Aku terbangun di dalam kamar. Sebuah infusan terlihat di salah satu lengan. Pusing berkunang-kumang masih bisa dirasakan dengan mata perih dan mulut yang sedikit pahit. Hampir dua hari sejak kejadian yang kuanggap mimpi itu terjadi, besoknya aku langsung meriang dan demam, lalu dirawat selama sehari di rumah sakit. Yang paling menghawatirkan dari semua itu jelas adalah janin ini.Namun, beruntung dokter mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Asupan nutrisi juga terpenuhi. Bu Sarah dan Pak Ali sempat datang untuk memastikan keadaan, begitu pula dengan Pak Budi dan Bu Siska.Tak ada sorot bersalah yang digambarkan ibu kandung Naya itu bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini. Sementara sang suami, Pak Budi, besar kemungkinan sampai detik ini lelaki paruh baya itu masih belum tahu tentang statusku setelah dua puluh lima tahu berlalu. Kalau pun tahu kuyakin semua tak akan berakhir seperti ini."Sudah, baring saja! Kamu masih sakit." Kurasakan tangan besar menah
"Udah mendingan, kok. Jadi kamu bisa mulai kerja besok." Sekembalinya dari kamar mandi, kulihat Khalid melakukan kegiatan rutinnya sejak dua hari lalu. Yaitu mengantar makanan dan obat-obatan tiap pagi, siang, dan malam. "Kebetulan Neli juga sempet WA kalau dia udah di jalan." Kuabaikan dia yang masih berdiri di sisi ranjang, setelah meletakan nampan di atas nakas. Kemudian kuyalakan hairdryer untuk mengeringkan rambut. Segar rasanya setelah dua hari badan lengket dengan keringat."Siapa yang suruh kamu mandi? Kondisimu masih belum stabil, Nindi!" Aku memutar bola mata saat mendengarnya meributkan hal yang kurasa tak perlu."Tubuhku, terserah aku. Mau mandi, berendam, atau telanjang. Apa urusanmu?"Tampak dari pantulan kaca lemari, rahangnya mengatup rapat."Jangan coba membatasi diri! Saya tahu sebelum kejadian itu kamu nggak begini.""Maaf?" Aku berbalik. Siapa yang kamu bilang membatasi diri? Bukannya selama ini kamu yang bersikap naif dan punya aturan sendiri?" Melihatnya mulai
Sampai di ambang pintu, aku menimbang-nimbang lagi. Jujur, egoku terlalu tinggi bila harus memulai duluan. Tapi, kembali lagi. Bila perang dingin ini tak segera diakhiri, bisa-bisa aku dan Neli tidak lagi menjadi Bestie.Kuhela napas panjang sebelum menghampiri Khalid yang baru saja menutup kitab suci, dia beranjak bangkit dan tertegun saat mendapatiku berada di hadapannya saat ini."Sorry." Kukatakan itu dengan pandangan berpaling."Saya di sebelah sini, Nindi!" Aku berdecak, lalu terpaksa menatap langsung ke matanya."Maaf, kalau aku nyebelin akhir-akhir ini." Sedikit ketus, kalimat sakral itu akhirnya terucap.Khalid tersenyum kecil. "Iya, nggak apa-apa. Saya ngerti.""Ya udah, kita turun sekarang! Jam buka tinggal beberapa menit lagi."Dia mengangguk, masih dengan sarung dan kaus putih yang melekat, Khalid melepas kopiah yang semula bertengger manis di kepalanya."Sebentar!" Refleks aku menarik tangan kanan Khalid yang terdapat memar."Ini gara-gara mukul lemari tadi?" Aku bertan
Aku kehilangan kata untuk menggambarkan sosok Khalid Prasetya. Dia nyaris tak ada celah, dan sulit sekali mencari kekurangannya.Bagaimana bisa dia membawaku ke acara besar seperti ini hanya beberapa jam sebelum dilaksanakan? Semua serba dadakan, tapi hasil yang didapatkan menurutku tak terlalu mengecewakan.Kami tampil layaknya pasangan pada umumnya. Pakaian couple berwarna senada, jas dan kaftan, bergandeng tangan menyalami kerumunan orang-orang yang sebagian besar menatapku penasaran. Tak heran memang. Meski pernikahan kami resmi, tapi acaranya tertutup untuk umum. Hanya saudara dan kerabat dekat saja yang datang."Kalau boleh saya tahu ini siapa, ya, Pak Khalid?" Sudah kuduga. Akhirnya pertanyaan sakral itu datang juga.Khalid menatapku sejenak, lalu mengetatkan genggaman tangan kami."Istri saya." Singkat, padat, jelas. Dan aku suka.Kedua lelaki paruh baya itu berpandangan."Maaf, sebelumnya. Bukannya istri Anda Bu Naya. Anu, yang berjilbab." Hati-hati salah satu dari mereka ber
Aku duduk di tepi ranjang samping kiri. Memintal-mintal selimut yang menutup setengah tubuh ini. Kutatap Khalid yang baru kembali dari kamar mandi, jejak basah terlihat masih tertinggal di ujung rambut hingga menetesi kerah kaus."Kalau kamu keberatan saya bisa tidur di sofa atau ruang tam--""Nggak usah!" sentakku tanpa sadar. Kutahan tangannya yang hendak meraih selimut dan bantal. "Di sini aja, temenin." Kutepuk dahi sesaat setelah mengatakan, kalau begini jadinya aku seperti sangat menginginkan. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Ini bahkan bukan pengalaman pertamaku dengan lelaki. Aku bahkan sudah mengenal berbagai macam Kaum Adam.Tapi, kenapa sekarang seolah ada perasaan janggal yang tak pernah dirasakan?"O-oke." Tanpa menoleh aku bisa merasakan pergerakan ranjang di samping kanan. Dia menarik selimut yang semula hanya kugunakan.Napasku tercekat saat kaki kami bersentuhan. Sialan, apa-apa perasaan ini?Mencoba menepis berbagai macam perasaan yang berkecamuk menjadi satu, aku
Di dalam perjalanan menuju supermarket. Sesekali aku melirik Khalid yang tengah fokus menyetir. Teringat kata-katanya subuh tadi, juga dekapan hangatnya semalam. Aku mulai merasakan kecamuk perasaan yang sulit digambarkan."Semalam adalah tidur ternyenyak saya setelah beberapa waktu terakhir." Khalid memulai percakapan dan balik menatap."Iyakah? Kukira kamu pingsan karena rambutku bau.""Rambutmu wangi, Nindi," tuturnya penuh penekanan."Kalau badanku?" "Justru aroma tubuhmu yang membuat saya tenang hingga lelap semalam.""Belum aja kamu cium aroma ketekku yang kata orang memabukkan."Khalid menekan pelipis saat dirasa percakapan ini mulai melenceng jauh.Mencoba mengalihkan kegialaanku yang semakin menjadi-jadi. Akhirnya dia berinisiatif untuk menyalakan audio yang kebetulan tengah memutar lagu dari penyanyi wanita yang sedang hitz sekarang. Judulnya 'Kisah yang Sempurna'Tenggelam, jiwaku dalam anganTersesat, hilang, dan tak tahu arahKu terjebak masa lalu yang kelamTak kulihat
Tujuh tahun lalu ....Di depan gundukan makam dengan nisan bertuliskan 'Lusi Anita bin Abdul Jafar, aku terpekur memeluk balita berumur satu tahun dalam gendongan, menenangkan lelaki yang bahunya berguncang meluapkan rasa kehilangan yang amat besar. Setelah tiga tahun berumah tangga, setahun diberi kepercayaan untuk menjadi orang tua. Maut akhirnya memisahkan mereka, karena penyakit magh kronis yang menggerogoti tubuh istrinya.Kak Lusi dan Kak Indra bisa dibilang orang yang berjasa saat aku tinggal di panti. Mereka juga yang setahun lalu menawariku pekerjaan di sebuah cafe menjadi seorang barista. Sejak saat itu aku meninggalkan panti serta semua kenangan manis dan pahit yang pernah tercipta di sana. Kemudian memutuskan menetap di sebuah kontrakan masih di daerah yang sama dengan mereka, yaitu Jakarta Selatan.Setelah resign dari Panti Tali Asih Kak Indra memang memutuskan untuk bekerja menjadi seorang butuh pabrik, sementara Kak Lusi fokus menjadi ibu rumah tangga. Tiga tahun pertam
Sepeninggal Kak Indra, bergantian renternir datang. Menagih utang yang bahkan aku tak tahu. Ada yang bilang itu bekas pengobatan Kak Lusi, ada juga yang bilang utang yang ditinggalkan bapak Kak Indra sebelum meninggal. Lebih parahnya lagi, ada yang menagih utang judi.Semua barang-barang di rumah ludes di sita. Yang tersisa dari kami hanya diri. Sembari menunggu kabar dari satu-satunya tulang punggung keluarga, aku masih harus meyakinkan Nana bahwa semua akan baik-baik saja. Di tengah keputusasaan, dalam sisa harapan, tepat di hari ke tujuh Kak Indra pulang. Nyaris tak ada kata yang dia ucapkan setelah seminggu meninggalkan kami tanpa kepastian.Setelah memastikan Ibu dan Nana sudah lelap tertidur, kuhampiri dia yang duduk termangu di tepi ranjang. Memegangi kepala seolah menekan begitu banyak beban."Kak, aku tanya ke mana kakak selama ini?"Dia masih tak menjawab. Hanya menoleh dan menatapku dengan sorot yang sulit diartikan."Apa kamu mencintaiku, Nindi?"Aku mengernyitkan dahi."