Home / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 8 – Titik Balik dan Pintu Baru

Share

Bab 8 – Titik Balik dan Pintu Baru

Author: Kaeyaa Avery
last update Huling Na-update: 2025-06-22 11:21:18

Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir.

Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam.

“aku pulang.”

Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya.

“Gimana Jakarta?”

“Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan.

“Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.”

---

Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran.

Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline.

Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru.

“Welcome home, Partner.”

Rafi menerima pot itu dan tersenyum.

“Gue pikir lo bakal lupa ladang.”

“Justru itu. Gue simpen benihnya, nunggu yang nanam pulang.”

---

Hari-hari berjalan cepat. Rafi mulai menyusun ulang sistem penjualan di Rafi Farm. Kali ini ia membuat struktur lebih profesional, dengan catatan produksi, distribusi, dan bahkan sistem pre-order sederhana lewat formulir kertas.

Ia juga membuka kelas edukasi akhir pekan untuk anak-anak SD dari desa tetangga. Muridnya makin banyak, dan para guru mulai datang mengamati.

Tapi justru di tengah semua perkembangan itu, surat undangan misterius datang dari Jakarta.

“Kepada Rafiandra Siregar, Kami dari Kementerian Pemuda dan Inovasi mengundang Anda untuk menghadiri Forum Inovator Muda Nasional.”

Forum itu mempertemukan siswa, mahasiswa, dan pengusaha muda dari seluruh Indonesia.

Rafi diam beberapa saat. Surat itu memberinya peluang baru, tapi juga membuka kemungkinan untuk meninggalkan desa lebih lama.

Ia berdiri di bawah pohon mangga, memandangi tanah, ladang, dan rak tanamannya.

“Kalau gue pergi lagi… Siapa yang jaga semua ini?”

Suara Raline tiba-tiba muncul dari belakang.

“Gue.”

Rafi menoleh. “Lo yakin?”

Raline menatapnya tegas. “Gue gak bisa gantiin lo, tapi gue bisa jaga yang lo tanam.”

---

Malam itu, di beranda rumah, Simbo duduk di samping Rafi. Teh jahe mengepul di antara mereka.

“Rafi, kamu boleh terbang sejauh apapun, asal jangan lupa cara pulang.”

“Aku gak akan lupa, Simbo. Tempat ini akar Rafi”

---

Dan pada suatu pagi, kereta kembali membawa Rafi ke ibu kota. Tapi kali ini, dia tidak hanya membawa nama sebagai juara lomba, atau anak petani dari desa.

Kali ini, dia datang sebagai calon pemimpin masa depan.

Dengan benih tekad yang tumbuh dari tanah desa, dan mimpi yang menembus batas langit.

Di dalam forum, ia bertemu puluhan pemuda hebat dari berbagai penjuru negeri—ada yang ahli teknologi, ada yang aktif di sosial, dan ada pula yang sudah punya usaha rintisan bernilai ratusan juta. Rafi sempat kagum, namun tak sedikit pun merasa kecil.

Ia tahu, dirinya tidak kalah.

Salah satu pembicara di forum, seorang CEO muda dari Bandung, mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Rafi saat diskusi terbuka.

“Kamu, anak muda dari desa. Ceritamu sempat viral. Aku penasaran, apa yang sebenarnya ingin kamu capai dari semua ini?”

Rafi berdiri pelan. Suaranya tenang, tapi mantap.

“Aku gak cari pujian. Aku cuma mau buktiin, kalau masa depan itu bisa ditanam dari tanah kecil dan kerja keras. Bukan dari siapa orang tua kita.”

Tepuk tangan menggema. Banyak mata mulai memandangnya bukan hanya sebagai peserta.

Tapi sebagai pemimpin.

---

Di luar aula tempat forum berlangsung, Rafi duduk sendiri di bawah pohon flamboyan, mencatat ide-ide baru di buku kecilnya. Saat itulah seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu menghampirinya.

“Rafiandra Siregar?”

“Iya, Pak.”

“Saya Armand Hidayat. Wakil Direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Kami bergerak di bidang agroteknologi. Saya tertarik dengan presentasi kamu dan ingin ngobrol lebih lanjut.”

Rafi menatap pria itu dengan heran. “Maksud Bapak?”

“Kalau kamu bersedia, saya ingin mengundang kamu ke kantor kami setelah forum ini selesai. Kita bisa bahas kemungkinan kolaborasi. Produk kamu punya potensi besar.”

Rafi terdiam. Ini bukan lagi sekadar kompetisi atau lomba.

Ini dunia nyata.

Dan ia baru saja mengetuk pintunya.

To be continued...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 71 – Luka yang Tersisa

    Angin malam menusuk tajam ketika Rafi melajukan motornya menembus jalanan sepi. Suara knalpot meraung, seolah ikut menyalurkan gejolak di dadanya. Tangan kirinya masih bergetar—bukan cuma karena sakit akibat benturan, tapi juga karena kata-kata terakhir Bang Raga yang terus terngiang di kepalanya. "Ada orang lain di balik semua ini." Rafi menggertakkan gigi. Dalang besar? Siapa lagi yang ngincer dia dan keluarganya? Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil—rumah pamannya, tempat Ara tadi ia sembunyikan. Rafi turun, napasnya masih terengah. Tubuhnya penuh lebam, tapi pikirannya cuma satu: memastikan Ara baik-baik saja. Begitu pintu dibuka, Ara langsung berlari menyambut. Wajahnya pucat, matanya sembab, jelas dia habis nangis. “Rafi!” serunya, memeluk cowok itu erat-erat. “Kamu nggak apa-apa? Aku takut banget…” Rafi diam sesaat, lalu pelan membalas pelukan itu. Rasa sakit di tubuhn

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 70 – Bayangan di Balik Layar

    Suara sirene mobil patroli masih terdengar samar di kejauhan. Jalanan yang tadi penuh suara benturan dan teriakan kini lengang, hanya menyisakan bau darah dan debu. Rafi berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tangannya masih mengepal. Lawannya—Bang Raga—sudah tumbang, tapi sebelum pingsan, mulut pria itu sempat berucap sesuatu yang bikin dada Rafi sesak. "Anak muda… lo kira semua ini cuma gue yang mainin? Hahaha… di atas gue masih ada yang jauh lebih gede." Kata-kata itu bergema di kepalanya. Rafi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya kacau. Dalang lebih besar? Siapa? Kenapa terus-menerus ada orang yang ngincer dirinya? “Rafi!” suara Ara terdengar panik dari kejauhan. Dia berlari menghampiri, wajahnya pucat melihat tubuh Rafi yang penuh lebam. “Ya Tuhan… kamu kenapa bisa kayak gini?” Rafi berusaha berdiri tegak, menahan sakit. “Aku nggak apa-apa. Cuma luka kecil.”

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 69 – Jejak Menuju Sarang Musuh

    Suara motor sport hitam meraung memecah keheningan malam, sementara Ara memeluk erat pinggang Rafi dari belakang. Jalanan yang mereka lewati udah mulai sepi, cuma ditemani lampu jalan yang redup.Rafi sengaja melambatkan laju motor ketika sampai di jembatan tua yang sepi. Dia berhenti, matiin mesin, lalu menoleh ke Ara.“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Rafi lembut sambil menyentuh bahu Ara.Ara menelan ludah, matanya masih menyisakan takut. “Aku masih gemeteran, Raf… Tapi selama ada kamu, aku yakin bisa kuat.”Rafi menarik napas panjang. “Mulai sekarang, kamu jangan sendirian lagi. Aku salah tadi ngelepas kamu jalan sendiri.”Ara menggeleng cepat. “Itu bukan salah kamu. Mereka yang keterlaluan. Tapi… sebenernya siapa sih yang nargetin aku?”Rafi menatap jauh ke depan, lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. “Bang Raga. Orang yang udah lama nyimpen dendam ke keluarga gue. Dan sekarang, dia coba nyerang lewat kamu.”

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 68 – Luka yang Meng Mengintai

    Malam turun dengan cepat, dan kota kecil tempat Rafi tinggal berubah jadi labirin lampu jalan yang temaram. Dari kamarnya, Rafi duduk menatap tumpukan kertas di meja—dokumen kerja sama dengan Pak Rendra, laporan keuangan, rencana distribusi. Semua keliatan teratur, tapi pikirannya jauh dari tenang.Pesan ancaman yang tadi siang masuk masih kebayang jelas di kepalanya. Kata “bayangan” bikin dia sadar: orang-orang ini bukan main-main. Mereka punya jaringan, punya kekuatan, dan jelas bukan tipe musuh yang gampang ditaklukin dengan satu kali pukul.Pikirannya buyar ketika ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan nomor asing. Nama Karin muncul di layar.Rafi mendesah pelan. Dia sempat ragu, tapi akhirnya menjawab.“Ada apa lagi, Karin?”Suara di seberang terdengar tergesa. “Raf, lo harus dengerin gue. Orang yang lo lawan bukan orang sembarangan. Kalau lo nekat terus—”“Lo nyari perhatian gue dengan cara ini? Udah cukup, Karin. Gue nggak but

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 67 – Jejak yang Tersisa

    Pagi itu matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana sekolah udah ramai. Anak-anak nongkrong di kantin, ada yang ribut soal PR, ada yang sekadar ngegosip soal pasangan baru. Semua keliatan normal, biasa aja, seolah dunia baik-baik aja. Tapi buat Rafi, setiap langkah di koridor sekolah terasa berat. Kayak ada bayangan yang terus nempel di pundaknya.Dia masih inget jelas semalam—dua orang yang nyerang, suara rantai besi yang nyaris nyambit kepala, dan tatapan Ara yang pucat ketakutan. Setiap kali dia merem, adegan itu muter lagi di kepalanya.“Pagi, Raf.” Ara muncul dengan senyum tipis, berusaha keliatan ceria. Tapi Rafi bisa baca jelas dari sorot matanya: cewek itu belum tenang. Dia duduk di sebelah Rafi, pura-pura sibuk ngeluarin buku dari tas.“Pagi,” jawab Rafi pendek. Dia sendiri berusaha nyembunyiin resahnya, tapi Ara tahu. Cewek itu udah terlalu sering ngeliat ekspresi asli Rafi.Sepanjang pelajaran, Ara beberapa kali nyolek Rafi. Tapi cowok

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 66 – Bayangan dalam Gelap

    Langkah Rafi keluar dari kelas terasa ringan, tapi kepalanya penuh dengan tanda tanya. Kata-kata cowok asing tadi terus terngiang di telinganya. “Bos gue mau ketemu.” Bos siapa? Apa hubungannya sama kerja sama dengan Pak Rendra? Atau jangan-jangan… ini ada kaitannya sama masa lalu keluarganya yang masih penuh rahasia?Rafi menuruni tangga sekolah dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hati ia sudah siaga penuh. Sejak kecil dia belajar, kalau musuh sudah mulai mengincar, maka yang pertama harus dijaga adalah orang-orang terdekat. Dan kali ini, yang paling dia pikirkan hanyalah Ara.Di parkiran, Ara sudah menunggu sambil duduk di motor Rafi. “Kamu lama banget. Aku kira kamu udah pulang duluan.”Rafi tersenyum tipis. “Ada yang nyamperin tadi. Nggak penting, cuma sok kenal doang.”Ara menatapnya dengan curiga, tapi akhirnya menghela napas dan tidak bertanya lagi. Mereka berdua pun melaju meninggalkan sekolah.Namun, baru beberapa ratus meter

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status