Share

Luka Tembak

Author: eyes0cream
last update Last Updated: 2024-07-04 12:59:24

Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.

Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.

Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”

Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.

Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.

Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja menghapus jejak keberadaannya.

Dia mendekati pintu yang menurutnya baru saja tertutup. Tangannya terangkat, ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menyentuh gagang pintu.

“Kita tidak bisa asal masuk," tegas Detektif Otero sambil mencengkram lengan Alphonse. “Ayo, kita masih memiliki dua korban lagi.”

Alphonse meliriknya sekilas, lalu kembali menatap pintu. Dia tetap menempelkan telapak tangannya ke gagang pintu, merasakan sisa-sisa kehangatan di sana. Pintu ini baru saja digunakan. Dan orang di dalam... mungkin masih berdiri tepat di baliknya.

“Aku mengerti," gumam Alphonse. Dia berbalik dan berjalan menuju lift.

Kamar korban berikutnya ada di lantai empat. Lift berbunyi pelan saat tiba, pintunya terbuka memperlihatkan koridor yang lebih luas dan temaram. Bayangan lampu gantung memanjang di lantai marmer, menciptakan siluet yang bergerak seiring langkah mereka. Namun, bahkan setelah berpindah tempat, Alphonse tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa sepasang mata masih mengawasi dari kegelapan.

Di dalam kamar 412, para petugas forensik masih bekerja. Bau larutan antiseptik bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Lampu kamera sesekali berkedip saat mereka mendokumentasikan tubuh korban yang bersandar pada dinding. Noda darah yang gelap mengering di sekitar kepala dan lehernya, sementara sebuah pistol tergeletak di tangan kiri yang terkulai.

Detektif Otero melangkah lebih dekat, matanya menyapu ruangan sebelum berhenti pada salah satu petugas. “Apa yang kita punya?”

Seorang petugas forensik menoleh. “Korban bernama Brandon Hoffman, 42 tahun. Luka tembak di kepala, sudut tembakan mengarah ke atas. Sekilas tampak seperti bunuh diri, tapi…” Dia melirik pistol di tangan korban sebelum melanjutkan, “…ada beberapa kejanggalan.”

“Tolong beri kami ruang,” pinta Detektif Otero dengan tegas, mengisyaratkan para petugas forensik untuk mundur.

Alphonse mengeluarkan sarung tangan silikon baru dari saku mantelnya, jari-jarinya bergerak cekatan saat mengenakannya. Saat dia berlutut di samping tubuh korban, aroma darah yang mulai mengering bercampur dengan bau antiseptik memenuhi hidungnya.

Detektif Otero menyilangkan tangan di dada. “Kejanggalan apa yang kau maksud?”

Petugas forensik mengalihkan pandangan ke pistol di tangan korban. “Posisi senjata ini tidak alami. Jari-jari korban tidak cukup menekan pelatuk untuk menimbulkan luka fatal, yang berarti kemungkinan besar senjata ditempatkan di tangannya setelah kematian.”

Alphonse memperhatikan sudut luka tembak dengan teliti. “Sudut masuknya memang terlalu curam untuk kasus bunuh diri. Jika dia menembak dirinya sendiri, posisi pistol seharusnya lebih rendah dan sedikit condong.”

“Tepat.” Petugas forensik mengangguk. “Dan yang lebih mencurigakan, tidak ada residu mesiu di tangan korban.”

“Bagaimana menurutmu?” tanya Detektif Otero pada Alphonse.

Alphonse meneliti luka tembak dengan saksama. “Saat senjata api ditembakkan, bukan hanya peluru yang melesat, tapi juga gas berkecepatan tinggi serta partikel mesiu yang terbakar. Jika pistol ditembakkan dari jarak sangat dekat, partikel itu akan menyebabkan luka bakar pada kulit.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Itu akan memunculkan tanda belang kecil atau bintik-bintik di sekitar luka masuk. Tapi aku nggak menemukannya di sini.”

Detektif Otero menghela napas pelan, ekspresinya mengeras. “Jadi seseorang menembaknya, lalu menaruh pistol di tangannya untuk merekayasa adegan bunuh diri.” Dia menoleh pada petugas forensik. “Pastikan kita mendapatkan analisis lengkap.”

Petugas forensik mengangguk dan kembali bekerja tanpa membuang waktu.

Detektif Otero melirik tubuh korban yang bersandar di dinding, lalu menatap Alphonse dengan alis berkerut. "Brandon Hoffman bukan pria kecil. Lihat posturnya—bahu lebar, tubuh kokoh. Bagaimana seseorang bisa menembaknya dari sudut seperti ini?"

Alphonse mengamati sudut luka sekali lagi, lalu berdiri dan melangkah mundur, membayangkan kemungkinan posisi penembak. "Kalau melihat sudut tembakan yang curam, ada dua kemungkinan. Pertama, pelaku lebih tinggi dari korban dan menembaknya dari atas—tapi itu sulit dilakukan jika mereka berdiri berhadapan."

Detektif Otero menyilangkan tangan. "Atau?"

Alphonse menoleh ke arah meja di sudut ruangan, lalu kembali menatap mayat. "Atau korban dalam posisi lebih rendah saat ditembak. Bisa jadi dia sedang duduk, atau..." Dia mengangkat dagunya sedikit, matanya menyipit. "Dipaksa berlutut."

Detektif Otero menghela napas berat. "Kalau itu yang terjadi, maka kita sedang berurusan dengan eksekusi, bukan sekadar pembunuhan biasa. Hmm? Apa yang kau lakukan?"

Alphonse kembali berjongkok di samping korban. Dengan hati-hati, ia memiringkan kepala Brandon Hoffman, jemarinya menyusuri leher pria itu. Matanya menyipit ketika menangkap sesuatu yang nyaris tersembunyi di bawah pencahayaan kamar yang temaram. “Jawabannya ada di sini,” katanya dengan serius.

Detektif Otero berjongkok di sampingnya. “Apa yang kau lihat?”

Alphonse menunjuk ke bagian sisi leher korban. “Memar samar. Nggak terlalu jelas di permukaan, tapi cukup dalam untuk menunjukkan bahwa ada tekanan kuat di sini sebelum kematian.” Dia menggerakkan jari telunjuknya, mengukur pola memar tersebut. “Bisa jadi korban dikunci dalam cengkeraman lengan atau ditekan dengan tangan. Jika benar begitu, dia kemungkinan besar sudah setengah nggak sadarkan diri saat ditembak.”

Detektif Otero menghela napas panjang, ekspresinya mengeras. “Itu menjelaskan bagaimana seseorang bisa menundukkan pria sebesar ini. Pelaku memastikan dia tidak bisa melawan sebelum menghabisinya.”

Alphonse mengangguk, pandangannya tetap terpaku pada luka tembak. “Pendekatan yang cukup rumit, tapi juga metodis.”

Seorang petugas forensik tiba-tiba berseru, menarik perhatian semua orang di ruangan. Dengan ekspresi tegang, dia mengangkat selembar kertas kusut yang baru saja ditemukan di dalam sebuah buku catatan bersampul hitam. “Detektif, kalian harus melihat ini.”

Detektif Otero segera mendekat, Alphonse mengikuti di belakangnya. Petugas itu menyerahkan kertas tersebut. 

Mereka tahu terlalu banyak. Kita harus segera bertindak.

Detektif Otero mengernyit, membaca pesan itu dengan saksama. “Siapa ‘mereka’?” gumamnya.

Alphonse menatap tulisan itu, matanya menyipit tajam. “Itu pertanyaan yang salah,” katanya dingin. “Yang seharusnya kau tanyakan adalah: seberapa cepat mereka harus bertindak?” Pupil matanya melebar saat dia menyadari sesuatu. Napasnya sempat tertahan sejenak sebelum dia berbisik, “Dan yang lebih penting… aku tahu siapa yang menulisnya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Riak di Lautan Kertas

    Ruang arsip kota St. Soulheim menyimpan napas masa lalu dalam setiap rak berdebu dan laci berderit. Aroma kertas tua menyatu dengan udara yang stagnan, seakan waktu enggan bergerak di tempat ini. Di tengah lorong sempit berisi berkas dan dokumen catatan sipil, berdiri seorang pria asing yang baru semalam tiba di kota—tapi sorot matanya seperti telah tinggal di sana seumur hidup.Alphonse menelusuri laci-laci dengan ketelitian seorang arsitek yang sedang membedah reruntuhan. Tangannya menyentuh berkas-berkas kelahiran, surat keputusan wali kota, peta tata ruang yang tak diperbarui sejak awal milenium. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, terutama dokumen yang kelihatannya telah disusun ulang… atau sengaja dikaburkan.Di ujung ruang, pegawai wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia menatap Alphonse yang dengan tenang membuka laci-laci berisi dokumen, seolah sudah tahu apa yang dicari. Beberapa kali dia melirik ke arah meja tapi takut jika pemuda yang tidak diketahui a

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Susceptibility

    Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Catatan Tua

    Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Wanita yang Tahu Segalanya

    Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   St. Soulheim; Arrival

    Di jantung St. Soulheim, di mana jalanan berbatu berkelok di bawah bayang-bayang menara gereja tua yang telah berdiri sejak zaman sebelum perang, terdapat sebuah rumah megah. Sebuah bangunan yang lebih layak disebut istana daripada sekadar tempat tinggal itu terlihat mencolok di antara deretan rumah lainnya. Pilar-pilar marmer yang tinggi dan kokoh menopang fasadnya, sementara dua patung singa hitam berjaga diam di gerbang depan—mata mereka memandang lurus, seolah mengawasi siapa pun yang berani mendekat.Di sanalah tinggal seorang pria yang, bagi banyak warga, bukan hanya orang terkaya di kota—tapi juga "pemilik" sebenarnya dari St. Soulheim. Namanya Edelmar Vollen. Seorang pria berusia lima puluh tujuh tahun dengan perut bundar seperti mangkuk logam. Hal paling diingat darinya adalah suara tawanya yang bisa terdengar dari dua blok jauhnya. Tapi jangan tertipu oleh perawakannya yang terlihat lemah; matanya tajam seperti pedagang tua yang selalu tahu lebih banyak dari yang dia biarkan

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   St. Soulheim; Introduction

    Kabut menggantung rendah di atas kota. Seperti selimut lembap yang menolak terangkat, dia melingkupi atap-atap miring bangunan tua yang nyaris seluruhnya berlumut. Kabut menyusup di antara celah jendela yang jarang sekali dibuka. Sering kali juga menelusup masuk ke dalam lorong-lorong sempit yang hanya dikenal oleh kaki-kaki penduduknya.Bau arang terbakar menguar dari cerobong-cerobong batu, bercampur dengan aroma tanah basah dan sisa hujan semalam yang belum juga mengering. Di kota ini, musim seolah tidak pernah berganti. Hujan datang tidak sebagai tamu, melainkan penghuni tetap. Gerimisnya malas, tapi tekun—turun perlahan, nyaris tidak bersuara.Gerimis meninggalkan jejak pada batu-batu tua yang membentuk jalanan berkelok. Batu-batu itu, jika diperhatikan, terlihat seperti menyimpan gema langkah-langkah dari masa lalu. Bunyi derap sepatu kulit, suara roda kereta kuda, dan bisikan yang telah lama terbenam dalam waktu.Di depan sebuah toko roti kecil yang sudah berdiri sejak masa kol

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Parting Ways

    Jumat, 22 Maret 2024/07:11 MalamLangit malam menggulung pelan seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat jatuh. Udara di dermaga berbau asin, bercampur kabut tipis yang menyelimuti laut gelap sejauh mata memandang. Suara ombak menghantam lambung kapal kayu tua yang bergoyang perlahan. Lampu-lampu pelabuhan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara peti-peti kayu dan tali tambat yang berserakan.Mereka berdiri diam dalam lingkaran kecil, masing-masing dibalut perban dan luka yang belum sempat sembuh benar. Uehara bersandar pada tongkat jalannya, sementara Jesse menahan napas setiap kali bergerak. Valerie memeluk dirinya sendiri, sesekali menatap langit seolah berharap bintang-bintang bisa memberi petunjuk. Alphonse menjadi satu-satunya sosok yang berdiri tegak meski bajunya masih ternoda darah kering. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Akan ada seseorang yang kupercaya menjemput kalian nanti. Bersembunyilah di sana untuk sementara wakt

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   The Bloody Fang, Kael Thorne

    Dengan gigi terkatup dan tatapan membara, Alphonse berbalik menghadap pria bersenjata itu. Tangan kirinya sudah menahan darah yang mengalir dari bahu kanannya. Valerie menatap dengan napas tercekat. Tubuhnya setengah berdiri dari balik perlindungan mobil, mata membelalak melihat Alphonse yang tetap berdiri meski darah terus menetes.Alphonse tahu satu hal—jika dia diam, semuanya akan berakhir di sini.Dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, dia meraih kembali tongkat setrum dari tanah. Darah dari bahu kanannya mengalir makin deras, tapi sorot matanya tidak goyah. Langkahnya pelan, mantap, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.Ardent Blades yang bersenjata itu memasang kembali bidikannya, tapi Alphonse tidak memberinya waktu. Begitu senapan itu sedikit bergeser, Alphonse menerjang. Bahu kanannya seketika terasa seperti disayat bara api, tapi dia paksa tubuhnya bergerak.Dengan hentakan cepat, dia mengayunkan tongkat setrum ke arah pistol—zzt!Sentakan listrik meledak di u

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Terperangkap

    Mobil Jesse Fox berguncang lebih keras saat ban depan yang ditembak terus kehilangan tekanan. Setir digerakkan dengan cepat, hampir tidak memberi waktu bagi Jesse untuk bernapas. Mata tajamnya menatap jalanan yang semakin sempit, dan dalam sekejap, dia tahu bahwa hanya sedikit ruang yang tersisa untuk melarikan diri.Di kursi belakang, Alphonse menahan napas. Valerie di pelukannya, matanya terpejam, tubuhnya terhimpit oleh pelukan Alphonse. Meski keadaan semakin gawat, Alphonse tetap menjaga kewaspadaan, matanya mengawasi setiap gerakan yang ada di luar sana. Mereka dikejar oleh dua motor yang semakin dekat, dan suara knalpot yang menggelegar membuat suasana semakin mencekam."Jesse, kita harus segera keluar dari sini!" teriak Alphonse.Jesse tidak menjawab. Dia hanya memusatkan perhatian penuh pada setir. Tapi, dengan setiap detik yang berlalu, jalanan terasa semakin sempit. Dua motor itu semakin dekat. Tembakan terus dilontarkan, mengarah tepat ke mobil mereka. Kaca anti peluru mung

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status