Pagi itu, udara Desa Srigading terasa lebih dingin dari biasanya. Rafi terbangun lebih awal, bukan karena mimpi buruk atau suara ayam berkokok, tapi karena firasat. Sejak mobil hitam misterius itu muncul, hidupnya tak lagi sepenuhnya tenang. Ia tahu, sesuatu akan terjadi. Hanya soal waktu.
--- Di ladang, ia bekerja seperti biasa. Menyiram tanaman herbal, memeriksa bibit baru, lalu mencatat hasil panen ke dalam buku kecil. Namun matanya tak henti-henti menatap jalan tanah merah di ujung desa—tempat mobil itu muncul dan hilang tempo hari. Raline datang membawa bekal. Mereka duduk di bawah pohon jambu, makan dalam diam. Tak seperti biasanya yang penuh canda. “Kamu kelihatan capek, Fi.” “Bukan capek. Mungkin... waspada.” Raline menatapnya tajam. “Kalau ada yang ganggu, bilang ke aku. Aku bisa bantu. Aku temen kamu, bukan cuma partner bisnis.” Rafi menoleh, tersenyum tipis. “Makasih. Tapi ada hal-hal yang harus gue hadapi sendiri.” --- Hari itu juga, sebuah surat sampai ke rumah Simbo. Tidak lewat pos, tapi diselipkan di pagar. Dari: Yayasan Siregar Untuk: Rafiandra Siregar Isi: “Kami ingin bertemu. Hanya bicara. Kami tidak akan memaksa. Hubungi nomor ini jika siap.” Simbo membacanya duluan. Wajahnya kaku, tatapannya penuh kekhawatiran. “Rafi, kamu nggak harus pergi kalau belum siap.” Tapi Rafi menatap surat itu lama. Lalu ia berkata pelan, “Aku mau tahu... apa yang sebenarnya terjadi.” --- Tiga hari kemudian, Rafi menemui mereka. Pertemuan diadakan di kota kecil dekat desa, di sebuah kafe tertutup. Ia datang sendirian, memakai jaket tua dan celana yang sudah mulai pudar warnanya. Di dalam ruangan itu, duduk seorang pria tua berjubah abu-abu—tampak tenang, tapi sorot matanya tajam. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya berpenampilan anggun. Dan satu pria muda berkacamata yang sempat Rafi lihat dari kejauhan di desa. “Kamu... mirip Aditya,” kata si wanita, suara lirih. “Ayahku?” “Secara biologis, ya,” jawab pria tua. “Tapi situasinya... rumit.” Dan mulailah cerita itu terbuka perlahan: Ibunya, Siska, adalah tunangan sah Aditya Siregar, namun pada suatu malam ia menghilang karena penculikan yang dipicu persaingan bisnis keluarga. Siska ditemukan dalam kondisi hamil—padahal secara medis tidak mungkin hamil dalam waktu secepat itu sejak penculikan. Keluarga pun curiga. Hubungan diputus. Siska dibawa ke luar kota, dan Rafi lahir di sana. Tak pernah diakui. Tak pernah dijemput. “Tapi ayahmu, Aditya, sempat mencarimu. Ia percaya kamu anaknya. Tapi tekanan keluarga besar terlalu kuat. Ia menyerah... dan akhirnya menikah dengan wanita lain.” Rafi terdiam. “Kenapa sekarang kalian cari aku?” “Kami lihat kamu bukan sembarang anak. Kamu... sudah jadi seseorang meski dari nol. Kami ingin memperbaiki segalanya. Jika kamu bersedia.” Rafi berdiri. Menatap mereka satu-satu. “Aku gak butuh pengakuan setengah hati. Kalau kalian benar-benar mau perbaiki semuanya, datanglah bukan sebagai orang besar ke anak kecil. Tapi sebagai manusia ke manusia.” Dan ia pergi. --- Di perjalanan pulang, Rafi duduk di dalam angkot, memandangi luar jendela. Dadanya penuh sesak, tapi pikirannya terang. Sesampainya di rumah, Simbo memeluknya tanpa banyak tanya. Malam itu, Rafi membuka buku catatan baru. Di halaman pertama, ia tulis: “Aku bukan cuma anak dari darah siapa. Aku adalah hasil dari perjuangan. Dan perjuangan ini... belum selesai.” --- Keesokan harinya, Rafi berkumpul dengan tim kecilnya. Ia membagikan tugas baru, memperluas sistem kerja, dan membuka kelas pelatihan untuk anak-anak muda yang ingin belajar pertanian mandiri. Ia juga menghubungi Gibran, menceritakan rencananya membuka cabang baru di kota. Gibran menjawab singkat: “Waktunya naik level.” Dan Raline, yang selalu mendampinginya, tersenyum bangga. “Lo makin gila, Fi. Tapi gila yang keren.” Rafi tertawa kecil. Di sore hari yang sama, ia memutuskan mengunjungi makam ibunya. Ini pertama kalinya dalam hidup Rafi menatap batu nisan itu sambil membawa seikat bunga. “Bu, aku gak tahu apakah Ibu pernah benar-benar inginkan aku ada. Tapi aku udah sejauh ini. Dan aku akan terus jalan, dengan nama ini, dengan kaki sendiri.” Angin berembus pelan, seakan menjawabnya. Tak ada air mata di mata Rafi. Hanya keteguhan. Dan di langit desa Srigading, awan mulai menipis. Matahari sore menerobos sela-sela daun. Rafi berdiri di tepi ladang, menatap masa depan. Masa depan yang ia bangun sendiri—dengan luka, tekad, dan nama yang kini mulai punya makna. To be continued...Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika
Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,
Pagi itu, kabut masih menggantung di perbukitan desa Srigading saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Simbo. Pintu mobil terbuka pelan, dan keluar seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berkacamata hitam, dan berpenampilan elegan.Simbo yang tengah menyapu halaman langsung menegakkan tubuhnya, matanya menajam.“Bu Ratna?” gumamnya nyaris tak terdengar.Wanita itu menurunkan kacamatanya perlahan, menatap langsung ke arah Simbo.“Sudah lama ya, Simbo.”Simbo mematung. Jari-jarinya menggenggam erat gagang sapu.Dari dalam rumah, Rafi muncul sambil membawa ember kecil. Melihat mobil asing dan dua wanita yang saling tatap tanpa suara, ia mendekat pelan.“Simbo, siapa—”Seketika mata wanita itu beralih padanya. Wajahnya kaku. Nafasnya tercekat.“...Rafi?”Rafi mengernyit. “Ibu kenal saya?”Tak ada jawaban. Hanya mata yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar.---Raline datang beberapa menit kemudian, membawa laporan pengiriman mingguan. Namun saat melihat suasana di halaman
Hari itu, aula forum nasional kembali ramai dengan presentasi dan diskusi. Namun bagi Rafi, pikirannya masih tertinggal di percakapan dengan Armand Hidayat, wakil direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Ia masih tak percaya, dari ribuan peserta forum, ada satu pihak nyata dari dunia bisnis yang menawarkan kemungkinan kerja sama. Malamnya, di penginapan tempat ia menginap bersama para finalis, Rafi membuka catatannya. Ia menuliskan semua hal penting dari pembicaraan tadi. Produk ramah lingkungan berbasis desa Model penjualan hybrid (online dan offline) Distribusi skala kecil-kecamatan Ia menatap lembaran itu lama. “Gue gak boleh setengah-setengah,” gumamnya. --- Keesokan harinya, sesuai janji, ia mendatangi kantor pusat PT Mitra Nusantara Hijau di kawasan bisnis Jakarta. Ia mengenakan kemeja bersih, celana kain hitam, dan tetap memakai sepatu lamanya yang disemir dengan telaten. Di dalam kantor modern itu, ia disambut staf muda yang membawanya ke ruang rapat lantai tiga. Di sana,
Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir. Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam. “aku pulang.” Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya. “Gimana Jakarta?” “Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan. “Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.” --- Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran. Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline. Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru. “Welcome home, Partner.”
Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup WhatsApp guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.“Siapa sebenarnya anak ini?”Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.---Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.---Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah meny