“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
“Gimana kabarnya Amel, Bu? Sudah lama aku gak dengar suaranya. Aku merindukannya, Bu. Ponselnya Amel juga gak bisa dihubungi. Kira-kira dia ke mana ya?” tanyaku pada Ibu. Saat ini aku sedang berbicara dengan keluargaku melalui sambungan telepon“Amel baik-baik saja, Bayu,dia tidak bisa dihubungi karena ponselnya rusak gara-gara kena susunya Arka,” jawab Ibu yang menjelaskan kenapa ponsel istriku tidak bisa dihubungi. “Lalu kenapa Ibu gak kasih tau Bayu kalau ponsel Amel rusak? Bayu kan jadi khawatir?”“Ya Ibu gak mau kamu jadi kepikiran. Makanya ibu gak hubungi kamu sebab takut ganggu kerjaan kamu di sana.”“Iya, Bayu, kita ini nggak mau ganggu kerja kamu. Makanya kita diam saja. Nanti kalau kita mengadu ini dan itu takutnya bakal mengganggu konsentrasi kerjaan kamu. Makanya kita nunggu kamu telpon duluan aja.” Mbak Sita menimpali. Ia kakakku yang tinggal bersama Ibu dan kedua anaknya sedangkan suaminya juga sama sepertiku merantau ke luar pulau. Hanya saja, kami berdua berbeda pul
Astaga Amel, benarkah itu istriku? Kenapa bisa? Bukankah Ibu dan Mbak Sita mengatakan kalau Amel sedang berada di rumah orang tuanya? Lantas, mengapa dia di sana dan memulung? Aku tertegun sejenak, sebab orak ini masih berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini artinya kalau keluargaku yang berbohong? Karena dilanda rasa penasaran yang tinggi, akhirnya aku langsung berinisiatif menghubungi pemilik akun Netizen Konoha itu melalui pesan pribadi. [Selamat malam, maaf sebelumnya kalau saya mengganggu. Saya mau tanya tentang kebenaran video seorang perempuan dan anaknya yang pemulung dan si anak sedang sakit TB. Apakah semua itu benar?]Sedikit resah, sebab aku sangat penasaran menunggu jawaban si pemilik akun. Mataku mungkin berbinar sebab mendengar notifikasi pesan di ponselku berbunyi. Bergegas aku mengambil kembali ponsel yang tadi sempat aku letakkan di atas nakas. [Selamat malam juga. Iya video yang saya up itu memang benar]Tidak menunggu lama, aku kembali membalas
Pada akhirnya aku pun pulang ke tanah kelahiranku di pulau jawa. tidak sabar rasanya ingin langsung mengecek sendiri kebenarannya tentang anak dan istriku.Namun, mbak Wati bilang kalau di jam siang Amel dan Arka masih keliling cari barang bekas. Jadi, sebaiknya langsung kutunggu saja di rumah kontrakannya baru sorenya ke jalan Ahmad Yani.Hatiku resah tidak karuan saat berada di dalam pesawat. Pikiranku berkecamuk, bagaimana bisa kepergianku merantau untuk menafkahi keluarga justru membuat anak dan istriku menderita.Akan tetapi, kenapa Amel diam saja? Dia tidak mau menceritakan semua yang dialaminya, bukankah aku ini suaminya? Apa amel sengaja agar tidak mengganggu pekerjaanku agar bisa fokus pada pekerjaan? Namun, kalau seperti ini kan aku jadi merasa bersalah. Aku jadi merasa tidak becus sebagai seorang suami dan ayah. Lamunanku buyar setelah salah mendengar suara yang menginformasikan kalau pesawat sudah tiba di bandara Soekarno Hatta, bergegas aku bersiap untuk transit ke band
Sesaat aku mendengar ada yang berteriak memanggil nama Amel berulang kali. Siapa kira-kira yang datang? Kenapa dia sampai marah-marah begitu?Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya aku langsung bergegas keluar rumah untuk mencari tahu sumber suara itu. Saat di depan pintu ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang kini berdiri tegak di hadapanku yang ternyata dia adalah Ibu Endang, pemilik kontrakan yang kami tempati ini. “Maaf, Bu, Ibu kok teriak-teriak di depan rumah? Ada apa?” tanyaku pada Bu Endang, tampak sekali ia memandangku dengan tatapan sinis.“Oh ternyata kamu sudah pulang toh. Saya pikir kamu sudah lupa dengan anak istrimu, tapi baguslah kebetulan sekali kalau kamu pulang. Ayo buruan kamu bayar kontrakan ini. Sudah nunggak tiga bulan tau! Ke mana aja kamu, sampai istrimu nggak sanggup bayar! Saya butuh uang, kalau nggak sanggup bayar lebih baik keluar saja dari rumah ini. Masih banyak yang mau tinggal di sini tau gak! Saya heran deh, kamu kan kerja di kalimantan
Berbekal alamat yang diberikan oleh mbak wati padaku. Di mana tempat para pemulung menyetorkan barang bekas untuk ditimbang lali mendapatkan uang. Sembari menahan sesak di dada aku terus saja berjalan menuju tempat pengepul tersebut. Jaraknya memang tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Hanya sekitar 2 km saja. Namun, meski hanya 2 km tetap saja kalau berjalan kaki ya lelah juga. Padahal sewaktu lebaran tahun kemarin aku sudah membeli motor dengan niat agar istriku ke mana-mana tidak perlu lagi kecapekan. Namun, sekarang ini barang itu juga tidak ada di rumah ini. Padahal aku membelinya secara kredit dan hingga sekarang kreditannya juga masih aku bayar. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Amel yang setiap harinya harus melakukan ini sambil menggendong anak kami. Aku yang jalan seorang diri saja cukup lelah dan kepanasan apalagi istriku. Sesekali aku berhenti sebab kaki terasa lelah sembari menghela napas karena kesedihan yang kurasakan saat ini.Sesampainya di sana ternyata
“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku. “Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka pada
“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan men