Beranda / Thriller / BAYANGAN DI BALIK WARISAN / Pertunjukan Graphology Alphonse

Share

Pertunjukan Graphology Alphonse

Penulis: eyes0cream
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-08 22:55:09

Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”

Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”

Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”

Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”

Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”

Alphonse menyesuaikan cengkeramannya pada kertas itu, memperhatikannya di bawah cahaya. “Lihat tekanan tintanya,” ujarnya, jemarinya bergerak di atas baris tulisan. “Beberapa kata memiliki goresan lebih dalam, seperti ‘tahu’ dan ‘segera’. Ini menunjukkan tekanan emosional yang tinggi—rasa cemas, mungkin bahkan ketakutan.”

Dia melirik Detektif Otero, yang menyimak dengan ekspresi serius. “Tapi lihat bagaimana garis-garis dasarnya tetap lurus, dan kemiringannya nyaris konstan. Itu bukan tulisan seseorang yang panik tanpa kendali. Ini milik seseorang yang terbiasa mengatur pikirannya, seseorang yang berusaha tetap tenang meskipun pikirannya kacau.”

Petugas forensik yang tadi bersedekap kini mendekat, penasaran. “Tapi bagaimana Anda bisa tahu dia seorang wanita paruh baya?”

Alphonse menyeringai tipis. “Wanita cenderung memiliki gaya menulis yang lebih konsisten dan mudah dibaca—terutama jika mereka terbiasa menulis dengan tangan dalam waktu yang lama. Ini menunjukkan bahwa dia tidak terlalu bergantung pada teknologi modern atau tidak bekerja dengan mesin ketik. Selain itu…” Dia mengangkat kertas itu sedikit lebih tinggi, menunjuk garis-garis tulisan. “Tekanannya ringan tapi stabil. Meskipun tidak mutlak, tulisan wanita sering kali lebih kecil dan lebih melengkung dibandingkan tulisan pria, yang umumnya lebih bersudut dan tegas.”

“Dan hanya karena itu, kau menyimpulkan dia seorang wanita?” tanya Detektif Otero skeptis.

Alphonse hanya tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. Dia membalik kertas itu sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yakin, “Ada kebiasaan halus dalam huruf ‘k’ dan ‘h’-nya. Bentuknya ramping dan terkontrol, mengingatkan pada gaya menulis yang diajarkan di sekolah-sekolah elite beberapa dekade lalu—gaya yang sudah jarang ditemukan sekarang. Lalu, perhatikan huruf ‘t’-nya.” Dia menunjuk dengan jarinya. “Lebih tinggi dari huruf lain di sekitarnya. Ini adalah kebiasaan orang yang terbiasa memberi instruksi, tapi tetap berusaha menjaga kesopanan dalam komunikasi tertulisnya.”

Detektif Otero menyandarkan tangan ke pinggang, berpikir keras. “Jadi kita mencari wanita dengan jabatan tinggi, seseorang yang cukup berpengaruh untuk merasa dirinya masih bisa mengendalikan situasi.”

“Dan juga bertangan kidal,” tambah Alphonse.

“Apa maksudmu?” tanya si detektif dengan alis berkerut.

Alphonse perlahan mengulurkan pesan itu ke depan wajah si detektif, jari-jarinya yang kurus dengan teliti menelusuri setiap detail. “Lihat, huruf-hurufnya tercetak miring ke kanan. Ini bisa berarti si penulis menulis dengan tangan kiri atau sedang terburu-buru.”

“Tunggu, Tyrell juga kidal, tapi tulisannya justru miring ke kiri,” protes Detektif Otero dengan ragu.

“Memang.” Alphonse tersenyum tipis. “Mekanisme penulisan dari kiri ke kanan biasanya membuat huruf miring ke kiri. Tapi lain ceritanya jika dia melakukan teknik hooking—di mana tangan ditarik ke arah berlawanan saat menulis.”

Detektif Otero mengangguk perlahan, tetapi keraguan masih memenuhi matanya. Dia menyentuh dagu dengan jari-jairnya.

“Ini adaptasi umum yang dikembangkan oleh penulis kidal,” lanjut Alphonse. Jari-jarinya dengan cermat mengikuti lekukan halus tulisan itu, sesekali berhenti pada titik-titik tertentu, seolah menyoroti setiap detail penting yang mendukung analisanya.

“Oh, benar juga. Aku pernah melihat Tyrell melakukannya,” kata Detektif Otero. Suaranya melunak saat ngatan tentang rekan kerjanya muncul sejenak di benaknya.

Alphonse mengangkat pandangannya, menatap Otero dengan tajam. “Cari tahu apakah belakangan ini Brandon Hoffman berhubungan dengan seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan, bertangan kidal, metodis, dan sangat menjaga privasinya.”

“Metodis…” gumam Detektif Otero.

“Aku bilang tulisan tangan wanita cenderung lebih konsisten, bukan?” Alphonse melanjutkan. “Itu juga berlaku untuk seseorang yang selalu waspada.”

Dia mengetukkan ujung jarinya perlahan pada permukaan kertas. “Lihat ini. Huruf-hurufnya terdefinisi dengan baik, ukuran dan jaraknya nyaris seragam, menampilkan format yang konservatif—jelas dan tradisional.” Matanya menyipit sedikit, memperhatikan lekukan tulisan lebih saksama. “Penulisnya nggak hanya berhati-hati, tapi juga metodis. Setiap kata diposisikan secara cermat agar mudah dibaca, nyaris seperti dia ingin memastikan pesannya dipahami tanpa ruang untuk kesalahan.”

Detektif Otero mengerutkan kening. “Tapi kenapa menulis pesan seperti ini di kertas longgar? Kenapa tidak lebih… aman?”

“Mungkin dia memang nggak berniat menyimpannya lama. Bisa saja ini bagian dari komunikasi rahasia yang harus dihancurkan setelah dibaca. Atau…” Alphonse berhenti sejenak, ekspresinya mengeras.

“Atau?” desak Detektif Otero.

Alphonse menoleh ke arah tubuh tidak bernyawa Brandon, sudut bibirnya melengkung tipis—bukan dalam senyum, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menangkap celah dalam sebuah kesempurnaan itu. “Atau dia nggak pernah punya kesempatan untuk menyingkirkannya.”

Detektif Otero menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke salah satu petugas polisi yang berdiri di dekat pintu. “Martínez, aku butuh kau menyelidiki sesuatu.”

Officer Martínez, yang sejak tadi mengamati diskusi mereka dengan ekspresi serius, segera menghentikan kegiatannya dan mendekat. “Apa yang harus saya cari, Detektif?”

Detektif Otero melirik Alphonse sekilas sebelum menjawab, “Cari tahu apakah Brandon Hoffmann memiliki koneksi dengan seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan, bertangan kidal, metodis, dan menjaga privasinya dengan ketat. Fokus pada lingkungan profesional dan sosialnya—mantan kolega, klien, atau siapa pun yang cukup dekat dengannya.”

“Ada sesuatu yang lebih spesifik yang harus saya perhatikan?” tanya Officer Martinez sambil mencatat semua itu dalam buku catatan kecilnya.

Alphonse menjawab sebelum Detektif Otero sempat membuka mulut. “Periksa juga apakah ada wanita dengan profil tersebut yang baru-baru ini melakukan transaksi mencurigakan—misalnya, menyewa tempat tinggal baru, membeli tiket perjalanan mendadak, atau menarik uang dalam jumlah besar. Jika dia merasa terancam, dia mungkin sudah bersiap untuk menghilang.”

Officer Martínez mengangguk tegas. “Dimengerti.”

Saat petugas itu bergegas keluar ruangan, Detektif Otero menyelipkan tangannya ke saku celananya dan menatap kertas di tangan Alphonse. “Kalau tebakanmu benar, berarti kita sedang mengejar seseorang yang bisa menjadi kunci kasus ini.”

Alphonse hanya tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada tulisan tangan di kertas itu. “Atau seseorang yang—”

Sebuah ketukan tiba-tiba di pintu Kamar 412 memotong percakapan mereka.  Alphonse dan Detektif Otero langsung menoleh ke arah pintu, terkejut oleh gangguan yang mendadak itu. Seorang petugas polisi lain masuk dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal.

“Ternyata Anda di sini,” ucap si polisi sambil berusaha mengatur napasnya. “Sebaiknya Anda ikut saya sekarang juga. Kami menemukan sesuatu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Paviliun Tua dan Drama

    Pintu di belakang Alphonse berderit tertutup, meninggalkan bunyi gembok yang tak terdengar tapi terasa. Keheningan di dalam terasa lebih pekat daripada udara luar. Bau lembap kayu tua bercampur dengan sisa asap dupa yang lama padam, seperti doa-doa yang sudah ditinggalkan. Cahaya pagi menetes dari jendela buram, pecah menjadi garis kusam di lantai yang penuh debu.Alphonse berdiri sejenak, membiarkan matanya menyesuaikan. Setiap papan lantai yang diinjaknya mengeluarkan keluhan pelan, seakan keberadaannya ditolak ruangan itu. Tak ada kursi, hanya sebuah meja kecil dengan kain altar yang sudah robek di ujungnya. Di atasnya, sebuah lilin gosong—beku dalam posisi terakhirnya—menjadi saksi diam waktu yang terhenti.Kesunyian menebal. Alphonse mengangkat jemarinya, mengusap permukaan meja, meninggalkan jejak tipis di atas debu. Dia duduk di kursi reyot di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk sedikit ke depan, seolah siap menyambar jika bayangan pertama kali bergerak.Di luar, dentang lonceng

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Batas Antara Doa dan Delusi

    Senin, 25 Maret 2024/08:59 PagiLangkah kaki Alphonse terhenti ketika tanah berbatu St. Soulheim yang tak lagi disapu doa itu berubah menjadi jalan setapak yang dipenuhi dedaunan basah. Udara pagi menahan cahaya; mendung bergelayut seperti kain tua yang belum dicuci, mengaburkan batas antara langit dan tanah pemakaman. Angin yang lewat membawa aroma tanah lembap bercampur karat. Dari kejauhan, dentang lonceng gereja terdengar samar, menyerupai bisikan peringatan yang datang terlambat.Di ujung jalan sempit itu berdiri sebuah paviliun kecil. Sulur tanaman rambat menelusup ke dindingnya, seakan ingin menelan batu tua yang retak-retak. Cat kayu pada jendela sudah pudar, berganti warna kelabu pucat, sementara dedaunan kering menempel di kaca yang buram. Atapnya miring sedikit, dan lumut hijau tua menyebar bagai noda permanen. Alphonse mendapatkan kesan bahwa paviliun itu bukan sekadar bangunan, melainkan wadah bagi sesuatu yang lebih tua daripada dirinya sendiri.Alphonse berhenti di depa

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   You Must Find Sister Lasya

    Ruang arsip kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang biasa—melainkan sunyi yang menekan, seperti udara yang sedang menyimpan rahasia. Bau kertas tua dan logam berkarat menggantung di udara, seolah menolak dibersihkan oleh waktu atau niat baik. Lampu neon di langit-langit sesekali bergetar, mengeluarkan bunyi dengung rendah yang menambah suasana janggal.Alphonse berdiri diam di tengah lorong, tubuhnya membeku bukan karena takut, tapi karena nalurinya menjerit: sesuatu di sini belum selesai. Sesuatu sedang menunggu untuk ditemukan—atau lebih tepatnya, untuk dilepaskan.Dan dalam diam yang terlalu panjang itu, dia merasa seperti orang terakhir yang masih mendengarkan bisikan bangkai-bangkai masa lalu. Pikirannya jauh lebih dalam dari tinta dan kertas yang ada dalam semua berkas-berkas itu. Seolah setiap lembar di dalamnya menyimpan suara, dan dia mencoba mendengarkan.Pegawai wanita yang hanya diam saja akhirnya bicara. Suaranya kecil, nyaris seperti bisikan.“Anda seharusnya tidak berbicar

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   It's A Face Off

    Di dalam ruang arsip yang sunyi, keheningan itu hampir bisa dipotong dengan pisau. Edelmar, dengan ekspresi datarnya, tidak langsung merespons. Kedua matanya yang tajam menilai, mengukur setiap kata yang terucap, namun dia tetap diam. Keheningan yang tercipta bukan karena kebingungan, tetapi lebih karena sebuah keputusan yang tengah ditimbang di dalam pikirannya."Dan jika saya bilang…” suaranya memecah keheningan. Suara itu tenang, tapi tegang, “...jarumnya memang tidak pernah berhenti, hanya tidak terdengar oleh telinga biasa?"Alphonse tersenyum tipis, ada sesuatu dalam senyum itu yang mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia ingin ungkapkan. "Saya rasa saya sudah tahu apa yang sedang Anda coba sampaikan."Di belakang mereka, pegawai wanita itu masih berdiri kaku, seperti bayangan yang tidak ingin ikut campur. Dunia di ruang arsip terasa mengecil, hanya ada dua kutub yang saling bertarung—Alphonse dan Edelmar. Ruang ini menjadi medan magnet yang tidak terhindarkan, setiap kalim

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Riak di Lautan Kertas

    Ruang arsip kota St. Soulheim menyimpan napas masa lalu dalam setiap rak berdebu dan laci berderit. Aroma kertas tua menyatu dengan udara yang stagnan, seakan waktu enggan bergerak di tempat ini. Di tengah lorong sempit berisi berkas dan dokumen catatan sipil, berdiri seorang pria asing yang baru semalam tiba di kota—tapi sorot matanya seperti telah tinggal di sana seumur hidup.Alphonse menelusuri laci-laci dengan ketelitian seorang arsitek yang sedang membedah reruntuhan. Tangannya menyentuh berkas-berkas kelahiran, surat keputusan wali kota, peta tata ruang yang tak diperbarui sejak awal milenium. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, terutama dokumen yang kelihatannya telah disusun ulang… atau sengaja dikaburkan.Di ujung ruang, pegawai wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia menatap Alphonse yang dengan tenang membuka laci-laci berisi dokumen, seolah sudah tahu apa yang dicari. Beberapa kali dia melirik ke arah meja tapi takut jika pemuda yang tidak diketahui a

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Susceptibility

    Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status