Pagi itu, suasana di Desa Srigading terasa biasa saja, namun bagi Rafiandra Siregar, hari itu adalah awal dari sebuah babak baru. Ia mengayuh sepeda tuanya menuju sekolah dengan pikiran yang berkecamuk penuh rencana dan harapan.
Setelah beberapa hari mengenal dunia bisnis lewat kompetisi dan pelatihan yang diikutinya di Jakarta, Rafi sadar bahwa untuk mengembangkan “Tanaman Sehat Rafi” ia harus memperluas jaringan. Peluang datang lewat kenalan Pak Arman, seorang pengusaha muda yang mulai membuka pintu bagi Rafi untuk masuk ke pasar yang lebih luas. Saat masuk kelas, Raline sudah menunggu dengan senyum penuh semangat. Ia menyodorkan secarik kertas berisi daftar kontak para pengusaha muda dan distributor yang menurutnya bisa membantu. “Gue sudah kontak beberapa temennya Pak Arman, Fi. Mereka tertarik sama ide lo,” kata Raline dengan mata berbinar. Rafi menerima dengan penuh rasa syukur, “Makasih, Raline. Lo bener-bener supporLangit di atas Bukit Randu mulai meredup, meninggalkan guratan jingga yang menggantung di ujung cakrawala. Di tempat itulah Rafi berdiri, menatap satu titik di balik reruntuhan pondok tua yang menurut penuturan Simbo dulu adalah bekas tempat persembunyian ayahnya saat konflik keluarga pecah. Sehelai surat tua di tangannya bergetar pelan tertiup angin. Tulisan tangan yang mulai pudar itu adalah milik Simbo, ditulis sebelum beliau meninggal. Isinya bukan sekadar pesan perpisahan—tapi petunjuk. > “Rafi, jika kamu membaca ini, artinya kamu sudah cukup kuat menghadapi masa lalu. Bukit Randu menyimpan rahasia keluargamu. Di bawah pondok tua itu, ada satu kotak besi. Jangan pernah membukanya kecuali kamu siap untuk kebenaran.” Rafi menarik napas panjang. Langkah kakinya perlahan menyusuri reruntuhan pondok. Batu bata berserakan, kayu lapuk berderit saat diinjak. Ia jongkok, memeriksa lantai tanah yang m
Pagi itu, suasana di Desa Srigading terasa biasa saja, namun bagi Rafiandra Siregar, hari itu adalah awal dari sebuah babak baru. Ia mengayuh sepeda tuanya menuju sekolah dengan pikiran yang berkecamuk penuh rencana dan harapan. Setelah beberapa hari mengenal dunia bisnis lewat kompetisi dan pelatihan yang diikutinya di Jakarta, Rafi sadar bahwa untuk mengembangkan “Tanaman Sehat Rafi” ia harus memperluas jaringan. Peluang datang lewat kenalan Pak Arman, seorang pengusaha muda yang mulai membuka pintu bagi Rafi untuk masuk ke pasar yang lebih luas. Saat masuk kelas, Raline sudah menunggu dengan senyum penuh semangat. Ia menyodorkan secarik kertas berisi daftar kontak para pengusaha muda dan distributor yang menurutnya bisa membantu. “Gue sudah kontak beberapa temennya Pak Arman, Fi. Mereka tertarik sama ide lo,” kata Raline dengan mata berbinar. Rafi menerima dengan penuh rasa syukur, “Makasih, Raline. Lo bener-bener suppor
Hari itu langit Srigading kelabu, awan menggantung berat seolah tahu bahwa hari ini akan menjadi momen penting bagi Rafiandra Siregar. Ia berdiri di depan rumah Simbo dengan perasaan campur aduk—antara cemas, penasaran, dan harap. Beberapa hari lalu, sosok misterius datang ke rumah Simbo. Wanita berkacamata hitam itu duduk lama bersama Simbo, berbicara dengan suara pelan tapi tegas. Rafi yang kebetulan sedang berada di ruang tamu hanya bisa diam mendengarkan, memperhatikan setiap kata yang terlontar. Sosok itu memperkenalkan diri sebagai Ratna, ibu kandung Rafi. Selama ini, Rafi hanya tahu bahwa ia dibuang dan tak diakui oleh keluarga kandungnya. Tapi kini, ia menghadapi fakta yang selama ini tersembunyi. --- Setelah pertemuan itu, Simbo duduk di samping Rafi. Matanya berkaca-kaca. “Nak, aku tahu ini berat. Tapi kau harus ta
Suasana pagi di Desa Srigading tak pernah berubah: embun menggantung di ujung daun, aroma tanah basah tercium samar, dan suara ayam bersahutan membelah keheningan. Tapi bagi Rafi, hari ini bukan pagi biasa. Ia berdiri di depan rumah, mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain abu-abu, rambutnya disisir rapi. Di tangannya tergenggam undangan khusus yang baru diterima kemarin sore—undangan rapat terbatas dengan dewan pengembang program inovasi nasional di ibu kota. “Simbo, aku berangkat dulu ya,” ucap Rafi, membungkuk sambil mencium tangan wanita tua itu. “Jaga diri baik-baik, Nak. Jangan lupa makan,” balas Simbo lembut, matanya sendu penuh doa. Di pinggir jalan, sebuah mobil travel tua sudah menunggu. Rafi masuk, duduk di kursi belakang sambil menatap jendela. Ini adalah kali kedua ia ke Jakarta. Tapi kali ini bukan sebagai peserta lomba. Ia diundang sebag
Senja menyelimuti langit Jakarta dengan semburat jingga yang lembut, tapi hati Rafiandra Siregar justru semakin diliputi awan mendung. Ia berdiri di depan jendela hotel tempatnya menginap, menatap lalu lintas ibu kota yang sibuk tanpa henti. Tangannya masih memegang amplop besar berisi dokumen penting: undangan resmi dari Perusahaan Nusantara Holding—grup bisnis milik keluarga Siregar. "Ini bukan hanya undangan," gumam Rafi pelan, "ini ujian." --- Sehari sebelumnya, ia menerima surat itu melalui perwakilan resmi dari perusahaan. Undangan itu mengharuskannya hadir dalam pertemuan internal eksekutif muda, yang diadakan setiap tahun untuk menjaring bibit-bibit baru calon pemimpin bisnis nasional. Rafi tidak menyangka, namanya masuk dalam daftar rekomendasi. Namun, yang paling membuatnya terkejut bukan undangan itu—melainkan nama yang tertera di bagian pengundang: Ratna Siregar,
Jakarta kembali basah oleh hujan malam ketika Rafiandra Siregar membuka pintu kamarnya di wisma pelatihan. Trofi di meja kerjanya masih mengilap, mencerminkan cahaya lampu temaram yang menggantung di langit-langit. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini ia tidak sedang menyusun strategi bisnis atau membaca jurnal kewirausahaan. Ia duduk diam, matanya menatap kosong ke arah jendela. Sudah seminggu sejak ia diumumkan sebagai juara pertama Kompetisi Inovasi Muda Nasional. Sejak itu, jadwalnya padat—undangan seminar, wawancara radio, hingga tawaran kerja sama dari beberapa perusahaan start-up berbasis agrikultur. Namun hatinya tidak tenang. Ada satu momen yang membekas sejak ia turun dari panggung kemenangan. Di antara kerumunan yang menyalaminya, ia melihat sosok wanita paruh baya, mengenakan blazer hitam dan kacamata gelap. Wajahnya nyaris tak terlihat jelas, tapi tatapannya—meski dari kejauhan—mengguncang se