Beranda / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 7 - Bayangan dari Jakarta

Share

Bab 7 - Bayangan dari Jakarta

Penulis: Kaeyaa Avery
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 08:44:30

Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup W******p guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.

“Siapa sebenarnya anak ini?”

Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.

---

Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”

Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.

“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.

---

Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah menyiapkan media tanam, sebuah mobil hitam berhenti di ujung jalan desa. Tak lama, keluar seorang pria muda dengan jas abu-abu dan kacamata. Cara berjalannya tegas, gayanya formal, tapi matanya seperti menyimpan niat yang belum jelas.

“Rafiandra Siregar?”

Rafi mengangguk.

“Nama saya Dika. Saya utusan dari PT Siregar Global Group. Atasan saya ingin bertemu secara pribadi.”

Raline langsung menatap curiga. “Untuk apa?”

Dika tersenyum kecil. “Bukan urusan bisnis. Lebih ke... masa depan keluarga.”

Rafi berdiri. “Kalau mereka ingin bicara, mereka tahu rumah saya.”

“Baik,” jawab Dika. “Tapi satu hal... ayah Anda sedang sakit keras. Dan ingin bertemu.”

---

Berita itu seperti kilat di siang bolong. Meski tak pernah mengenal dekat sosok ayah kandungnya, perasaan Rafi bercampur aduk. Ia mengunci diri di kamar malam itu, hanya keluar saat subuh untuk ke ladang.

Simbo menatap dari jauh. Ia tahu, masa lalu yang selama ini mereka kubur perlahan mulai menggali dirinya sendiri.

“Rafi,” ujar Simbo keesokan harinya, “kadang kita harus bertemu dengan bayangan, bukan untuk kembali, tapi agar bisa melangkah lebih ringan.”

Rafi tak menjawab. Tapi ia mengerti.

---

Dua hari kemudian, ia memutuskan pergi ke Jakarta, kali ini tanpa selempang pemenang lomba atau tiket beasiswa. Tapi dengan satu niat: menatap masa lalu di mata.

Di rumah sakit elite itu, ia melihat Aditya Siregar—ayahnya—terbaring lemah. Pria yang dulu hanya nama di akta lahirnya, kini menjadi kenyataan di hadapannya.

Aditya membuka mata perlahan.

“Rafi...”

“Saya di sini,” jawab Rafi pelan.

“Maaf... karena membiarkan kamu tumbuh sendirian...”

Rafi menatapnya dalam. “Saya gak datang buat mendengar maaf. Saya cuma mau memastikan... bahwa saya lebih kuat dari yang kalian kira.”

Mata Aditya berkaca. “Kamu memang... jauh lebih kuat. Dan suatu hari, kamu akan memimpin... bukan hanya bisnis... tapi takdir keluarga ini.”

Rafi tak menjawab. Ia hanya berdiri lama di samping ranjang itu.

---

Malamnya, ia pulang ke penginapan, membuka ponsel, dan melihat ratusan pesan masuk. Tapi satu pesan dari Raline membuatnya tersenyum:

“Jangan berubah jadi orang kota ya. Gue tunggu lo pulang buat nyangkul bareng.”

Dan di tengah gemerlap ibu kota, Rafi kembali mengingat akar dirinya: tanah, kerja keras, dan tekad.

---

Sebelum kembali ke Srigading, Rafi menyempatkan diri mengunjungi kantor pusat Siregar Global Group. Bukan untuk menuntut hak, tapi untuk mengamati.

Ia berdiri di lobi gedung tinggi itu, mengenakan pakaian sederhana, dikelilingi orang-orang berjas yang tak mengenalnya. Tapi tak ada rasa minder. Ia menatap logo perusahaan besar itu dengan penuh arti.

“Bukan gedung ini yang besar,” gumamnya, “tapi tekad yang membuat seseorang jadi tinggi.”

Saat ia berbalik hendak pergi, seorang pria muda menghampirinya. Wajahnya bersih, sikapnya ramah.

“Kamu Rafi, kan? Aku Reihan... adik tirimu.”

Rafi mengangguk. Mereka berjabat tangan.

“Aku dengar cerita tentang kamu. Aku cuma mau bilang... apapun keputusanmu, kamu punya saudara yang gak akan menutup pintu.”

Ucapan itu mengejutkan Rafi. Tapi ia menjawab dengan tenang, “Gue lebih percaya pintu yang gue bangun sendiri. Tapi makasih.”

Reihan tersenyum. “Kalau suatu hari kamu butuh partner, bukan cuma saudara, cari aku.”

---

Dan saat kereta malam membawa Rafi pulang, ia tahu... perjalanan ini bukan tentang siapa dia dulu. Tapi siapa dia sekarang, dan siapa yang akan ia bentuk dari dirinya sendiri.

To be continued...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 71 – Luka yang Tersisa

    Angin malam menusuk tajam ketika Rafi melajukan motornya menembus jalanan sepi. Suara knalpot meraung, seolah ikut menyalurkan gejolak di dadanya. Tangan kirinya masih bergetar—bukan cuma karena sakit akibat benturan, tapi juga karena kata-kata terakhir Bang Raga yang terus terngiang di kepalanya. "Ada orang lain di balik semua ini." Rafi menggertakkan gigi. Dalang besar? Siapa lagi yang ngincer dia dan keluarganya? Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil—rumah pamannya, tempat Ara tadi ia sembunyikan. Rafi turun, napasnya masih terengah. Tubuhnya penuh lebam, tapi pikirannya cuma satu: memastikan Ara baik-baik saja. Begitu pintu dibuka, Ara langsung berlari menyambut. Wajahnya pucat, matanya sembab, jelas dia habis nangis. “Rafi!” serunya, memeluk cowok itu erat-erat. “Kamu nggak apa-apa? Aku takut banget…” Rafi diam sesaat, lalu pelan membalas pelukan itu. Rasa sakit di tubuhn

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 70 – Bayangan di Balik Layar

    Suara sirene mobil patroli masih terdengar samar di kejauhan. Jalanan yang tadi penuh suara benturan dan teriakan kini lengang, hanya menyisakan bau darah dan debu. Rafi berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tangannya masih mengepal. Lawannya—Bang Raga—sudah tumbang, tapi sebelum pingsan, mulut pria itu sempat berucap sesuatu yang bikin dada Rafi sesak. "Anak muda… lo kira semua ini cuma gue yang mainin? Hahaha… di atas gue masih ada yang jauh lebih gede." Kata-kata itu bergema di kepalanya. Rafi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya kacau. Dalang lebih besar? Siapa? Kenapa terus-menerus ada orang yang ngincer dirinya? “Rafi!” suara Ara terdengar panik dari kejauhan. Dia berlari menghampiri, wajahnya pucat melihat tubuh Rafi yang penuh lebam. “Ya Tuhan… kamu kenapa bisa kayak gini?” Rafi berusaha berdiri tegak, menahan sakit. “Aku nggak apa-apa. Cuma luka kecil.”

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 69 – Jejak Menuju Sarang Musuh

    Suara motor sport hitam meraung memecah keheningan malam, sementara Ara memeluk erat pinggang Rafi dari belakang. Jalanan yang mereka lewati udah mulai sepi, cuma ditemani lampu jalan yang redup.Rafi sengaja melambatkan laju motor ketika sampai di jembatan tua yang sepi. Dia berhenti, matiin mesin, lalu menoleh ke Ara.“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Rafi lembut sambil menyentuh bahu Ara.Ara menelan ludah, matanya masih menyisakan takut. “Aku masih gemeteran, Raf… Tapi selama ada kamu, aku yakin bisa kuat.”Rafi menarik napas panjang. “Mulai sekarang, kamu jangan sendirian lagi. Aku salah tadi ngelepas kamu jalan sendiri.”Ara menggeleng cepat. “Itu bukan salah kamu. Mereka yang keterlaluan. Tapi… sebenernya siapa sih yang nargetin aku?”Rafi menatap jauh ke depan, lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. “Bang Raga. Orang yang udah lama nyimpen dendam ke keluarga gue. Dan sekarang, dia coba nyerang lewat kamu.”

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 68 – Luka yang Meng Mengintai

    Malam turun dengan cepat, dan kota kecil tempat Rafi tinggal berubah jadi labirin lampu jalan yang temaram. Dari kamarnya, Rafi duduk menatap tumpukan kertas di meja—dokumen kerja sama dengan Pak Rendra, laporan keuangan, rencana distribusi. Semua keliatan teratur, tapi pikirannya jauh dari tenang.Pesan ancaman yang tadi siang masuk masih kebayang jelas di kepalanya. Kata “bayangan” bikin dia sadar: orang-orang ini bukan main-main. Mereka punya jaringan, punya kekuatan, dan jelas bukan tipe musuh yang gampang ditaklukin dengan satu kali pukul.Pikirannya buyar ketika ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan nomor asing. Nama Karin muncul di layar.Rafi mendesah pelan. Dia sempat ragu, tapi akhirnya menjawab.“Ada apa lagi, Karin?”Suara di seberang terdengar tergesa. “Raf, lo harus dengerin gue. Orang yang lo lawan bukan orang sembarangan. Kalau lo nekat terus—”“Lo nyari perhatian gue dengan cara ini? Udah cukup, Karin. Gue nggak but

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 67 – Jejak yang Tersisa

    Pagi itu matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana sekolah udah ramai. Anak-anak nongkrong di kantin, ada yang ribut soal PR, ada yang sekadar ngegosip soal pasangan baru. Semua keliatan normal, biasa aja, seolah dunia baik-baik aja. Tapi buat Rafi, setiap langkah di koridor sekolah terasa berat. Kayak ada bayangan yang terus nempel di pundaknya.Dia masih inget jelas semalam—dua orang yang nyerang, suara rantai besi yang nyaris nyambit kepala, dan tatapan Ara yang pucat ketakutan. Setiap kali dia merem, adegan itu muter lagi di kepalanya.“Pagi, Raf.” Ara muncul dengan senyum tipis, berusaha keliatan ceria. Tapi Rafi bisa baca jelas dari sorot matanya: cewek itu belum tenang. Dia duduk di sebelah Rafi, pura-pura sibuk ngeluarin buku dari tas.“Pagi,” jawab Rafi pendek. Dia sendiri berusaha nyembunyiin resahnya, tapi Ara tahu. Cewek itu udah terlalu sering ngeliat ekspresi asli Rafi.Sepanjang pelajaran, Ara beberapa kali nyolek Rafi. Tapi cowok

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 66 – Bayangan dalam Gelap

    Langkah Rafi keluar dari kelas terasa ringan, tapi kepalanya penuh dengan tanda tanya. Kata-kata cowok asing tadi terus terngiang di telinganya. “Bos gue mau ketemu.” Bos siapa? Apa hubungannya sama kerja sama dengan Pak Rendra? Atau jangan-jangan… ini ada kaitannya sama masa lalu keluarganya yang masih penuh rahasia?Rafi menuruni tangga sekolah dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hati ia sudah siaga penuh. Sejak kecil dia belajar, kalau musuh sudah mulai mengincar, maka yang pertama harus dijaga adalah orang-orang terdekat. Dan kali ini, yang paling dia pikirkan hanyalah Ara.Di parkiran, Ara sudah menunggu sambil duduk di motor Rafi. “Kamu lama banget. Aku kira kamu udah pulang duluan.”Rafi tersenyum tipis. “Ada yang nyamperin tadi. Nggak penting, cuma sok kenal doang.”Ara menatapnya dengan curiga, tapi akhirnya menghela napas dan tidak bertanya lagi. Mereka berdua pun melaju meninggalkan sekolah.Namun, baru beberapa ratus meter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status