Jam makan siang tiba, tapi Starla masih tak keluar dari kamarnya. Mungkin karena kakinya masih sakit, meski tak sesakit tadi sebelum Cio membantunya."Bi, Starla belum makan siang?" Tanya Kei yang baru saja tiba di ruang makan. "Belum nyonya, mungkin kakinya masih sakit," jawab Bi Inah.Kei menghela nafas panjang, tadi ia sempat mencurigai Starla. Kepercayaannya pada perempuan itu tak mudah untuk kembali seperti dulu, tapi sepertinya Starla memang tak berbohong, sesuai dengan yang Cio katakan tadi."Biar aku saja yang membawakannya makan siang bi, bibi tolong siapkan yah," kata Kei lagi. Mungkin ia harus meminta maaf pada Starla.Bi Inah mengangguk, "Baik Nyonya," jawabnya.Sembari menunggu makanan untuk Starla siap, Kei meminum jus alpukat kesukaannya, lalu menusuk buah melon yang sudah di potong kecil-kecil dengan garpu. Rasanya manis, Kei sangat menyukainya, apalagi buah melon itu mampu mengusir rasa mualnya ketika makan.Beberapa saat kemudian, nampan berisi makanan untuk Starla
Sudah larut malam, tapi Kei belum juga bisa terlelap. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, miring ke kanan miring ke kiri, semuanya tak membuatnya nyaman.Entah mengapa perasannya mendadak tak karuan, pikirannya terus tertuju pada Arka yang beberapa jam yang lalu mengirimnya sebuah pesan, bahwa pria itu akan pulang larut malam. Entah ada apa, mungkin pekerjaannya sedang banyak, atau mungkin juga menghindari Kei karena Kei tak juga mau memberi jawaban atas permintaannya.Terbersit sebuah ide, "Apa aku harus melakukan itu?" gumamnya.Seperti ada sebuah dorongan, Kei pun bangkit dari pembaringan, lalu beranjak keluar kamar.Sepi, bahkan lampu di beberapa ruangan sudah padam, tapi Arka belum juga pulang. Kei tak tenang, tapi Kei enggan mengirim pria itu pesan untuk sekedar bertanya kapan pulang?Perempuan itu menghela nafas panjang, menguatkan tekad untuk melakukan ide yang beberapa saat lalu terbersit dalam benaknya.***Arka menghela nafas panjang saat melangkah memasuki rumah. Sebag
“Kamu bahagia?” Kei mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Genggaman lembut tangan sang suami membuat dadanya terasa hangat. "Lebih dari bahagia, Mas. Terima kasih karena kamu sudah mengabulkan pernikahan impianku. Aku beruntung memiliki kamu."Arka tersenyum singkat. Ia menatap Kei dengan tatapan tak terbaca. Dan entah mengapa, sekilas Kei merasa ada yang berbeda dari tatapan pria itu.Tapi apa? Kei lantas menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pemikiran itu. Arka ada di sini bersamanya, dalam perjalanan menuju rumah baru mereka. Kei tak perlu memusingkan hal lain di hari bahagianya bukan?Sekitar lima belas menit kemudian, mobil mewah milik Arka memasuki gerbang tinggi yang dijaga dua satpam.Kei terus tersenyum, tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Jantungnya berdegup kencang saat mengingat malam ini ia akan menyerahkan seluruh hidupnya pada Arka, pria yang kini sudah sah menjadi suaminya.Memikirkan semua itu sudah membuat wajah Kei terasa panas. Arka turun dari mobil lebi
Sekuat tenaga Kei meronta, sampai akhirnya ia bisa melepaskan diri dari Arka. “Uhuk uhuk uhuk...” Kei terbatuk hebat, tenggorokannya terasa sakit dan kering. Dia tidak bisa menggambarkan rasa sakit dan juga ketakutan yang ia rasakan saat ini. Kei hanya ingin menjauh dari suami yang tiba-tiba berubah menjadi monster dalam semalam. Dengan sisa tenaga yang ada, Kei mencoba pergi, tapi Arka berhasil menangkapnya dan melempar tubuh lemah Kei ke atas ranjang."Kamu pikir bisa lari begitu saja?"Kei semakin ketakutan, ia tak pernah melihat Arka sekejam ini. Pria yang ia cintai, pria yang ia percayai, ternyata menyimpan sisi lain dalam dirinya. Bodohnya, Kei tak tahu alasan perubahan sikap pria itu. “Lepas, Mas! Jangan seperti ini, aku mohon,” mohon Kei seraya terisak. Arka justru menyeringai melihat Kei seperti itu. Ia mengurung tubuh Kei hingga gadis itu terpojok tak bisa lari lagi. Tanpa menghiraukan isak tangis yang memilukan itu, Arka menarik kemeja yang Kei pakai hingga kancing-kanc
Kei tentu tak terima dengan jawab pria itu, apalagi wanita yang bergelayut manja di lengan suaminya tampak tersenyum mengejek. Hal itu semakin memancing kekesalan Kei, ia menarik wanita bernama Clara itu dan menjauhkannya dari Arka."Jauhi suamiku!" pekik Kei marah.Clara yang memang benci pada Kei menggunakan kesempatan itu untuk menyerang balik. Dengan kuat Clara menampar pipi Kei, menimbulkan bunyi cukup keras hingga Kei mundur beberapa langkah karena kerasnya tamparan itu.Tak ingin kalah, Kei pun mengangkat tangan kanannya, hendak membalas tamparan Clara. Tapi Arka menahannya. Pria itu menghempaskan tangan Kei dengan keras."Jaga sikapmu!"Kei menatap Arka dengan nanar, air matanya semakin membanjir, "Kamu membelanya, Mas? Setelah apa yang kamu lakukan semalam, kamu justru membawa wanita ini dan membelanya?! Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?!""Diam kamu, wanita sialan! Harusnya kamu tahu diri!" sentak Clara, membuat Kei terkejut. "Yang berhak atas diri Arka dan rumah
Malam harinya, Kei keluar dari kamar tamu. Seharian ia mengurung diri di kamar itu, tak ingin menambah luka di hatinya dengan melihat kebersamaan Arka dan Clara.Beruntung siang tadi orang suruhan papanya datang mengantar barang-barangnya, ia bisa berganti pakaian dengan pakaiannya sendiri.Kei berdiri di dekat anak tangga pertama, menatap pintu kamar Arka yang sedikit terbuka. Ia ingin mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar itu, karena mengira Clara masih ada di sana ia urungkan niatnya."Nyonya, makan malam sudah siap.""Rumi, kamu mengejutkanku." Karena larut dalam lamunan, Kei sampai tak menyadari kedatangan Rumi."Maafkan saya, Nyonya," ucap Rumi seraya menunduk."Tak apa, Rumi. Aku hanya sedang melamun. Anu... apa aku bisa meminta bantuan?"Rumi tampak mengerjap saat Kei mendekat."Bisa tolong ambilkan ponselku yang tertinggal di kamar Mas Arka? Aku tidak mau ke sana lagi," ucapnya dengan raut wajah gelisah."Baik, Nyonya. Akan saya ambilkan. Nyonya tidak perlu sungkan. Ji
Malam sudah larut, tapi entah mengapa Arka belum juga memejamkan matanya. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya, ada rasa aneh yang menjalar di hatinya."Shit!" umpatnya. Dengan gusar pria itu mengusap wajah, lalu kembali bangun dan beranjak ke balkon. Ia nyalakan sebatang rokok yang masih tergeletak di atas meja, mungkin kemarin malam tertinggal di sana.Ia nikmati batang panjang yang menghasilkan kepulan asap itu dengan mata terpejam. Samar-samar terdengar suara isak tangis. Ia beranjak ke sisi pagar balkon, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke balkon sebelah.Kei tengah duduk meringkuk di pojok balkon seraya menelungkupkan wajahnya di atas kedua lengan yang terlipat di atas lutut. Bahu perempuan itu bergetar, di depannya ponselnya tergeletak dan mulai berdering. Namun, perempuan itu tak mengangkat panggilan masuknya sama sekali.Arka terus menatap gadis itu dalam diam. Sesuatu menelusup ke dalam hatinya dan membuat Arka merasa tidak nyaman. Ada perasaan aneh. Hatinya t
"Berani-beraninya kamu bermesraan dengan pria lain di hadapanku?!" Cecar Arka, ia mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Kei. Padahal luka memar di tangan Kei belum memudar sepenuhnya, tapi kini Arka kembali membuat luka baru."Lepas, mas. Kamu menyakitiku," ucap Kei dengan lirih. Matanya berembun, setiap pria itu kasar, hatinya terasa sakit."Ini pantas kamu dapatkan, kamu harus aku beri pelajaran agar tidak bertindak sesukamu! Kenapa kamu memeluk pria lain, hah?" Sentak Arka.Kei memejamkan matanya saat suara bentakan pria itu terdengar memekakkan telinganya. Air mata yang sedari tadi menggenang kini meluruh sudah. "Dia hanya temanku, mas. Bukan kah dia juga sahabat mu?" Ucap Kei. Perempuan itu mulai terisak. Sakit di pergelangan tangannya tak seberapa jika di bandingkan dengan rasa sakit yang hatinya rasakan karena perlakuan pria itu."Teman? Aku meragukan itu! Apa dia juga sudah menikmati tubuhmu?! Apa kamu juga merayunya? Aku percaya padanya, tapi kamu? Jalang sepe