Langkah Rafi memasuki SMP Tunas Bangsa bagaikan melangkah ke semesta baru. Seragamnya kini lebih bersih, gedung sekolahnya menjulang tinggi, dan wajah-wajah di sekitarnya penuh percaya diri—anak-anak dari keluarga berada, pewaris nama besar. Tapi Rafi tetap melangkah tegap, dengan ransel usang di punggung dan sepatu bekas yang ia semir sendiri. Matanya lurus, fokus, menatap ke depan. "Selamat datang para siswa terpilih. Ingat, kalian ada di sini bukan karena keberuntungan, tapi karena usaha," ucap kepala sekolah di podium. Rafi mengangguk pelan. Ia percaya itu. Ia di sini bukan karena belas kasihan—ia di sini karena ia pantas. --- Hari-hari awal tak mudah. Lingkungan asing, wajah-wajah sinis, dan bisikan-bisikan merendahkan jadi makanan sehari-hari. “Heh, anak beasiswa ya?” bisik seorang siswa berambut klimis. “Lihat tuh, tasnya. Pasti peninggalan jaman dulu,” timpal yang lain, tertawa. Rafi tetap diam. Tatapannya tak berubah. Ia pernah lebih diremehkan dari ini. Dan ia tahu, b
Terakhir Diperbarui : 2025-06-19 Baca selengkapnya