“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku.
“Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka padaku. Mereka menginginkanku bercerai denganmu, Mas. Mereka tidak sudi memiliki menantu dan ipar dengan kasta rendahan sepertiku dan mereka tidak sudi punya cucu dan keponakan dari rahim wanita rendahan sepertiku.”Aku menatap nanar wajah wanita yang sangat kucintai. Sedalam itukah rasa benci keluargaku pada Amel dan Arka? Padahal yang kutahu selama ini Amel itu menantu dan ipar yang penurut. Setiap ada acara besar pasti Amel yang paling utama membantu di belakang. Setiap aku melarangnya dan ikut gabung di depan pasti Amel selalu menolakku dengan mengatakan kalau dia ingin membantu tenaga. Dan pada saat itu baik Ibu maupun mbak Sita juga bersikap baik pada Amel. Namun, baru kutahu ternyata hati mereka busuk. “Yasudah kalau begitu, biar nanti aku yang ke sana. Kalau begitu mending sekarang kita pulang. Yuk, kasihan Arka kepanasan begini. Lihat tuh rambutnya sampai merah.”“Ini juga terpaksa kali, Mas, kalau aku tinggal Arka di rumah siapa yang akan menjaganya? Semua orang punya kesibukan masing-masing. Terpaksa aku membawanya ikut serta.”“Yasudah maafin aku ya, sekarang kita pulang. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu.”“Tentang apa? Tentang keluargamu? Bukankah kamu dan keluargamu sama saja? Kalian sekongkol.”Aku menggeleng kepala dengan cepat. “Tuduhanmu itu tidak benar, Amel. Aku tidak pernah berlaku seperti itu. Selama ini … ayolah sebaiknya kita pulang dulu. Selain kasihan Arka juga gak enak urusan rumah tangga kita didengar orang. Lihat semua orang menatap kita di sini sejak tadi.” Amel tampak menghela napas dan pada akhirnya ia menyetujui ucapanku. Kami pun berjalan menuju rumah kontrakan yang selama ini ditinggali Amel dan tempat bernaung selama aku pulang ke kota ini. “Mas tunggu!”“Ada apa?”“Barang-barang bekas yang aku kumpulkan. Nanti diambil orang.” Saat Amel akan berbalik badan dan meninggalkanku, cepat kucegah dengan menggenggam tangannya. “Tidak usah, Sayang, mulai detik ini tidak akan kubiarkan kamu memulung lagi. Biarkan saja diambil orang. Anggap saja sedekah padanya.”“Tapi ….”“Please, kamu masih menjadi istri yang baik dan penurut kan? Tolong ikuti ucapanku.” Lagi-lagi terdengar hembusan napas lalu Amel mengangguk. Dan kami pun akhirnya berjalan menuju ke rumah. Sesampainya di rumah kubiarkan Amel dan Arka bersih-bersih badan sedangkan aku sudah memesan makanan lewat delivery dan sebentar lagi pasti akan datang. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya pesananku datang. Saat itu juga Amel tampak sudah selesai mandi sebab dia baru keluar dari kamar dan berganti pakaian. Tunggu ….Berganti pakaian? Kupindai tubuh Amel dari atas hingga bawah. Keningku dibuat berkerut pasalnya baju yng digunakan menurutku gak ada bedanya dengan baju yang ia kenakan saat memulung tadi. “Kenapa ngeliatin aku sampe sebegitunya?” tanyanya dengan dahi berkerut menatapku. “Bukankah aku membelikanmu banyak baju selama ini? Kenapa kamu pakai baju banyak tembelan begitu?”“Semua baju-baju yng jamu belikan buatku diambil mbak Sita. Karena katanya aku tidak pantas pakai baju bagus. Makanya dia ambil karena kebetulan badan kita sama jadi dia bilang baju-baju itu cocok buatnya.”“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan men
“Iya, Mas, aku mau asalkan selalu bersamamu dan anak kita.” Mendengar jawaban Amel, kembali aku memeluknya dengan tangis bahagia. Akhirnya … aku bisa berkumpul kembali dengan anak dan istriku. Ah, rasanya aku terharu sekali. Setelah selesai makan aku pun membereskan sisa makananku dan juga makanan mereka. Amel pun ikut membantu, tetapi aku larang. “Mel biar aku saja yang membereskannya, kamu istirahatlah kan seharian sudah keliling pasti capek.”“Nggak apa-apa, Mas, aku ini istrimu dan sudah sepantasnya aku ikut beres-beres karena kamu juga pasti capek sebab dari perjalanan jauh,” jawab Amel sambil melanjutkan beres-beresnya.“Sudah, sebagai istri kamu harus menurut. Kamu beristirahatlah biar aku saja membereskan semua ini. karena kamu kuperhatikan udah terlalu lelah.”Aku terus bersikukuh, hingga akhirnya Amel menurut dan tidak bisa menolak lagi. Setelah itu aku membuang semua bungkus bekas makanan termasuk bekas makanan Arka. Setelah selesai aku juga menyapu dan mengepel bekas ma
Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab
“Bayu! Apa maksud kamu?! Kamu itu mau dicap durhaka sama ibu karena menghentikan kirimanmu kepadanya?! Tega kamu! Hanya demi membela perempuan yang jika kalian bercerai akan menjadi mantan tapi kamu sampai sebegitunya.”“Tutup mulutmu, Mbak! Aku dan Amel tidak akan pernah bercerai. Seandainya aku dan Amel sampai bercerai itu pasti karena ulah kalian.”“Kamu yang tutup mulut! Kamu itu dilahirkan dari rahim Ibu dan beliau yang merawatmu juga menyekolahkanmu. Tapi inikah balasanmu? Dasar tidak tahu diri.”“Seandainya aku bisa memilih harus dilahirkan di rahim siapa dan yang mana maka aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di rahim ibu. Kehadiranku di dunia ini adalah kehendak ibu dan bapak. Itu juga karena ridho Allah, Mbak. Merawat dan membesarkan anak itu sudah menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya. Anak bukan investasi masa depan, Mbak. Seharusnya melihat anak bahagia dengan pasangannya, ibu juga harus bahagia dong. Tapi nyatanya apa? Yang ibu lakukan justru menghancurkan ruma
“Mas serius?” Amel menatapku dan aku membalas tatapannya. Aku segera mengangguk kecil menjawab pertanyaannya. “Tapi nanti apa gak akan jadi masalah? Itu mbak Sita pasti akan mengamuk, Mas.”“Hey, itu semua barang punya kita. Mau Mas bawa ke Kalimantan rencananya. Soalnya di sana Mas udah beli rumah jadi kan lumayan buat isi rumah kita yang di sana daripada beli kan?”“Beli rumah? Mas serius?” Aku kembali mengangguk menjawab ucapannya. “Rumah atas namamu, mas sengaja membelinya karena ingin membahagiakanmu. Memang sudah punya cita-cita jika membeli hunian nanti akan mas pakai namamu.”“Mas sebenarnya jabatanmu itu apa? Kenapa gajimu besar sekali? Bisa beli ini dan itu?”“Alhamdulillah jabatanku sekarang manajer, Sayang. Gajiku sekitar 30 juta sebulan itu belum termasuk bonus. Yah kalau ditotal dengan bonus kurang lebih 35 juta Kenapa bisa cepat? Karena sejak awal masuk aku kan sudah menjabat sebagai supervisor dan kebetulan di perusahaanku sedang dibuka perusahaan baru istilahnya cab
Huft, selalu adaaa saja yang mengganggu. Heran aku, apa seperti ini yang Amel alami setiap hari? “Siapa itu, Mas? Ayo kita lihat sama-sama, aku juga ingin tahu.” Aku dan Amel saling berpandangan lalu aku mengedikkan bahu tanda tidak mengerti. Seketika aku melangkah menuju pintu depan yang ada di ruang tamu sementara kami berdua berada di kamar. Aku berniat untuk melihat siapa yang datang berteriak memanggil nama istriku seperti itu. Ternyata Amel juga ingin ikut serta melihat keluar, tetapi aku melarangnya. “Tidak usah biar aku saja, kamu tunggu saja di dalam biar aku yang lihat keluar. Lagi pula kamu sedang menggendong Arka. Kasihan kalau anak kita sampai mendengar yang enggak-enggak nanti di luar,” ujarku pada Amel. Untungnya Amel menurut apa yang aku titahkan padanya. Aku mengintip dari balik hordeng dan cukup terkejut saat tahu suara siapa yang berteriak. Kalau aku tidak segera keluar pasti Ibu akan lebih ribut lagi, tetapi jika aku keluar pasti juga tetap ribut. Huft, sera
“Makasih ya, Mas, kamu sudah mau membelaku hingga sejauh ini. Padahal kami bisa dicap sebagai anak durhaka.” Amel mendongak dan kedua bola mata kami saling bersitatap. Aku mengecup dahinya, entah kenapa rasa sayangku teramat besar untuknya. “Itu sudah menjadi kewajibanku, Sayang. Di sini aku bukan ingin menjadi anak durhaka tapi aku memposisikan di sisi yang benar. Meskipun aku harus melawan ibu kalau beliau salah tetap aku tidak akan berpihak padanya. Biarkan Tuhan yang maha tau yang menilai tentang diriku. Sudah kamu gak usah pikirkan hal itu. Aku mau ngecek ke depan dulu karena sepertinya suara ibu sudah gak kedengaran lagi. Amel melepaskan pelukannya di tubuhku, aku pun bergegas menuju ke ruang tamu lalu mengintip dari balik jendela untuk memastikan apakah Ibu masih di depan rumah atau tidak dan ternyata beliau sudah pergi.Kuhembuskan napas dan rasanya cukup lega. Langsung saja aku memesan taksi online untuk kami bertiga, agar bisa segera berangkat karena hari juga sudah siang.
“Dari siapa, Mas? Kok wajahmu kusut?” tanya Amel padaku.“Ohh, ini dari rekan kerja. Nanyain kapan berangkat kerja kembali.” Aku berusaha tersenyum sebab tak ingin Amel tambah sedih kalau mengetahui mbak Sita lah yang mengirimiku pesan. “Apa nggak sebaiknya ditelpon saja temannya, Mas? Biar lebih jelas? Takutnya ada hal penting,” ujar Amel memberi saran padaku. “Nanti sampai rumah akan kuhubungi. Kamu tenang saja, dia hanya menanyakan kabar bukan soal pekerjaan,” jawabku yang lagi-lagi berbohong pada Amel. Biarlah mbak Sita dan Ibu menjadi urusanku tanpa melibatkan Amel. Selama di perjalanan aku terus menggenggam erat tangan Amel. Tidak ada lagi yang namanya kesedihan karena yang ada hanyalah kebahagiaan. Dia sudah cukup bersabar untuk menahan pedihnya hidup selama ini dan sudah waktunya Amel juga Arka merasakan kesenangan. Tanpa terasa kami pun tiba di kota asal kami kembali yakni, kota Pati. Namun, aku belum ingin langsung pulang ke kontrakan. Aku masih ingin menyenangkan Amel