Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup W******p guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.
“Siapa sebenarnya anak ini?” Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh. --- Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.” Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana. “Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka. --- Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah menyiapkan media tanam, sebuah mobil hitam berhenti di ujung jalan desa. Tak lama, keluar seorang pria muda dengan jas abu-abu dan kacamata. Cara berjalannya tegas, gayanya formal, tapi matanya seperti menyimpan niat yang belum jelas. “Rafiandra Siregar?” Rafi mengangguk. “Nama saya Dika. Saya utusan dari PT Siregar Global Group. Atasan saya ingin bertemu secara pribadi.” Raline langsung menatap curiga. “Untuk apa?” Dika tersenyum kecil. “Bukan urusan bisnis. Lebih ke... masa depan keluarga.” Rafi berdiri. “Kalau mereka ingin bicara, mereka tahu rumah saya.” “Baik,” jawab Dika. “Tapi satu hal... ayah Anda sedang sakit keras. Dan ingin bertemu.” --- Berita itu seperti kilat di siang bolong. Meski tak pernah mengenal dekat sosok ayah kandungnya, perasaan Rafi bercampur aduk. Ia mengunci diri di kamar malam itu, hanya keluar saat subuh untuk ke ladang. Simbo menatap dari jauh. Ia tahu, masa lalu yang selama ini mereka kubur perlahan mulai menggali dirinya sendiri. “Rafi,” ujar Simbo keesokan harinya, “kadang kita harus bertemu dengan bayangan, bukan untuk kembali, tapi agar bisa melangkah lebih ringan.” Rafi tak menjawab. Tapi ia mengerti. --- Dua hari kemudian, ia memutuskan pergi ke Jakarta, kali ini tanpa selempang pemenang lomba atau tiket beasiswa. Tapi dengan satu niat: menatap masa lalu di mata. Di rumah sakit elite itu, ia melihat Aditya Siregar—ayahnya—terbaring lemah. Pria yang dulu hanya nama di akta lahirnya, kini menjadi kenyataan di hadapannya. Aditya membuka mata perlahan. “Rafi...” “Saya di sini,” jawab Rafi pelan. “Maaf... karena membiarkan kamu tumbuh sendirian...” Rafi menatapnya dalam. “Saya gak datang buat mendengar maaf. Saya cuma mau memastikan... bahwa saya lebih kuat dari yang kalian kira.” Mata Aditya berkaca. “Kamu memang... jauh lebih kuat. Dan suatu hari, kamu akan memimpin... bukan hanya bisnis... tapi takdir keluarga ini.” Rafi tak menjawab. Ia hanya berdiri lama di samping ranjang itu. --- Malamnya, ia pulang ke penginapan, membuka ponsel, dan melihat ratusan pesan masuk. Tapi satu pesan dari Raline membuatnya tersenyum: “Jangan berubah jadi orang kota ya. Gue tunggu lo pulang buat nyangkul bareng.” Dan di tengah gemerlap ibu kota, Rafi kembali mengingat akar dirinya: tanah, kerja keras, dan tekad. --- Sebelum kembali ke Srigading, Rafi menyempatkan diri mengunjungi kantor pusat Siregar Global Group. Bukan untuk menuntut hak, tapi untuk mengamati. Ia berdiri di lobi gedung tinggi itu, mengenakan pakaian sederhana, dikelilingi orang-orang berjas yang tak mengenalnya. Tapi tak ada rasa minder. Ia menatap logo perusahaan besar itu dengan penuh arti. “Bukan gedung ini yang besar,” gumamnya, “tapi tekad yang membuat seseorang jadi tinggi.” Saat ia berbalik hendak pergi, seorang pria muda menghampirinya. Wajahnya bersih, sikapnya ramah. “Kamu Rafi, kan? Aku Reihan... adik tirimu.” Rafi mengangguk. Mereka berjabat tangan. “Aku dengar cerita tentang kamu. Aku cuma mau bilang... apapun keputusanmu, kamu punya saudara yang gak akan menutup pintu.” Ucapan itu mengejutkan Rafi. Tapi ia menjawab dengan tenang, “Gue lebih percaya pintu yang gue bangun sendiri. Tapi makasih.” Reihan tersenyum. “Kalau suatu hari kamu butuh partner, bukan cuma saudara, cari aku.” --- Dan saat kereta malam membawa Rafi pulang, ia tahu... perjalanan ini bukan tentang siapa dia dulu. Tapi siapa dia sekarang, dan siapa yang akan ia bentuk dari dirinya sendiri. To be continued...Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika
Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,
Pagi itu, kabut masih menggantung di perbukitan desa Srigading saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Simbo. Pintu mobil terbuka pelan, dan keluar seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berkacamata hitam, dan berpenampilan elegan.Simbo yang tengah menyapu halaman langsung menegakkan tubuhnya, matanya menajam.“Bu Ratna?” gumamnya nyaris tak terdengar.Wanita itu menurunkan kacamatanya perlahan, menatap langsung ke arah Simbo.“Sudah lama ya, Simbo.”Simbo mematung. Jari-jarinya menggenggam erat gagang sapu.Dari dalam rumah, Rafi muncul sambil membawa ember kecil. Melihat mobil asing dan dua wanita yang saling tatap tanpa suara, ia mendekat pelan.“Simbo, siapa—”Seketika mata wanita itu beralih padanya. Wajahnya kaku. Nafasnya tercekat.“...Rafi?”Rafi mengernyit. “Ibu kenal saya?”Tak ada jawaban. Hanya mata yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar.---Raline datang beberapa menit kemudian, membawa laporan pengiriman mingguan. Namun saat melihat suasana di halaman
Hari itu, aula forum nasional kembali ramai dengan presentasi dan diskusi. Namun bagi Rafi, pikirannya masih tertinggal di percakapan dengan Armand Hidayat, wakil direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Ia masih tak percaya, dari ribuan peserta forum, ada satu pihak nyata dari dunia bisnis yang menawarkan kemungkinan kerja sama. Malamnya, di penginapan tempat ia menginap bersama para finalis, Rafi membuka catatannya. Ia menuliskan semua hal penting dari pembicaraan tadi. Produk ramah lingkungan berbasis desa Model penjualan hybrid (online dan offline) Distribusi skala kecil-kecamatan Ia menatap lembaran itu lama. “Gue gak boleh setengah-setengah,” gumamnya. --- Keesokan harinya, sesuai janji, ia mendatangi kantor pusat PT Mitra Nusantara Hijau di kawasan bisnis Jakarta. Ia mengenakan kemeja bersih, celana kain hitam, dan tetap memakai sepatu lamanya yang disemir dengan telaten. Di dalam kantor modern itu, ia disambut staf muda yang membawanya ke ruang rapat lantai tiga. Di sana,
Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir. Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam. “aku pulang.” Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya. “Gimana Jakarta?” “Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan. “Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.” --- Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran. Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline. Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru. “Welcome home, Partner.”
Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup WhatsApp guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.“Siapa sebenarnya anak ini?”Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.---Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.---Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah meny