Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.
Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.
Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”
Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.
Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja menghapus jejak keberadaannya.
Dia mendekati pintu yang menurutnya baru saja tertutup. Tangannya terangkat, ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menyentuh gagang pintu.
“Kita tidak bisa asal masuk," tegas Detektif Otero sambil mencengkram lengan Alphonse. “Ayo, kita masih memiliki dua korban lagi.”
Alphonse meliriknya sekilas, lalu kembali menatap pintu. Dia tetap menempelkan telapak tangannya ke gagang pintu, merasakan sisa-sisa kehangatan di sana. Pintu ini baru saja digunakan. Dan orang di dalam... mungkin masih berdiri tepat di baliknya.
“Aku mengerti," gumam Alphonse. Dia berbalik dan berjalan menuju lift.
Kamar korban berikutnya ada di lantai empat. Lift berbunyi pelan saat tiba, pintunya terbuka memperlihatkan koridor yang lebih luas dan temaram. Bayangan lampu gantung memanjang di lantai marmer, menciptakan siluet yang bergerak seiring langkah mereka. Namun, bahkan setelah berpindah tempat, Alphonse tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa sepasang mata masih mengawasi dari kegelapan.
Di dalam kamar 412, para petugas forensik masih bekerja. Bau larutan antiseptik bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Lampu kamera sesekali berkedip saat mereka mendokumentasikan tubuh korban yang bersandar pada dinding. Noda darah yang gelap mengering di sekitar kepala dan lehernya, sementara sebuah pistol tergeletak di tangan kiri yang terkulai.
Detektif Otero melangkah lebih dekat, matanya menyapu ruangan sebelum berhenti pada salah satu petugas. “Apa yang kita punya?”
Seorang petugas forensik menoleh. “Korban bernama Brandon Hoffman, 42 tahun. Luka tembak di kepala, sudut tembakan mengarah ke atas. Sekilas tampak seperti bunuh diri, tapi…” Dia melirik pistol di tangan korban sebelum melanjutkan, “…ada beberapa kejanggalan.”
“Tolong beri kami ruang,” pinta Detektif Otero dengan tegas, mengisyaratkan para petugas forensik untuk mundur.
Alphonse mengeluarkan sarung tangan silikon baru dari saku mantelnya, jari-jarinya bergerak cekatan saat mengenakannya. Saat dia berlutut di samping tubuh korban, aroma darah yang mulai mengering bercampur dengan bau antiseptik memenuhi hidungnya.
Detektif Otero menyilangkan tangan di dada. “Kejanggalan apa yang kau maksud?”
Petugas forensik mengalihkan pandangan ke pistol di tangan korban. “Posisi senjata ini tidak alami. Jari-jari korban tidak cukup menekan pelatuk untuk menimbulkan luka fatal, yang berarti kemungkinan besar senjata ditempatkan di tangannya setelah kematian.”
Alphonse memperhatikan sudut luka tembak dengan teliti. “Sudut masuknya memang terlalu curam untuk kasus bunuh diri. Jika dia menembak dirinya sendiri, posisi pistol seharusnya lebih rendah dan sedikit condong.”
“Tepat.” Petugas forensik mengangguk. “Dan yang lebih mencurigakan, tidak ada residu mesiu di tangan korban.”
“Bagaimana menurutmu?” tanya Detektif Otero pada Alphonse.
Alphonse meneliti luka tembak dengan saksama. “Saat senjata api ditembakkan, bukan hanya peluru yang melesat, tapi juga gas berkecepatan tinggi serta partikel mesiu yang terbakar. Jika pistol ditembakkan dari jarak sangat dekat, partikel itu akan menyebabkan luka bakar pada kulit.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Itu akan memunculkan tanda belang kecil atau bintik-bintik di sekitar luka masuk. Tapi aku nggak menemukannya di sini.”
Detektif Otero menghela napas pelan, ekspresinya mengeras. “Jadi seseorang menembaknya, lalu menaruh pistol di tangannya untuk merekayasa adegan bunuh diri.” Dia menoleh pada petugas forensik. “Pastikan kita mendapatkan analisis lengkap.”
Petugas forensik mengangguk dan kembali bekerja tanpa membuang waktu.
Detektif Otero melirik tubuh korban yang bersandar di dinding, lalu menatap Alphonse dengan alis berkerut. "Brandon Hoffman bukan pria kecil. Lihat posturnya—bahu lebar, tubuh kokoh. Bagaimana seseorang bisa menembaknya dari sudut seperti ini?"
Alphonse mengamati sudut luka sekali lagi, lalu berdiri dan melangkah mundur, membayangkan kemungkinan posisi penembak. "Kalau melihat sudut tembakan yang curam, ada dua kemungkinan. Pertama, pelaku lebih tinggi dari korban dan menembaknya dari atas—tapi itu sulit dilakukan jika mereka berdiri berhadapan."
Detektif Otero menyilangkan tangan. "Atau?"
Alphonse menoleh ke arah meja di sudut ruangan, lalu kembali menatap mayat. "Atau korban dalam posisi lebih rendah saat ditembak. Bisa jadi dia sedang duduk, atau..." Dia mengangkat dagunya sedikit, matanya menyipit. "Dipaksa berlutut."
Detektif Otero menghela napas berat. "Kalau itu yang terjadi, maka kita sedang berurusan dengan eksekusi, bukan sekadar pembunuhan biasa. Hmm? Apa yang kau lakukan?"
Alphonse kembali berjongkok di samping korban. Dengan hati-hati, ia memiringkan kepala Brandon Hoffman, jemarinya menyusuri leher pria itu. Matanya menyipit ketika menangkap sesuatu yang nyaris tersembunyi di bawah pencahayaan kamar yang temaram. “Jawabannya ada di sini,” katanya dengan serius.
Detektif Otero berjongkok di sampingnya. “Apa yang kau lihat?”
Alphonse menunjuk ke bagian sisi leher korban. “Memar samar. Nggak terlalu jelas di permukaan, tapi cukup dalam untuk menunjukkan bahwa ada tekanan kuat di sini sebelum kematian.” Dia menggerakkan jari telunjuknya, mengukur pola memar tersebut. “Bisa jadi korban dikunci dalam cengkeraman lengan atau ditekan dengan tangan. Jika benar begitu, dia kemungkinan besar sudah setengah nggak sadarkan diri saat ditembak.”
Detektif Otero menghela napas panjang, ekspresinya mengeras. “Itu menjelaskan bagaimana seseorang bisa menundukkan pria sebesar ini. Pelaku memastikan dia tidak bisa melawan sebelum menghabisinya.”
Alphonse mengangguk, pandangannya tetap terpaku pada luka tembak. “Pendekatan yang cukup rumit, tapi juga metodis.”
Seorang petugas forensik tiba-tiba berseru, menarik perhatian semua orang di ruangan. Dengan ekspresi tegang, dia mengangkat selembar kertas kusut yang baru saja ditemukan di dalam sebuah buku catatan bersampul hitam. “Detektif, kalian harus melihat ini.”
Detektif Otero segera mendekat, Alphonse mengikuti di belakangnya. Petugas itu menyerahkan kertas tersebut.
Mereka tahu terlalu banyak. Kita harus segera bertindak.
Detektif Otero mengernyit, membaca pesan itu dengan saksama. “Siapa ‘mereka’?” gumamnya.
Alphonse menatap tulisan itu, matanya menyipit tajam. “Itu pertanyaan yang salah,” katanya dingin. “Yang seharusnya kau tanyakan adalah: seberapa cepat mereka harus bertindak?” Pupil matanya melebar saat dia menyadari sesuatu. Napasnya sempat tertahan sejenak sebelum dia berbisik, “Dan yang lebih penting… aku tahu siapa yang menulisnya.”
Ruang arsip kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang biasa—melainkan sunyi yang menekan, seperti udara yang sedang menyimpan rahasia. Bau kertas tua dan logam berkarat menggantung di udara, seolah menolak dibersihkan oleh waktu atau niat baik. Lampu neon di langit-langit sesekali bergetar, mengeluarkan bunyi dengung rendah yang menambah suasana janggal.Alphonse berdiri diam di tengah lorong, tubuhnya membeku bukan karena takut, tapi karena nalurinya menjerit: sesuatu di sini belum selesai. Sesuatu sedang menunggu untuk ditemukan—atau lebih tepatnya, untuk dilepaskan.Dan dalam diam yang terlalu panjang itu, dia merasa seperti orang terakhir yang masih mendengarkan bisikan bangkai-bangkai masa lalu. Pikirannya jauh lebih dalam dari tinta dan kertas yang ada dalam semua berkas-berkas itu. Seolah setiap lembar di dalamnya menyimpan suara, dan dia mencoba mendengarkan.Pegawai wanita yang hanya diam saja akhirnya bicara. Suaranya kecil, nyaris seperti bisikan.“Anda seharusnya tidak berbicar
Di dalam ruang arsip yang sunyi, keheningan itu hampir bisa dipotong dengan pisau. Edelmar, dengan ekspresi datarnya, tidak langsung merespons. Kedua matanya yang tajam menilai, mengukur setiap kata yang terucap, namun dia tetap diam. Keheningan yang tercipta bukan karena kebingungan, tetapi lebih karena sebuah keputusan yang tengah ditimbang di dalam pikirannya."Dan jika saya bilang…” suaranya memecah keheningan. Suara itu tenang, tapi tegang, “...jarumnya memang tidak pernah berhenti, hanya tidak terdengar oleh telinga biasa?"Alphonse tersenyum tipis, ada sesuatu dalam senyum itu yang mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia ingin ungkapkan. "Saya rasa saya sudah tahu apa yang sedang Anda coba sampaikan."Di belakang mereka, pegawai wanita itu masih berdiri kaku, seperti bayangan yang tidak ingin ikut campur. Dunia di ruang arsip terasa mengecil, hanya ada dua kutub yang saling bertarung—Alphonse dan Edelmar. Ruang ini menjadi medan magnet yang tidak terhindarkan, setiap kalim
Ruang arsip kota St. Soulheim menyimpan napas masa lalu dalam setiap rak berdebu dan laci berderit. Aroma kertas tua menyatu dengan udara yang stagnan, seakan waktu enggan bergerak di tempat ini. Di tengah lorong sempit berisi berkas dan dokumen catatan sipil, berdiri seorang pria asing yang baru semalam tiba di kota—tapi sorot matanya seperti telah tinggal di sana seumur hidup.Alphonse menelusuri laci-laci dengan ketelitian seorang arsitek yang sedang membedah reruntuhan. Tangannya menyentuh berkas-berkas kelahiran, surat keputusan wali kota, peta tata ruang yang tak diperbarui sejak awal milenium. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, terutama dokumen yang kelihatannya telah disusun ulang… atau sengaja dikaburkan.Di ujung ruang, pegawai wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia menatap Alphonse yang dengan tenang membuka laci-laci berisi dokumen, seolah sudah tahu apa yang dicari. Beberapa kali dia melirik ke arah meja tapi takut jika pemuda yang tidak diketahui a
Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann
Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki
Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has