Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”
Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”
Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”
Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”
Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”
Alphonse menyesuaikan cengkeramannya pada kertas itu, memperhatikannya di bawah cahaya. “Lihat tekanan tintanya,” ujarnya, jemarinya bergerak di atas baris tulisan. “Beberapa kata memiliki goresan lebih dalam, seperti ‘tahu’ dan ‘segera’. Ini menunjukkan tekanan emosional yang tinggi—rasa cemas, mungkin bahkan ketakutan.”
Dia melirik Detektif Otero, yang menyimak dengan ekspresi serius. “Tapi lihat bagaimana garis-garis dasarnya tetap lurus, dan kemiringannya nyaris konstan. Itu bukan tulisan seseorang yang panik tanpa kendali. Ini milik seseorang yang terbiasa mengatur pikirannya, seseorang yang berusaha tetap tenang meskipun pikirannya kacau.”
Petugas forensik yang tadi bersedekap kini mendekat, penasaran. “Tapi bagaimana Anda bisa tahu dia seorang wanita paruh baya?”
Alphonse menyeringai tipis. “Wanita cenderung memiliki gaya menulis yang lebih konsisten dan mudah dibaca—terutama jika mereka terbiasa menulis dengan tangan dalam waktu yang lama. Ini menunjukkan bahwa dia tidak terlalu bergantung pada teknologi modern atau tidak bekerja dengan mesin ketik. Selain itu…” Dia mengangkat kertas itu sedikit lebih tinggi, menunjuk garis-garis tulisan. “Tekanannya ringan tapi stabil. Meskipun tidak mutlak, tulisan wanita sering kali lebih kecil dan lebih melengkung dibandingkan tulisan pria, yang umumnya lebih bersudut dan tegas.”
“Dan hanya karena itu, kau menyimpulkan dia seorang wanita?” tanya Detektif Otero skeptis.
Alphonse hanya tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. Dia membalik kertas itu sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yakin, “Ada kebiasaan halus dalam huruf ‘k’ dan ‘h’-nya. Bentuknya ramping dan terkontrol, mengingatkan pada gaya menulis yang diajarkan di sekolah-sekolah elite beberapa dekade lalu—gaya yang sudah jarang ditemukan sekarang. Lalu, perhatikan huruf ‘t’-nya.” Dia menunjuk dengan jarinya. “Lebih tinggi dari huruf lain di sekitarnya. Ini adalah kebiasaan orang yang terbiasa memberi instruksi, tapi tetap berusaha menjaga kesopanan dalam komunikasi tertulisnya.”
Detektif Otero menyandarkan tangan ke pinggang, berpikir keras. “Jadi kita mencari wanita dengan jabatan tinggi, seseorang yang cukup berpengaruh untuk merasa dirinya masih bisa mengendalikan situasi.”
“Dan juga bertangan kidal,” tambah Alphonse.
“Apa maksudmu?” tanya si detektif dengan alis berkerut.
Alphonse perlahan mengulurkan pesan itu ke depan wajah si detektif, jari-jarinya yang kurus dengan teliti menelusuri setiap detail. “Lihat, huruf-hurufnya tercetak miring ke kanan. Ini bisa berarti si penulis menulis dengan tangan kiri atau sedang terburu-buru.”
“Tunggu, Tyrell juga kidal, tapi tulisannya justru miring ke kiri,” protes Detektif Otero dengan ragu.
“Memang.” Alphonse tersenyum tipis. “Mekanisme penulisan dari kiri ke kanan biasanya membuat huruf miring ke kiri. Tapi lain ceritanya jika dia melakukan teknik hooking—di mana tangan ditarik ke arah berlawanan saat menulis.”
Detektif Otero mengangguk perlahan, tetapi keraguan masih memenuhi matanya. Dia menyentuh dagu dengan jari-jairnya.
“Ini adaptasi umum yang dikembangkan oleh penulis kidal,” lanjut Alphonse. Jari-jarinya dengan cermat mengikuti lekukan halus tulisan itu, sesekali berhenti pada titik-titik tertentu, seolah menyoroti setiap detail penting yang mendukung analisanya.
“Oh, benar juga. Aku pernah melihat Tyrell melakukannya,” kata Detektif Otero. Suaranya melunak saat ngatan tentang rekan kerjanya muncul sejenak di benaknya.
Alphonse mengangkat pandangannya, menatap Otero dengan tajam. “Cari tahu apakah belakangan ini Brandon Hoffman berhubungan dengan seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan, bertangan kidal, metodis, dan sangat menjaga privasinya.”
“Metodis…” gumam Detektif Otero.
“Aku bilang tulisan tangan wanita cenderung lebih konsisten, bukan?” Alphonse melanjutkan. “Itu juga berlaku untuk seseorang yang selalu waspada.”
Dia mengetukkan ujung jarinya perlahan pada permukaan kertas. “Lihat ini. Huruf-hurufnya terdefinisi dengan baik, ukuran dan jaraknya nyaris seragam, menampilkan format yang konservatif—jelas dan tradisional.” Matanya menyipit sedikit, memperhatikan lekukan tulisan lebih saksama. “Penulisnya nggak hanya berhati-hati, tapi juga metodis. Setiap kata diposisikan secara cermat agar mudah dibaca, nyaris seperti dia ingin memastikan pesannya dipahami tanpa ruang untuk kesalahan.”
Detektif Otero mengerutkan kening. “Tapi kenapa menulis pesan seperti ini di kertas longgar? Kenapa tidak lebih… aman?”
“Mungkin dia memang nggak berniat menyimpannya lama. Bisa saja ini bagian dari komunikasi rahasia yang harus dihancurkan setelah dibaca. Atau…” Alphonse berhenti sejenak, ekspresinya mengeras.
“Atau?” desak Detektif Otero.
Alphonse menoleh ke arah tubuh tidak bernyawa Brandon, sudut bibirnya melengkung tipis—bukan dalam senyum, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menangkap celah dalam sebuah kesempurnaan itu. “Atau dia nggak pernah punya kesempatan untuk menyingkirkannya.”
Detektif Otero menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke salah satu petugas polisi yang berdiri di dekat pintu. “Martínez, aku butuh kau menyelidiki sesuatu.”
Officer Martínez, yang sejak tadi mengamati diskusi mereka dengan ekspresi serius, segera menghentikan kegiatannya dan mendekat. “Apa yang harus saya cari, Detektif?”
Detektif Otero melirik Alphonse sekilas sebelum menjawab, “Cari tahu apakah Brandon Hoffmann memiliki koneksi dengan seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan, bertangan kidal, metodis, dan menjaga privasinya dengan ketat. Fokus pada lingkungan profesional dan sosialnya—mantan kolega, klien, atau siapa pun yang cukup dekat dengannya.”
“Ada sesuatu yang lebih spesifik yang harus saya perhatikan?” tanya Officer Martinez sambil mencatat semua itu dalam buku catatan kecilnya.
Alphonse menjawab sebelum Detektif Otero sempat membuka mulut. “Periksa juga apakah ada wanita dengan profil tersebut yang baru-baru ini melakukan transaksi mencurigakan—misalnya, menyewa tempat tinggal baru, membeli tiket perjalanan mendadak, atau menarik uang dalam jumlah besar. Jika dia merasa terancam, dia mungkin sudah bersiap untuk menghilang.”
Officer Martínez mengangguk tegas. “Dimengerti.”
Saat petugas itu bergegas keluar ruangan, Detektif Otero menyelipkan tangannya ke saku celananya dan menatap kertas di tangan Alphonse. “Kalau tebakanmu benar, berarti kita sedang mengejar seseorang yang bisa menjadi kunci kasus ini.”
Alphonse hanya tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada tulisan tangan di kertas itu. “Atau seseorang yang—”
Sebuah ketukan tiba-tiba di pintu Kamar 412 memotong percakapan mereka. Alphonse dan Detektif Otero langsung menoleh ke arah pintu, terkejut oleh gangguan yang mendadak itu. Seorang petugas polisi lain masuk dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal.
“Ternyata Anda di sini,” ucap si polisi sambil berusaha mengatur napasnya. “Sebaiknya Anda ikut saya sekarang juga. Kami menemukan sesuatu.”
Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann
Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki
Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has
Di jantung St. Soulheim, di mana jalanan berbatu berkelok di bawah bayang-bayang menara gereja tua yang telah berdiri sejak zaman sebelum perang, terdapat sebuah rumah megah. Sebuah bangunan yang lebih layak disebut istana daripada sekadar tempat tinggal itu terlihat mencolok di antara deretan rumah lainnya. Pilar-pilar marmer yang tinggi dan kokoh menopang fasadnya, sementara dua patung singa hitam berjaga diam di gerbang depan—mata mereka memandang lurus, seolah mengawasi siapa pun yang berani mendekat.Di sanalah tinggal seorang pria yang, bagi banyak warga, bukan hanya orang terkaya di kota—tapi juga "pemilik" sebenarnya dari St. Soulheim. Namanya Edelmar Vollen. Seorang pria berusia lima puluh tujuh tahun dengan perut bundar seperti mangkuk logam. Hal paling diingat darinya adalah suara tawanya yang bisa terdengar dari dua blok jauhnya. Tapi jangan tertipu oleh perawakannya yang terlihat lemah; matanya tajam seperti pedagang tua yang selalu tahu lebih banyak dari yang dia biarkan
Kabut menggantung rendah di atas kota. Seperti selimut lembap yang menolak terangkat, dia melingkupi atap-atap miring bangunan tua yang nyaris seluruhnya berlumut. Kabut menyusup di antara celah jendela yang jarang sekali dibuka. Sering kali juga menelusup masuk ke dalam lorong-lorong sempit yang hanya dikenal oleh kaki-kaki penduduknya.Bau arang terbakar menguar dari cerobong-cerobong batu, bercampur dengan aroma tanah basah dan sisa hujan semalam yang belum juga mengering. Di kota ini, musim seolah tidak pernah berganti. Hujan datang tidak sebagai tamu, melainkan penghuni tetap. Gerimisnya malas, tapi tekun—turun perlahan, nyaris tidak bersuara.Gerimis meninggalkan jejak pada batu-batu tua yang membentuk jalanan berkelok. Batu-batu itu, jika diperhatikan, terlihat seperti menyimpan gema langkah-langkah dari masa lalu. Bunyi derap sepatu kulit, suara roda kereta kuda, dan bisikan yang telah lama terbenam dalam waktu.Di depan sebuah toko roti kecil yang sudah berdiri sejak masa kol
Jumat, 22 Maret 2024/07:11 MalamLangit malam menggulung pelan seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat jatuh. Udara di dermaga berbau asin, bercampur kabut tipis yang menyelimuti laut gelap sejauh mata memandang. Suara ombak menghantam lambung kapal kayu tua yang bergoyang perlahan. Lampu-lampu pelabuhan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara peti-peti kayu dan tali tambat yang berserakan.Mereka berdiri diam dalam lingkaran kecil, masing-masing dibalut perban dan luka yang belum sempat sembuh benar. Uehara bersandar pada tongkat jalannya, sementara Jesse menahan napas setiap kali bergerak. Valerie memeluk dirinya sendiri, sesekali menatap langit seolah berharap bintang-bintang bisa memberi petunjuk. Alphonse menjadi satu-satunya sosok yang berdiri tegak meski bajunya masih ternoda darah kering. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Akan ada seseorang yang kupercaya menjemput kalian nanti. Bersembunyilah di sana untuk sementara wakt
Dengan gigi terkatup dan tatapan membara, Alphonse berbalik menghadap pria bersenjata itu. Tangan kirinya sudah menahan darah yang mengalir dari bahu kanannya. Valerie menatap dengan napas tercekat. Tubuhnya setengah berdiri dari balik perlindungan mobil, mata membelalak melihat Alphonse yang tetap berdiri meski darah terus menetes.Alphonse tahu satu hal—jika dia diam, semuanya akan berakhir di sini.Dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, dia meraih kembali tongkat setrum dari tanah. Darah dari bahu kanannya mengalir makin deras, tapi sorot matanya tidak goyah. Langkahnya pelan, mantap, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.Ardent Blades yang bersenjata itu memasang kembali bidikannya, tapi Alphonse tidak memberinya waktu. Begitu senapan itu sedikit bergeser, Alphonse menerjang. Bahu kanannya seketika terasa seperti disayat bara api, tapi dia paksa tubuhnya bergerak.Dengan hentakan cepat, dia mengayunkan tongkat setrum ke arah pistol—zzt!Sentakan listrik meledak di u
Mobil Jesse Fox berguncang lebih keras saat ban depan yang ditembak terus kehilangan tekanan. Setir digerakkan dengan cepat, hampir tidak memberi waktu bagi Jesse untuk bernapas. Mata tajamnya menatap jalanan yang semakin sempit, dan dalam sekejap, dia tahu bahwa hanya sedikit ruang yang tersisa untuk melarikan diri.Di kursi belakang, Alphonse menahan napas. Valerie di pelukannya, matanya terpejam, tubuhnya terhimpit oleh pelukan Alphonse. Meski keadaan semakin gawat, Alphonse tetap menjaga kewaspadaan, matanya mengawasi setiap gerakan yang ada di luar sana. Mereka dikejar oleh dua motor yang semakin dekat, dan suara knalpot yang menggelegar membuat suasana semakin mencekam."Jesse, kita harus segera keluar dari sini!" teriak Alphonse.Jesse tidak menjawab. Dia hanya memusatkan perhatian penuh pada setir. Tapi, dengan setiap detik yang berlalu, jalanan terasa semakin sempit. Dua motor itu semakin dekat. Tembakan terus dilontarkan, mengarah tepat ke mobil mereka. Kaca anti peluru mung
Tiga bulan yang laluLilin-lilin beraroma mur perlahan mencair. Cahayanya memantul lembut di atas meja marmer, menciptakan bayang-bayang yang menggoda. Tirai sutra merah tua berayun pelan di tiupan angin malam. Di tengah ruangan yang temaram, Ratu Merelda dari Kerajaan Eilvareth bersandar santai di ranjang berkanopi.Tubuhnya dibalut gaun tidur tipis berwarna anggur tua yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan elegan, membentuk siluet yang memikat. Gaun tidurnya yang terlepas sedikit dari bahu memamerkan kulit halusnya yang berkilau di bawah cahaya lilin. Kontur tubuhnya terlihat begitu memikat, seakan mengundang untuk lebih dekat. Dia tahu dirinya cantik—dan lebih dari itu, dia tahu betul bagaimana menggunakan kecantikannya.Di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi dan kekar dengan rambut keperakan berdiri menghadap jendela terbuka. Punggungnya penuh bekas luka perang bertahun-tahun, namun goresan yang baru itu lebih mendalam, lebih intim—sebuah jejak gairah yang tidak terucapkan