal.
“Lo yang b*bi! Idung lo itu pajangan doang, hah?! Segini bau tainya lo kaga nyium, Bangs*t?!”
“Tai apaan?! Udah gue cuci, B*ngke!”
“Terus itu apaan?!”
“Bumbu!”
“Bumbu otak lo! B*ngke! Ini tai, G*bl*k! TAIII!!” teriak Fadlan sambil menunjuk gumpalan kecokelatan di selipan sayap ayam.
“Hah? Masa sih?” Edo mendekatkan wajahnya, meneliti noda yang ditunjuk Fadlan. Saat hidungnya mencium bau tengik dari ayam itu, ia langsung menjauh. “Eh, iya kayaknya. Tainya masih kebawa. Bau, Jing. Hahahaha.”
“BAH! A*J*NG S*AL*N! Mana sempet gue cobain! B*ngke!!”
“HAH? HAHAHAHAHHAHAHAHA. ENAK NGGAK, LAN?”
“TAI LO A*J*NG!”
***
“Ngapain sih kalian ke sini tanpa Mas Bara?”
Baru saja ketiganya duduk di meja yang kosong, Putri sudah mendekat dengan wajah cemberut.
“Sana bakar-bakar aja di kontrakan! Bakar rumah sekalian! Bakar mobil baru!”
“Kayaknya kamu BT banget sih, Put. Capek ya? Sini, Mas Edo bantuin, eh atau mau dipijitin?”
Ziiing…
Tatapan laser Putra otomatis aktif.
Putri bersidekap kesal di hadapan ketiga pria itu. “Harusnya kalian paksa Mas Bara ikut juga dong! Masa tahun baruan begini dia nggak ada?! Teman macam apa?!”
Sebenarnya, sejak mendengar kabar Bara membeli mobil baru karena Cindy, Putri sudah sangat marah. Apalagi ternyata Bara pergi menemui mantan kekasihnya itu di malam tahun baru.
Bukan tidak mungkin besok mereka akan kembali menjadi sepasang kekasih.
“Put, sudah dong. Kan ada Mas Edo di sini. Kenapa harus nanyain yang nggak ada sih?”
“Hih, males!” tukas Putri sengit. “Lagian bukannya kalian mau bakar-bakar sendiri, hah? Ngapain ke sini segala?”
Putra menarik napas panjang. Sejujurnya ini adalah salahnya yang tidak mengizinkan Putri untuk ikut acara mereka. Saat ini, Bara sedang tidak stabil, ia tidak ingin adiknya mengganggu pria itu. Namun ternyata, Bara malah tidak datang sama sekali.
“Put, andai tadi ni orang nyuci ayamnya bener, kita nggak akan terluntang-lantung kelaparan begini,” keluh Fadlan masih dengan tatapan penuh amarah.
“Hahahaha, iya. Enak nggak, Lan, tai ayamnya? Gue aja belom pernah nyobain seumur-umur.”
“Mau lo? Besok gue cariin seember!”
“Tai ayam?” Kening Putri mengernyit bingung.
“Iya, tadi ayam yang mau dibakar ternyata masih ada tainya. Dan Fadlan pikir itu bumbu jadi dia cobain,” jelas Putra.
“Apa?! Hahahahahahahaha.” Putri tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Enak nggak, Mas? Hahahaha,” goda gadis itu sambil menyeka air matanya karena terlalu kencang tertawa.
“Gila!” Fadlan langsung bergidik saat mengingat kembali rasa kotoran ayam di lidahnya.
“Hahahahaha.”
“Put, coba rekomendasiin menu yang bisa netralisir tai ayam ini. Masih berasa banget sepetnya.”
“Hahahahaha, okay, okay. Lagian ada-ada aja. Hahaha,” ujar Putri sambil terus menertawai Fadlan bersama Edo. “Nanti aku bawain Mentai chicken, ya.”
“Duh, ampun jangan ayam dulu sekarang!”
“Tapi ayam kampus doyan kan?”
“Beda genre, B*go!”
“Hahahaha.” Putri kembali tertawa. “Ya, udah tunggu sebentar, aku ambilin menu spesialnya dulu.”
“Jangan ayam, Putt!!”
“Siap, Mas!” senyum Putri geli.
Diam-diam, Putra merasa sangat bersyukur melihat tawa adiknya kembali. Padahal ia pikir Putri akan merajuk cukup lama karena dilarang ikut acara tahun baru bersama mereka.
Putra mengedarkan pandangan ke area restoran yang cukup ramai. Meski usianya baru 21 tahun, Putri jelas sangat tekun dengan apa yang dimimpikannya.
Namun, saat Putra melihat sosok tak asing di lorong mall, punggungnya menegak seketika. Ia mengerjap sekali, untuk memastikan pandangannya tidak salah.
“Lan, tadi kata lo Cindy sekarang dinas di RS kan?”
“Iya, kenapa?”
“Kalau gitu, buat apa dia di sini sekarang?”
Fadlan dan Edo menatapnya bingung. “Hah?”
***
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
“Apa kamu akan terus hidup begini?” Putra menghampiri Cindy yang berdiri di depan ruangan Bara.Cindy menegakkan punggungnya saat menyadari kedatangan pria itu. “Apa maksud kamu?” tanya Cindy defensif.“Apa kamu bisa hidup sama orang yang nggak cinta kamu? Kamu nggak bisa manfaatin Bara karena hutang di masa lalu, Cindy.”Cindy tersenyum sinis. “Memang apa bedanya? Toh, cinta nggak menjamin kamu nggak akan kehilangan orang yang kamu sayangi di masa depan. Jadi apa bedanya?” Cindy mengangkat bahu tak acuh. “Dan, ya. Aku memang manfaatin hutang itu. Kamu juga setuju kan kalau nyawa harus dibayar nyawa? Ibunya punya kesempatan hidup lebih lama karena ayahku, Putra. Apa salah kalau sekarang aku minta balasan atas itu? Aku nggak ngerti kenapa aku harus mundur demi kebahagiaan orang lain. Padahal, nggak ada satu orang pun yang peduli sama kebahagiaan aku.”Putra menatap pilu gadis itu. “Aku pedul
“Apa kamu benci saya?”Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Nilam. Padahal sudah lebih dari 4 jam pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Namun rasanya, ia terus berputar tanpa akhir.Bagaimana mungkin Nilam bisa membenci tunangan pria itu, saat ia lah yang berdiri di tempat yang salah.Ironisnya, kalau pun Nilam membenci Cindy karena telah merebut hati Bara kembali, ia sama sekali tidak mampu untuk membalikkan keadaan. Cindy memang sosok yang tepat untuk seorang Bara.“Karena rasanya, sekarang saya sangat membenci kamu.” Cindy kembali berbicara. Ia memang menunjukkan sisinya yang kuat, tapi Nilam bisa merasakan getar pahit dari suaranya.Mereka mungkin hanya terpaut 2 atau 3 tahun. Namun, tragedi pernikahan yang Nilam lewati membuatnya bisa berpikir lebih tenang. Ia tau jika cinta saja takkan bisa mempertahankan sebuah hubungan.“Apa Dokter menyesal menolong putra saya?” tanya Nilam, sebagai seorang ibu t
BUK!“B*ngsat!” Edo meninju dinding dengan tangan kosong. Gores bernoda marah di buku-buku jarinya mulai muncul setelah tinju yang keempat. Namun sengatan nyeri itu tidak membuat Edo berhenti. Ia terus melayangkan tinju sambil memaki. Kini noda darah di tangannya berpindah ke dinding.“Edo!” Putra mendesah lelah ketika melihat apa yang dilakukan Edo di area parkiran yang jarang dilewati orang. “Lo ngapain, hah?!” bentak Putra tak habis pikir. Masalah Bara saja belum selesai, apa sekarang pria itu harus menambah beban pikiran dengan kelakuan gila lainnya? Apa tidak bisa sehari saja ia bertingkah normal?“B*ngsat!”Putra menangkap lengan pria itu sebelum ia meremukkan jarinya sendiri ke dinding.“Lepas, s*alan!” teriak Edo frustasi. Wajahnya sekusut pikirannya saat ini. Ia menepis cengkraman Putra, lalu melayangkan tinju yang lain ke dinding yang membisu.“Lo mau m