"Ayo, Pak, kita periksa rumah Ibu Hani! Saya yakin pasti anak saya bersembunyi di rumah ini,” tutur Bapaknya Bela tanpa ragu.
“Tunggu-tunggu!” Hani menginterupsi, “atas dasar apa Bapak nuduh kami yang menyembunyikan putri Bapak? Bapak punya bukti? Tunjukan!” tantangnya berani walau pun masih dalam gendongannya Panji.
“Saya sudah mencari Bela di rumah teman-temannya dan keluarga kami. Tapi gak ada kami temukan,” balas Papa Bela lantang.
“Hanya karena itu Bapak menuduh kami menyembunyikan Bela? Hah ... picik sekali,” ejek Hani dengan senyum merendahkan.
“Ibu Hani, Bapak Beni melaporkan putra Ibu yang telah membawa kabur putri beliau. Untuk kepentingan penyidikan, kami minta tolong kerja samanya,” pinta seorang petugas dengan sopa
Atha dan Bela tengah menyaksikan siaran televisi. Keduanya baru saja menyantap pop mie. Mereka sedang asyik menikmati camilan yang dibeli di Indoapril.Keduanya duduk berdempetan. Tawa canda mewarnai kebersamaan mereka. Rasa kalut dan bingung beberapa waktu lalu telah sirna. Kini Atha dan Bela merasa dunia hanya milik berdua.“Tha, emang mulai kapan kamu nyari kontrakan?” tanya Bela dengan bibir mengunyah jajanan.“Tar lah kapan-kapan,” sahut Atha enteng. Tangannya mencomot jajanan ringan yang tengah dipegang Bela. “Nunggu diusir dulu. Tapi aku yakin sih, Kenzi gak bakalan ngusir asal kita pandai ambil hatinya. Apalagi anak itu gak tegaan.” Cengiran mewarnai bibir Atha.“Terus ... kapan kamu nyari kerjanya?”“Ahhh ... i
Banyu terus melangkah. Dia menapaki tangga besi itu tahap demi tahap. Tiba di atas dirinya tidak menemukan apa pun.Banyu membutuhkan penerangan untuk memperjelas penglihatan. Dia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Pria itu mulai menyalakan senter pada benda pipih tersebut. Tangannya mengarahkan ponsel tersebut ke segala penjuru.Banyu terus melangkah. Benar-benar tidak ada orang. Lelaki itu kembali memeriksa sekeliling.Sementara di dalam penampungan, Bela dan Atha sudah mulai merasa kekurangan udara. Apalagi airnya cukup dingin. Seperti air dari dalam lemari pendingin. Bela sampai menggigil karenanya.“Aku gak kuat, Tha,” rengek Bela merasa ketakutan.“Ssst!” Atha langsung membungkam mulut Bela dengan tangannya. “Jangan sampai
"Mamaaa!" Atha terus memanggil ibunya. Dia menepis pegangan tangan polisi. “Biarkan saya ngomong sama Mama, Pak. Sebentar saja. Saya mohon,” izinnya dengan menangkupkan kedua tangan.“Ya sudah sana jangan lama-lama!” Polisi berbadan tinggi itu mengizinkan.Atha mengangguk senang. Anak itu berlari dan langsung menghambur mendekap Hani.Hani yang tidak siap ditubruk sedikit oleng karenanya. Beruntung Panji menahan. Sehingga wanita itu tidak terjatuh.Untuk mengambil hati Hani, Atha bersujud dan mencium kaki wanita itu.“Tolong maafkan aku, Ma,” ucap Atha dengan air mata buaya. Persis Hani jika sedang bersandiwara. Anak itu berdiri. Dia mengambil dompetnya. Anak itu menggenggamkannya pada Hani. “Ini uang sama ATM Mama aku balikin.&rdq
SepanjangperjalananPanji hanya membisu. Dia tidak menghiraukan semua perkataan yang Hani lontarkan. Hati kecilnya terus berteriak kalau dia tidak setuju jika harus menjual mobil Avanza-nya. Apalagi Pajero dalam status gadai.Pria itu memilih diam. Karena apa pun alasannya dirinya selalu kalah jika berdebat dengan Hani. Hingga akhirnya mereka sudah sampai di rumah.Saat membuka pagar gerbang, Panji melihat ada mobil Tantri di halaman rumahnya. Hatinya merasa bungah. Karena ada yang akan membelanya. Panji juga tahu Tantri sering menang jika berdebat dengan Hani.Dengan setia dia membimbing Hani turun. Langkah Hani memang sudah membaik. Namun, wanita itu masih terlampau manja untuk berjalan sendiri.“Mbak.” Panji menyapa kakaknya yang sedang duduk.
"Sekarang Pak Panji tiduran dulu,” suruh Pak Ustad sembari mempersilakan, “dan mohon cincin kawin Pak Panji dilepas juga," imbuhnya saat Panji hendak merebahkan tubuh.Panji menurut. Lelaki itu mencopot cincin kawinnya. Dia memberikan benda tersebut pada sang kakak besertaponselnya.Tantri menerima benda berbahan emas putih serta layar tipis tersebut. Perempuan itu menyimpannya pada tas yang ia bawa. Selanjutnya ia menyaksikan apa yang akan dilakukan Pak Ustad pada adiknya.Panji sendiri mulai merebahkan tubuhnya pada karpet berwarna merah tersebut. Dia perlahan menutup mata. Jujur dirinya merasa cukup tegang.Pak Ustad beringsut. Dia duduk di depan kepala Panji. Dirinya tersenyum melihat kegugupan pada tampang pasiennya.“Pak Panji rileks saj
"Sudah jangan terlalu dipikirkan." Tantri menenangkan sang adik, "ayok temui Pak Ustad. Bilang terima kasih sama beliau," suruh Tantri ngemong.Sewaktu Panji mandi Pak Ustad keluar dari mesjid bersama sang istri. Mereka masuk ke rumahnya. Tinggallah Tantri dengan beberapa karyawannya. Wanita itu sempat diajak masuk sama istri Pak Ustad. Namun, Tantri menolak dengan alasan menunggu Panji.“Ayok, Mbak!” Panji mengiyakan dengan anggukan.Keduanya beranjak meninggalkan mesjid. Namun, saat Panji tengah memakai kembali sepatunya ponsel pria itu terdengar berdering kembali.Panji mengecek layar gadgetnya. Dia mendengkus malas. Pria itu hanya diam membiarkan ponsel itu berbunyi tanpa bermaksud untuk mengangkatnya.Tantri menghampiri adiknya. “Kok gak diangkat? Ha
Panji masuk ke kamar. Terlihat Zea sang putri masih tertidur. Mulutnya tengah mengisap dot susu. Pria itu mengelus pelan rambut anak itu.Tiba-tiba mata Panji tertuju pada buffet dalam kamar. Dia teringat jika semua dokumen pentingnya ia taruh sembarangan di salah satu lacinya.Panji bergerak mendekati furniture bergaya minimalis tersebut. Dia sedikit jongkok untuk membuka laci buffet paling bawah. Tampak satu bendel map.Tangan Panji meraih map berwarna hijau tersebut. Terlihat beberapa surat penting seperti sertifikat tanah rumah, toko onderdil, bengkel hingga BPKB Avanza. Semuanya masih lengkap. Hanya kurang BPKB Pajero yang tengah ia gadai pada Banyu.“Aku harus nyembunyiin ini semua. Kalo enggak Hani bisa sembarang gunain surat-surat ini,” tekad Panji yakin.
Panji mengajak Zea memutari jalan kompleks. Sudah lama pria itu tidak melakukan hal sesantai ini. Semenjak menikah dengan Hani, kehidupannya terasa amat sibuk. Setiap hari yang dikejar adalah uang.Sementara dulu saat masih menikah dengan Layla, kehidupannya lumayan adem dan harmonis. Setiap pagi atau sore Panji akan mengajak kedua putranya untuk lari pagi memutari kompleks. Lalu berhenti di taman kompleks untuk beristirahat.Sekarang sudah hampir enam tahun kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh Panji. Apalagi kini kedua putranya juga sudah tidak lagi tinggal bersama. Sementara dengan Atha, anak itu hanya mau bicara dengan Panji kalau lagi butuh uang saja.“Eh ... Pak Panji. Baru kelihatan lagi nih. Ke mana aja selama ini gak pernah muncul?” Salah seorang tetangga Panji menyapa pria itu.