Share

Bab 9

Bab 9

"Apa sih teriak-teriak?" tanya Mas Dafa, ia pun bertanya dengan nada sedikit meninggi. Tiba-tiba aku teringat ucapan Yuri, besok adalah hari kehancuran para suami yang berkhianat. Sepertinya tak perlu lah tanyakan celana dalam yang kutemukan dengan memakai otot. Buang-buang tenaga saja.

"Mas Dafa yang katanya tampan, aku mau tanya ini milik siapa? Kenapa ada di tas kamu?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis. Tanganku memegang celana dalam hanya dengan ujung jari. Tak lupa aku tutup lobang hidung ini dengan tangan sebelah kanan.

"A-anu, Sayang. A-aku pun nggak tahu itu milik siapa, hemm jangan-jangan anak-anak yang lain nih iseng biar kita ribut," elak Mas Dafa dengan terbata-bata.

Sudah kuduga, ia takkan mengakui meskipun bukti ada di depan mata. Padahal ada bukti yang lebih akurat lagi sudah dipegang oleh Yuri.

"Lalu ini masuk ke mesin cuci untuk aku? Jijik banget sih make celana dalam bekas wanita yang tidak aku kenal," jawabku dengan menunjukkan wajah tak enak.

"Ya dibuang dong, sini aku buang," pinta Mas Dafa sembari menarik celana dalam berwarna hitam pekat itu.

Kemudian, setelah ia pergi, aku pun melanjutkan cuci pakaian yang ia bawa dari liburan di puncak.

Sambil menunggu cucian digiling, aku pun merapikan piring yang tadi pagi bekas makan bersama Yuri. Tiba-tiba saja Mas Dafa datang mengejutkan aku.

"Kamu nggak kangen, Sayang?" tanya Mas Dafa sembari memelukku dari belakang.

"Nggak." Aku menjawab ketus dan singkat.

"Judes amat, eh itu kok piring banyak banget, kan kamu sendirian?" tanya Mas Dafa membuatku memutar bola mata seraya mencari alasan tepat. Bibir ini kugigit karena sedikit bingung harus jawab apa.

"Perkara piring saja kamu tanyakan, Mas. Padahal jelas-jelas aku di rumah sendirian," jawabku sambil mencuci tangan ini. Kemudian, aku pindah melangkah untuk ke mesin cuci untuk membuang air yang telah selesai menggiling cucian.

"Bukan masalah piring sih, tapi Mas takut kamu bawa lelaki ke rumah ini," tukasnya membuat langkah kaki ini terhenti.

Aku balik badan, kemudian mendekati tubuh Mas Dafa. Ya, saat ini jarak antara aku dan Mas Dafa hanya satu jengkal saja. Kami saling beradu pandangan dan bola mata kami tak kedip sekalipun saat menatap. Lalu ia menyapu mata ini dengan telapak tangan kanannya.

"Kamu marah? Kalau tidak melakukan hal itu kenapa marah?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. 

Aku bergeming, darah ini bergemuruh mendengar penuturannya barusan. Pandai sekali ia memutar balikkan fakta.

"Aku nggak marah, aneh saja dengan kamu, Mas, bisa-bisanya menuduh istri tanpa bukti. Apa jangan-jangan kamu yang selingkuh?" tanyaku seraya memancing, senyumku sedikit mengembang dan alisku pun terangkat seraya ngeledeknya.

Mas Dafa pun terdiam sejenak. Kemudian tertawa lepas sambil menutup mulutnya.

"Becanda kamu, Sayang, bisa-bisanya nuduh suami yang setia ini selingkuh. Aku tak pernah ngurangin jatah bulanan, bonus akhir tahun juga semua aku kasih ke kamu, kurang sayang apa suamimu ini ke kamu? Kurang bukti apa untuk membuktikan bahwa aku sangat mencintaimu?" Sederet alasan ia pertanyakan padaku sambil melingkarkan kedua tangannya tepat di pinggangku.

Kemudian, aku lepaskan dekapannya, dan melanjutkan mencuci pakaian lagi.

"Tuh kan, baru dipeluk sebentar saja udah menghindar, aku tuh curiga jadinya," celetuknya lagi membuatku geram.

"Sudahlah, Mas. Aku lagi nyuci nih, lagi pula kamu dari mana-mana bukan mandi malah ngajak berdebat," sungutku sambil merapikan isi tas yang lainnya. Ada parfum, minyak angin, dan deodorant. Kulihat lebih teliti lagi apa ada bukti lainnya di dalam tas, tapi tas yang aku geledah sudah keburu diambil olehnya.

"Maaf, Sayang, aku bawa tasnya, biar memudahkan kamu, lagi pula nggak ada apa-apa di sini," ucapnya sambil mendekap tas itu. Aku pun menautkan kedua alis ini seraya menunjukkan keanehan di hadapannya.

Kemudian, ia pun pergi meninggalkanku. 

Usai mencuci pakaian, aku pun kembali ke kamar menemui Mas Dafa. Ia yang sedang menggenggam ponsel pun meletakkannya secara tiba-tiba di atas nakas.

"Lagi chat dengan siapa?" tanyaku sembari duduk di sebelah Mas Dafa.

"Mama," jawabnya singkat.

"Aku mandi dulu ya, lupa tadi seharusnya kemeja dan celana jeans ini juga dicuci," ujarnya sembari membuka kancing bajunya. Lalu aku bantu ia membuka bajunya, agar segera kubawa dan meletakkannya di tumpukan khusus pakaian kotor. "Gitu dong, sesekali bantuin ngelepas baju, sudah lama kamu nggak lakuin ini," sambungnya. Namun, aku hanya tersenyum tipis di hadapannya.

"Sudah mandi sana," suruhku. Ia pun bangkit untuk mandi dengan mengenakan kolor dan kaos dalam saja ke kamar mandi.

Mumpung Mas Dafa mandi, lebih baik aku periksa kembali tas tadi. Kucari di lemari dan memeriksanya dengan hati-hati dan teliti, tapi tak ada satu pun yang tertinggal di tas tersebut. Pasti sudah disimpan di tempat yang aku tak mengetahuinya. 

Kemudian, sebelum aku membawa kemeja dan celana jeans ke belakang, tak lupa aku periksa satu persatu saku celana dan kemeja, siapa tahu ada yang tertinggal di sakunya. Lumayan untuk menambahkan bukti besok ke tempat ia bekerja.

Sepertinya ada sesuatu di saku celana belakang. Kulihat dan ambil dari sakunya, ternyata sebuah resi kartu kredit senilai Rp. 8.500.000;00. Jumlah yang menurutku lumayan. Lalu kuteliti lagi di mana tempat ia menggesek kartu kredit tersebut. Ternyata di sebuah toko emas yang terletak di daerah Bogor. 

Astaga, aku menghela napas berat sambil mengurutkan dada, menahan darah yang sudah mendidih dibuatnya. Tadi jumlah penarikan tunai senilai sepuluh juta dengan empat kali penarikan melalui ATM. Sekarang kutemukan lagi transaksi dengan kartu kredit di toko emas. 'Awas kamu, Mas. Kalau besok dipecat, mau bayar pakai apa tuh kartu kredit yang telah kamu gesek untuk wanita itu,' ancamku dalam hati dengan tangan mengepal.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status