Sabtu pagi.
Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.
Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.
Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.
“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.
“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.
“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di DO dia dari kampus.”
Riri adalah rekan satu SMA mereka, yang sampai saat ini masih bersahabat dekat dengan Cindy.
Itu masuk akal, tapi Edo tetap tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya. Mengapa tiba-tiba seorang Bara mau membeli mobil? Dan kenapa harus mobil yang memiliki keamanan optimal untuk anak-anak?
“Jangan-jangan si Bara mau ngelamar Cindy?” tebak Fadlan dengan mata berkilat.
“Bisa jadi!” Edo mengangguk setuju. “Gila emang si Bara, udah cinta mati sama Cindy kayaknya. Lo udah tanya si Riri juga kan soal m*nyet baru Cindy?”
“Kata Riri, yang deketin Cindy banyak, tapi sampai sekarang dia masih jomblo.”
“Bagus deh. Bisa gila beneran si Bara kalau ternyata Cindy undah punya m*nyet baru. Lo bilangin deh ama si Riri, jangan sampe kejadian begitu.”
Fadlan menepuk bahu Edo dengan wajah serius. “Oke. Gue akan kabari mereka.”
Edo mengangkat ibu jarinya. “Bagus.”
***
“Halo, Bara? Kamu beli mobil baru?”
Bara melirik ketiga sahabatnya dengan tajam. Baru saja ia keluar showroom, berita itu sudah sampai ke telinga ibunya. Ia bahkan tidak yakin apa harus terkejut atau tidak.
“Iya, Bu.”
“Ah, syukurlah. Ibu jadi lega. Kenapa ndak dari dulu-dulu sih? Ibu suka ndak tega kalau kamu mudik pakai motor begitu. Berapa harganya? Biar Ibu bantu bayar ya, kamu bilang aja.”
Bara menghela napas panjang. “Bu, Bara beli cash, sudah lunas. Ibu nggak perlu repot-repot.”
“Lho, kok kamu ndak bilang dulu sama Ibu atau Bapak? Kami kan bisa bantuin kamu. Terus buat sehari-harimu gimana, Bar? Biar Ibu transfer ya.”
“Bu, Bara masih punya uang. Ibu sama Bapak tenang aja.”
“Hhh, kamu selalu bilang begitu. Pokoknya kalau ada apa-apa kamu harus kabari Ibu sama Bapak. Oya, berarti tahun baru ini kamu pulang kan, Bar?”
Bara menimbang sejenak. Bayangan sosok Nilam dan Leo kembali melintas di benaknya.
“Kayaknya nggak bisa, Bu. Masih ada urusan yang harus Bara selesain.”
“Duh, padahal Ibu sudah kangen sama kamu, Bar. Ya sudah, tapi kamu jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan jajan sembarangan, jangan lupa minum air putih, olahraga—”
“Iya, Bu,” potong Bara cepat.
“Dan berhenti merokok!”
Glek.
Bara menurunkan rokoknya, seakan sang Ibu memarahinya secara langsung.
“Iya, Bu,” jawab Bara sedikit merasa bersalah.
Lalu setelah meyakinkan ibunya jika ia akan segera berhenti merokok, akhirnya sambungan telepon itu terputus juga.
“Bukan gue!” teriak Edo saat Bara kembali dengan wajah geram.
***
“DOKTER CINDDDYYY!!!” Riri melambaikan tangannya saat melihat Cindy di IGD. Seperti biasa, Cindy selalu terlihat cantik, terlebih dengan jas putih kebanggaannya.
“Hai, Ri. Tumben kamu ke sini? Kamu sakit? Atau lagi antar orang?” tanya Cindy.
“Nggak, aku emang sengaja main ke sini.”
“Main kok ke rumah sakit.” Cindy terkekeh pelan, tapi tetap membiarkan Riri mengapit tangannya.
“Kamu masih lama?”
Cindy melihat jam di ponselnya. “Masih, tapi sekarang mau makan siang dulu. Kamu udah makan?”
“Ah, kebetulan belum. Yuk bareng, ada yang mau aku kabari juga!” ujar Riri riang sambil menunggu di depan ruang ganti dokter.
Setelah melepaskan jas putihnya, Cindy bersama beberapa dokter KOAS yang lain berjalan beriringan ke kantin rumah sakit. Cindy memesan semangkuk soto mie kesukaannya, sedangkan Riri memesan bakso rumah sakit yang terkenal enak.
“Jadi, kenapa kamu ke sini siang-siang begini? Emangnya nggak dimarahin Bosmu?”
Riri mengibaskan tangannya sambil mengucah bakso. “Santai dia mah,” senyum Riri dengan mulut penuh bakso. “Aku ke sini karena punya kabar baru dari Fadlan. Katanya… Bara beli mobil baru!”
Uhuk!
Cindy terbatuk kaget. Ia menenggak cepat minumannya, tapi batuk itu sudah membuat wajah putih Cindy memerah seketika.
“Sorry, sorry, kamu kaget ya? Hehehehe. Abis aku nggak tahan buat kabari kamu sih. Akhirnya si Bara nyerah juga! Lagian bisa-bisanya dia tetap pakai motor yang sama dari jaman kuliah!”
Cindy tersenyum tipis sambil mengaduk soto mie-nya. “Mm, mungkin dia memang mau beli mobil karena sudah butuh.”
“No, alasan utamanya pasti kamu! Bara pasti beli mobil karena kamu!”
Cindy menghela napas. “Aku kelihatan matre banget ya mutusin Bara cuma gara-gara mobil?”
“Ya nggak lah! Mobil kan udah jadi kebutuhan primer. Wajar kalau kamu minta dia berubah, toh itu juga demi kebaikannya sendiri kan?” ujar Riri menggebu-gebu. “Nah, gitu dong. Senyum, jangan galau lagi. Sekarang kamu tau kan kalau Bara juga nggak bisa move on dari kamu. Buktinya dia sampai bela-belain beli mobil cuma buat kamu.”
Cindy tersenyum manis. Riri benar. Semenjak berpisah dari Bara, ia memang seperti kehilangan separuh jiwanya. Walau bagaimana pun, mereka sudah bersama selama 6 tahun lamanya.
“Oya, dan satu lagi. Ini harusnya masih jadi rahasia sih, tapi aku nggak tahan. Kata Fadlan, Bara cari mobil yang family friendly. Dia mau ngelamar kamu, Cin!”
“Apa?”
***
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
“Apa kamu akan terus hidup begini?” Putra menghampiri Cindy yang berdiri di depan ruangan Bara.Cindy menegakkan punggungnya saat menyadari kedatangan pria itu. “Apa maksud kamu?” tanya Cindy defensif.“Apa kamu bisa hidup sama orang yang nggak cinta kamu? Kamu nggak bisa manfaatin Bara karena hutang di masa lalu, Cindy.”Cindy tersenyum sinis. “Memang apa bedanya? Toh, cinta nggak menjamin kamu nggak akan kehilangan orang yang kamu sayangi di masa depan. Jadi apa bedanya?” Cindy mengangkat bahu tak acuh. “Dan, ya. Aku memang manfaatin hutang itu. Kamu juga setuju kan kalau nyawa harus dibayar nyawa? Ibunya punya kesempatan hidup lebih lama karena ayahku, Putra. Apa salah kalau sekarang aku minta balasan atas itu? Aku nggak ngerti kenapa aku harus mundur demi kebahagiaan orang lain. Padahal, nggak ada satu orang pun yang peduli sama kebahagiaan aku.”Putra menatap pilu gadis itu. “Aku pedul
“Apa kamu benci saya?”Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Nilam. Padahal sudah lebih dari 4 jam pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Namun rasanya, ia terus berputar tanpa akhir.Bagaimana mungkin Nilam bisa membenci tunangan pria itu, saat ia lah yang berdiri di tempat yang salah.Ironisnya, kalau pun Nilam membenci Cindy karena telah merebut hati Bara kembali, ia sama sekali tidak mampu untuk membalikkan keadaan. Cindy memang sosok yang tepat untuk seorang Bara.“Karena rasanya, sekarang saya sangat membenci kamu.” Cindy kembali berbicara. Ia memang menunjukkan sisinya yang kuat, tapi Nilam bisa merasakan getar pahit dari suaranya.Mereka mungkin hanya terpaut 2 atau 3 tahun. Namun, tragedi pernikahan yang Nilam lewati membuatnya bisa berpikir lebih tenang. Ia tau jika cinta saja takkan bisa mempertahankan sebuah hubungan.“Apa Dokter menyesal menolong putra saya?” tanya Nilam, sebagai seorang ibu t
BUK!“B*ngsat!” Edo meninju dinding dengan tangan kosong. Gores bernoda marah di buku-buku jarinya mulai muncul setelah tinju yang keempat. Namun sengatan nyeri itu tidak membuat Edo berhenti. Ia terus melayangkan tinju sambil memaki. Kini noda darah di tangannya berpindah ke dinding.“Edo!” Putra mendesah lelah ketika melihat apa yang dilakukan Edo di area parkiran yang jarang dilewati orang. “Lo ngapain, hah?!” bentak Putra tak habis pikir. Masalah Bara saja belum selesai, apa sekarang pria itu harus menambah beban pikiran dengan kelakuan gila lainnya? Apa tidak bisa sehari saja ia bertingkah normal?“B*ngsat!”Putra menangkap lengan pria itu sebelum ia meremukkan jarinya sendiri ke dinding.“Lepas, s*alan!” teriak Edo frustasi. Wajahnya sekusut pikirannya saat ini. Ia menepis cengkraman Putra, lalu melayangkan tinju yang lain ke dinding yang membisu.“Lo mau m