หน้าหลัก / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 13 – Akar yang Tak Terbakar

แชร์

Bab 13 – Akar yang Tak Terbakar

ผู้เขียน: Kaeyaa Avery
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-16 13:00:50

Rafi kembali ke desa Srigading dengan cara pandang yang baru. Bukan karena matanya berubah, tapi karena apa yang dia lihat kini lebih jelas. Di pundaknya, beban terasa lebih berat. Tapi langkahnya tetap ringan, penuh keyakinan.

Di gerbang desa, Simbo sudah menunggunya dengan senyum penuh rindu. Paman Damar berdiri di belakang, menyambut dengan anggukan kecil yang punya arti dalam.

"Selamat datang lagi, pemenang," kata Paman Damar sambil menepuk bahu Rafi.

Rafi cuma membalas dengan senyum tipis. "Saya belum selesai, Paman. Piala itu belum akhir."

Simbo langsung memeluk Rafi erat. Hangat, tulus, dan tanpa kata.

Tapi sejak kabar kemenangannya, desa tak lagi sama. Beberapa orang mulai memperhatikan. Ada yang bangga, ada yang sinis, dan ada yang cuma diam, seolah menunggu Rafi jatuh.

---

Besoknya, Rafi langsung kembali ke ladang. Bukan bu
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 16 – Awal dari Kerajaan Baru

    Subang menyambut pagi dengan kabut tipis dan embusan angin pegunungan yang sejuk. Tapi di antara embusan itu, semangat baru tumbuh dari sebuah lahan tua yang lama ditinggalkan. Rafiandra Siregar berdiri di tepi ladang dengan tangan memegang denah, di sampingnya berdiri Paman Damar dan Kepala Dusun setempat, Pak Karna. “Tanah ini keras, tapi bukan berarti mati,” ucap Rafi sambil mengamati tanah merah di depannya. Pak Karna mengangguk. “Kalau memang niatmu serius, kami siap bantu. Tapi butuh waktu dan tenaga.” “Aku nggak takut kerja keras, Pak. Dari kecil, aku udah diajarin itu.” Paman Damar menepuk bahunya. “Dan sekarang, waktumu buat bangun dari bawah udah datang lagi.” --- Tiga hari pertama di lahan itu diisi dengan survei dan pembersihan. Rafi merekrut beberapa pemuda lokal, menggali kembali parit-parit air yang sudah mampet, membersihkan puing dari gu

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 15 – Badai Bernama Warisan

    Pagi di desa Srigading dibuka dengan udara dingin dan kabut tipis yang menggantung di atas ladang. Tapi suasana hati Rafi malah berkabut lebih pekat. Di tangan kirinya ada surat panggilan resmi dari notaris keluarga Siregar—tertulis tegas: “Pemanggilan Terkait Warisan Saham dan Hak Keluarga.” Bukan undangan biasa. Ini bukan lagi soal pengakuan. Ini soal posisi. Dan Rafi tahu, kalau ia masuk ke dunia itu, dia harus siap bermain di medan yang berbeda. Bukan ladang. Bukan tanah. Tapi medan politik keluarga, korporat, dan niat tersembunyi. --- “Aku harus ke Jakarta lagi, Simbo,” ucap Rafi pagi itu di teras rumah. Simbo mengangguk, masih duduk menyulam kain yang belum selesai sejak minggu lalu. “Kalau kamu yakin, pergilah. Tapi jangan pernah kehilangan hatimu. Jangan sampai dingin seperti mereka.” Rafi menunduk. “Aku nggak akan berubah, S

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 14 – Tumbuh di Antara Tembok dan Tembaga

    Jakarta mungkin tak asing lagi buat Rafi sekarang, tapi suasananya tetap memberi tekanan. Setelah rapat keluarga Siregar yang panas itu, namanya mulai dibicarakan di lingkaran media kecil. Beberapa artikel mulai muncul di blog bisnis sekolah, bahkan ada yang menulis, “Anak Petani Sukses Guncang Forum Keluarga Konglomerat.”Tapi Rafi nggak ambil pusing. Dia udah kembali ke desa. Dan hari-harinya? Masih sama. Bangun pagi, ngurus ladang, urus pesanan, dan sesekali diskusi bisnis secara daring dengan klien kecil dari luar kota.Sore itu, Raline duduk di bawah pohon mangga sambil nyusun foto-foto tanaman buat feed Instagram “Tanaman Sehat Rafi.” Rafi baru aja selesai nyiramin bibit serai.“Lo tau nggak?” Raline nyengir sambil melirik layar HP-nya. “Ada yang mau pesan 300 pot daun mint buat acara seminar lingkungan di Semarang.”Rafi mendekat, masih pakai kaos lusuh dan celana penuh tanah. “Serius lo? Siapa yang order?”“Namanya Bu Anita, dia d

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 13 – Akar yang Tak Terbakar

    Rafi kembali ke desa Srigading dengan cara pandang yang baru. Bukan karena matanya berubah, tapi karena apa yang dia lihat kini lebih jelas. Di pundaknya, beban terasa lebih berat. Tapi langkahnya tetap ringan, penuh keyakinan. Di gerbang desa, Simbo sudah menunggunya dengan senyum penuh rindu. Paman Damar berdiri di belakang, menyambut dengan anggukan kecil yang punya arti dalam. "Selamat datang lagi, pemenang," kata Paman Damar sambil menepuk bahu Rafi. Rafi cuma membalas dengan senyum tipis. "Saya belum selesai, Paman. Piala itu belum akhir." Simbo langsung memeluk Rafi erat. Hangat, tulus, dan tanpa kata. Tapi sejak kabar kemenangannya, desa tak lagi sama. Beberapa orang mulai memperhatikan. Ada yang bangga, ada yang sinis, dan ada yang cuma diam, seolah menunggu Rafi jatuh. --- Besoknya, Rafi langsung kembali ke ladang. Bukan bu

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 12 – Bisik Rahasia dan Badai yang Mendekat

    Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 11 – Undangan dari Masa Lalu

    Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status