Dua bulan yang lalu
NARASI ALPHONSE
Hal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?
Aku lebih baik tidur siang.
Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.
Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.
Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang ketakutan. Klise!
"Aku nggak suka melakukan ini, tapi aku butuh bantuanmu," katanya tiba-tiba.
Oh, betapa menyentuh. Seseorang yang jelas-jelas nggak ingin berada di sini, tapi tetap datang. Aku menyandarkan diri ke kursi—sedikit bergeser dan berderit pelan, akibat kebiasaan burukku bersandar terlalu jauh ke belakang. Menunggu. Lalu, dia berbicara lagi. Dan saat itulah aku menyadari satu hal…
Aku seharusnya tetap tidur siang saja.
"—dengar nggak sih? Aku sedang bicara denganmu," seru Marilyn Cass. “Aku nggak punya banyak waktu, jadi aku akan langsung saja—”
Aku membuka sebelah mata, menatapnya malas. “Bagus. Aku juga nggak punya banyak kesabaran.”
Marilyn Cass mendengus pelan, lalu tanpa basa-basi, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa foto, meletakkannya di meja dengan gerakan sedikit terburu-buru.
"Aku mencari pamanku," katanya akhirnya, suaranya terdengar tegang, tapi tetap berusaha terdengar tegas. "Dia menghilang lebih dari sebulan yang lalu, dan polisi nggak melakukan apa-apa."
Aku menghela napas, melirik foto-foto yang tersebar di atas meja. Seorang pria paruh baya, mungkin akhir lima puluhan. Garis wajahnya tegas, tapi ada sesuatu di matanya yang menarik perhatianku—entah itu ketakutan, kelelahan, atau keduanya. Beberapa foto lainnya menunjukkan pria itu di lokasi berbeda: di sebuah kantor, di depan rumah tua, dan satu lagi di dalam bar yang remang-remang.
Aku menatap Marilyn dengan malas. "Dan kau mengira aku bisa menemukannya?" tanyaku datar.
Marilyn menghela napas keras, jelas frustrasi. "Polisi hanya peduli kalau ada mayat," katanya, menatapku tajam seolah menantang. "Tapi dia masih hidup. Aku tahu dia masih hidup."
Mataku kembali turun ke foto-foto itu. Menghilang lebih dari sebulan? Tanpa jejak? Bisa jadi dia kabur. Bisa juga dia memang ingin dilupakan. Atau... seseorang ingin dia dilupakan. Sebagian besar kasus orang hilang berakhir dengan kesimpulan yang sama: orangnya ditemukan dalam keadaan lebih buruk dari yang diharapkan, atau sama sekali nggak ditemukan.
Tapi ada sesuatu dalam cara Marilyn berbicara—tegang, tergesa-gesa, dan defensif—yang membuatku menahan keputusan.
"Apa yang kau harapkan dariku?" tanyaku akhirnya.
"Menemukannya, tentu saja," sahutnya cepat. "Aku butuh seseorang yang benar-benar mencari, bukan hanya mengisi laporan."
Aku memperhatikan ekspresinya. Dia terlihat gelisah, tangannya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. Marilyn Cass yang duduk di seberang meja, jari-jarinya memainkan liontin itu tanpa sadar. Menggenggam, mengusap bagian tengahnya dengan ibu jari, lalu melepaskannya. Setiap kali menyebut pamannya atau gelisah, pola itu terulang.
Kebiasaan? Mungkin. Atau lebih dari itu.
"Apa hubunganmu dengannya?" Aku menyipitkan mata.
"Dia pamanku," ulang Marilyn, seolah itu sudah cukup sebagai jawaban.
Bohong. Atau setidaknya, itu bukan keseluruhan ceritanya. Orang-orang nggak melakukan perjalanan sejauh ini dan berbicara dengan nada setegas itu hanya karena hubungan darah. Ada sesuatu yang lebih dari ini.
"Kau ingin aku mencari seseorang yang bahkan kau sendiri nggak tahu ke mana perginya, dengan cerita yang setengah matang, dan tanpa jaminan kalau ini bukan sekadar buang-buang waktuku?" Aku mendengus. "Maaf, tapi aku lebih suka menunggu kasus yang lebih masuk akal. Semoga beruntung dengan pencarianmu!"
Marilyn, tentu saja, nggak menerimanya dengan baik. Tapi pada saat itu, keputusanku sudah final. Dia berdiri dengan kasar, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia meraih foto-foto itu kembali, lalu tanpa sepatah kata, berbalik dan berjalan keluar.
Aku pernah melihat ekspresi seperti itu sebelumnya. Ekspresi seseorang yang masih akan kembali. Dan sayangnya… aku mulai curiga kasus ini akan kembali menghantuiku lebih cepat dari yang kuharapkan.
Kamis, 21 Maret 2024/10:53 Malam
Garis kemerahan melingkar mulai terlihat saat petugas forensik membersihkan riasan di leher Marilyn Cass. Petugas forensik mengernyit, matanya menelusuri bekas halus di leher Marilyn. “Ini aneh,” gumamnya. “Biasanya, strangulasi meninggalkan luka akibat tekanan yang tidak merata. Tapi ini... hampir terlalu bersih. Tidak ada serat, tidak ada lecet dalam.”
“Sesuatu menekannya perlahan,” komentar Alphonse, suaranya rendah. “Cukup kuat untuk mencekik, tapi tanpa memberi korban kesempatan untuk melawan.” Dia menoleh ke arah Detektif Otero, lalu menambahkan, “Kau lihat ini? Ini bukan strangulasi biasa.”
Detektif Otero menyipitkan mata, menatap leher Marilyn dengan ekspresi skeptis. Dia menyelipkan tangan ke saku jasnya, menarik napas pelan sebelum akhirnya berkomentar.
“Kau pikir ini pekerjaan seseorang yang terlalu sabar untuk membunuh?” Nada suaranya datar, tapi ada ketegangan samar di baliknya.
Alphonse hanya menatapnya sekilas sebelum kembali memeriksa bekas di leher Marilyn. Jemarinya melayang tanpa menyentuh, mengikuti pola halus itu. “Atau seseorang yang tahu persis apa yang dia lakukan,” gumamnya. “Marilyn Cass dibungkam karena dia tahu terlalu banyak.”
Detektif Otero mengerutkan dahi. “Kalau begitu, apa senjata pembunuhannya?”
Petugas forensik itu berdiri dan merapikan sarung tangannya, lalu menoleh ke arah rekan-rekannya. Suaranya terdengar jelas di dalam ruangan. “Cari sesuatu yang menyerupai tali, tapi lebih halus. Bisa sutra, bisa bahan sintetis. Teksturnya harus cukup lembut untuk tidak meninggalkan lecet yang dalam.”
Alphonse tetap diam, tatapannya terpaku pada bekas jeratan di leher Marilyn. Ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang mereka lewatkan. Perlahan, matanya bergerak ke dada Marilyn. Saat itulah dia menyadari sesuatu.
Dia menggeleng pelan. “Kalian tidak akan menemukannya di sini.”
Detektif Otero meliriknya tajam. Beberapa petugas forensik saling bertukar pandang.
Alphonse mengangkat wajah, ekspresinya datar, tapi suaranya terdengar dingin saat dia berbicara. “Senjata pembunuhan itu…” Dia berhenti sejenak, membiarkan keheningan menggantung sebelum melanjutkan, “Itu bukan tali. Itu liontin.”
Ruang arsip kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang biasa—melainkan sunyi yang menekan, seperti udara yang sedang menyimpan rahasia. Bau kertas tua dan logam berkarat menggantung di udara, seolah menolak dibersihkan oleh waktu atau niat baik. Lampu neon di langit-langit sesekali bergetar, mengeluarkan bunyi dengung rendah yang menambah suasana janggal.Alphonse berdiri diam di tengah lorong, tubuhnya membeku bukan karena takut, tapi karena nalurinya menjerit: sesuatu di sini belum selesai. Sesuatu sedang menunggu untuk ditemukan—atau lebih tepatnya, untuk dilepaskan.Dan dalam diam yang terlalu panjang itu, dia merasa seperti orang terakhir yang masih mendengarkan bisikan bangkai-bangkai masa lalu. Pikirannya jauh lebih dalam dari tinta dan kertas yang ada dalam semua berkas-berkas itu. Seolah setiap lembar di dalamnya menyimpan suara, dan dia mencoba mendengarkan.Pegawai wanita yang hanya diam saja akhirnya bicara. Suaranya kecil, nyaris seperti bisikan.“Anda seharusnya tidak berbicar
Di dalam ruang arsip yang sunyi, keheningan itu hampir bisa dipotong dengan pisau. Edelmar, dengan ekspresi datarnya, tidak langsung merespons. Kedua matanya yang tajam menilai, mengukur setiap kata yang terucap, namun dia tetap diam. Keheningan yang tercipta bukan karena kebingungan, tetapi lebih karena sebuah keputusan yang tengah ditimbang di dalam pikirannya."Dan jika saya bilang…” suaranya memecah keheningan. Suara itu tenang, tapi tegang, “...jarumnya memang tidak pernah berhenti, hanya tidak terdengar oleh telinga biasa?"Alphonse tersenyum tipis, ada sesuatu dalam senyum itu yang mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia ingin ungkapkan. "Saya rasa saya sudah tahu apa yang sedang Anda coba sampaikan."Di belakang mereka, pegawai wanita itu masih berdiri kaku, seperti bayangan yang tidak ingin ikut campur. Dunia di ruang arsip terasa mengecil, hanya ada dua kutub yang saling bertarung—Alphonse dan Edelmar. Ruang ini menjadi medan magnet yang tidak terhindarkan, setiap kalim
Ruang arsip kota St. Soulheim menyimpan napas masa lalu dalam setiap rak berdebu dan laci berderit. Aroma kertas tua menyatu dengan udara yang stagnan, seakan waktu enggan bergerak di tempat ini. Di tengah lorong sempit berisi berkas dan dokumen catatan sipil, berdiri seorang pria asing yang baru semalam tiba di kota—tapi sorot matanya seperti telah tinggal di sana seumur hidup.Alphonse menelusuri laci-laci dengan ketelitian seorang arsitek yang sedang membedah reruntuhan. Tangannya menyentuh berkas-berkas kelahiran, surat keputusan wali kota, peta tata ruang yang tak diperbarui sejak awal milenium. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, terutama dokumen yang kelihatannya telah disusun ulang… atau sengaja dikaburkan.Di ujung ruang, pegawai wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia menatap Alphonse yang dengan tenang membuka laci-laci berisi dokumen, seolah sudah tahu apa yang dicari. Beberapa kali dia melirik ke arah meja tapi takut jika pemuda yang tidak diketahui a
Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann
Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki
Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has