Bab 8
Aku segera membuka pintunya sambil menyiapkan alasan jika itu benar mertuaku yang datang.
Kubuka pintu dengan lebar, dan setelah melihat sosok yang datang aku pun menghela napas lega.
"Mbak Kinan, ada apa Mbak?" tanyaku pada tetangga yang datang. Ternyata tetangga sebelah rumah yang ke sini. Kulihat ia membawa mangkuk yang ditutupi piring.
"Aku masak tumis jamur, cobain deh, Mbak," ucapnya sembari menyodorkan mangkuk tersebut. Aromanya sungguh menggugah selera, pasti enak rasanya. Ya, Kinan memang pandai memasak, tiap kali ia masak aku selalu kebagian mencicipi.
"Wah, dari aromanya saja sudah bikin lapar, makasih banyak ya," ucapku sambil mengendus-endus makanannya.
"Itu temannya Mbak Aura?" tanya Kinan. Sebaiknya aku harus hati-hati juga pada Kinan, khawatir ia membocorkan tentang Yuri ke sini.
"Bukan, ini marketing perumahan sebelah, kamu mau ambil rumah lagi, nggak?" tanyaku hanya basa-basi.
"Oh gitu, ya sudah kalau begitu aku pulang dulu, mangkuknya jangan lupa isi lagi ya," canda Kinan membuatku tertawa lepas.
"Iya, nanti aku isi uang dua ribu," timpalku sambil tertawa.
"Bisa saja nih, Mbak Aura," celetuknya sambil berlalu pergi.
Setelah Kinan pergi, aku pun kembali menghampiri Yuri yang masih duduk tapi tetap memperhatikanku.
"Siapa dia? Bukan mata-mata suamimu, kan?" tanya Yuri agak sedikit curiga.
"Semoga sih bukan, tapi aku tetap hati-hati, sebut kamu sebagai marketing," ujarku sambil tertawa kecil.
"Bagus. Sekarang aku pulang dulu ya, tapi kok aku cemas dengan Raka, khawatir ketahuan oleh suami kita," ungkap Yuri masih menatap pada layar ponselnya.
"Iya, aku juga berharap Raka tidak ketahuan, kalau ketahuan, bagaimana kertas pernikahan siri mereka, tadi dia sudah sempat kirim belum ke kamu?" tanyaku sambil menyorot ke ponselnya.
Kulihat Yuri mengusap ponsel dengan lembut, lalu mencari kertas perjanjian pernikahan siri yang ia mereka serahkan pada administrasi hotel.
"Ada, ternyata Raka kirim, aku tidak memperhatikannya. Kalau begitu, kita aman, bukti sudah di tangan," ucap Yuri dengan senyum sedikit mengembang.
"Syukurlah kalau begitu, aku mau cicip makanan yang dikasih Kinan dulu, kamu mau nggak?" tanyaku sambil membuka penutupnya.
"Nggak, makasih, aku mau pulang dulu," pamit Yuri. Namun, tiba-tiba ia menatap layar ponsel dengan mata membulat.
"Kenapa kok melotot gitu?" tanyaku.
"Mbak, ini loh si Raka online, berati nggak kepergok ya, Mbak," ujar Yuri sambil menepuk lenganku yang sedang mencicipi makanan.
"Tumpah Yuri," celetukku sambil menghela napas dan melirik ke arahnya. Makanan yang hampir masuk ke mulut tumpah karena tepukan Yuri.
"Maaf, Mbak. Ini aku hubungi Raka atau tunggu Raka yang menghubungiku?" tanya Yuri.
"Tunggu Raka hubungi kamu saja, ngomong-ngomong dari tadi kamu pamit pulang nggak jadi-jadi, ya," ledekku sambil menyuap satu sendok lagi. Benar-benar masakan Kinan membuatku ingin tambahkan nasi ke dalam mangkuknya.
"Ah Mbak Aura bisa saja, ini misi kita, harus berjalan dengan baik, besok mereka akan menerima segala konsekwensinya," tutur Yuri sambil meletakkan kembali ponselnya. Ia tidak jadi pulang, karena masih menunggu kabar dari Raka.
Kulihat arah jam dinding sudah menunjukkan pukul 10:30 WIB. Raka pun belum memberikan kabar baik maupun buruk pada kami.
Kulihat wajah Yuri mulai cemas, sebab sudah satu jam lamanya Raka belum memberikan kabar.
Tidak lama kemudian, setelah Yuri berkali-kali mondar-mandir, akhirnya Raka menghubunginya kembali. Dengan wajah semringah, Yuri pun mengangkat teleponnya sambil menekan tombol speaker agar aku juga dapat mendengarnya.
"Halo, Raka. Kamu gimana di sana? Ketahuan nggak? Kamu nggak bilang orang suruhan aku, kan? Sederet pertanyaan dilontarkan Yuri, hingga Raka terdiam sejenak.
"Tanyanya satu persatu, Yuri," suruhku.
"Nggak sabar, Mbak."
"Mbak, kenal dengan Gilang? Temannya juga yang desanya asli sini, usianya kisaran lebih tua dari Mas Adit dan Mas Dafa," ucap Raka yang menyebutkan nama Gilang.
Kemudian Yuri mendongakkan dagu seraya bertanya padaku. Ya, jelas aku kenal, Gilang adalah atasan dari Mas Dafa yang tidak lain adalah ketua dari club mobil. Ia perjaka ting-ting, sudah berumur tapi tak mau menikah.
"Aku kenal dia, Yuri, masa kamu nggak kenal atasan Adit dia tuh," celetukku.
"Pernah dengar tapi nggak kenal siapa dia, bahkan jabatannya," terang Yuri. "Lalu ada apa dengan Pak Gilang?" tanya Yuri pada Raka.
"Tadi saya dipergoki oleh suami Mbak Aura, tapi bisa mengelak karena kebetulan saudara sepupu saya datang menghampiri. Tapi, ternyata saudara sepupu saya kenal dengan Gilang itu, katanya, dia itu sering ajak teman-temannya yang kesepian ke sini, dan wanita banyak wanita yang baru lulus dicomblangi oleh Gilang dengan iming-iming uang bulanan dan bonus akhir tahun, ada yang sudah menikah setahun setengah, ada yang baru tiga bulan, bahkan ada yang baru melangsungkan pernikahan tadi," tutur Raka membuatku dan Yuri menggelengkan kepala.
"Sudah cukup, Raka. Tak perlu kau jelaskan lagi, itu sangat menyakitkan. Yang terpenting, kamu bawa pulang bukti bahwa suamiku dan juga suami Mbak Aura telah melakukan pernikahan secara diam-diam. Tugasmu sudah cukup, pulanglah, aku tunggu di depan kantor ya, jangan ke rumah," suruh Yuri dengan mata memerah. Sepertinya amarah yang ia tahan membuat matanya tak jernih lagi, bukan air mata, tapi amarah. Untuk lelaki seperti Mas Dafa dan Adit, air mata tak perlu dihabiskan sia-sia.
"Baik, Mbak. Mereka juga sudah bersiap-siap untuk pulang," jawab Raka. Kemudian, telepon pun terputus.
Itu artinya sebentar lagi aku bertemu dengan wajah munafik Mas Dafa. Lelaki yang telah menorehkan luka di hati ini.
"Aku balik, ya. Besok kutunggu kamu di depan pabrik tempat mereka bekerja jam 10.00 WIB. Jangan telat, oke!" pesan Yuri ketika hendak pergi.
"Hati-hati ya. Makasih banyak," jawabku. Kemudian, ia pun beranjak pergi dengan melajukan mobilnya.
Tidak ada yang perlu dipertahankan. Semua sudah jelas. Mas Dafa harus menerima segala sesuatu yang buruk setelah ini. Pengkhianatan harus dibalas dengan kehancuran.
***
Matahari sudah hampir tenggelam, mobil Mas Dafa sudah terdengar berada di parkiran.
Tin ... tin ....
Suara klakson mobil terdengar, seperti biasa jika ia pulang pasti menandakan dengan klakson. Aku pun sengaja tidak keluar dari rumah.
Tidak lama kemudian. Ia pun berteriak memanggilku. "Sayang!" teriaknya membuatku muak. Bisa-bisanya memanggilku dengan sebutan sayang. Sementara kesetiaannya telah dibawa pergi ke wanita lain.
"Mas, kamu sudah pulang?" tanyaku ketika ia datang membawa tas yang berisikan pakaian kotornya.
"Kamu ke mana saja sih? Dipanggil nggak nyaut," tanya Mas Dafa balik.
"Beresin kamar," jawabku singkat. Kemudian, aku membawa pakaian kotornya untuk dicuci di mesin cuci.
'Enak sekali, senang-senang di sana bersama wanita lain, tapi cucian tetap aku yang cuci,' gerutuku dalam hati.
Kusortir pakaiannya satu persatu, betapa terkejutnya ketika melihat pakaian dalam seorang wanita kebawa di dalam tas Mas Dafa.
"Mas Dafa!" teriakku sekeras-kerasnya.
Bersambung
Bab 9"Apa sih teriak-teriak?" tanya Mas Dafa, ia pun bertanya dengan nada sedikit meninggi. Tiba-tiba aku teringat ucapan Yuri, besok adalah hari kehancuran para suami yang berkhianat. Sepertinya tak perlu lah tanyakan celana dalam yang kutemukan dengan memakai otot. Buang-buang tenaga saja."Mas Dafa yang katanya tampan, aku mau tanya ini milik siapa? Kenapa ada di tas kamu?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis. Tanganku memegang celana dalam hanya dengan ujung jari. Tak lupa aku tutup lobang hidung ini dengan tangan sebelah kanan."A-anu, Sayang. A-aku pun nggak tahu itu milik siapa, hemm jangan-jangan anak-anak yang lain nih iseng biar kita ribut," elak Mas Dafa dengan terbata-bata.Sudah kuduga, ia takkan mengakui meskipun bukti ada di depan mata. Padahal ada bukti yang lebih akurat lagi sudah dipegang oleh Yuri
Bab 10POV DafaSudah hampir setahun setengah aku menjalani pernikahan siri dengan Ayumi Titta Devi. Seorang gadis desa yang dikenalkan oleh Pak Gilang, atasan di pabrik.Awalnya kami mendirikan club mobil untuk touring sekadar refreshing. Namun, Pak Gilang menyodorkan seorang wanita cantik, muda, dan baby face tentunya.Tidak hanya aku yang disodorkan, semua yang ikut club disodorkan olehnya. Namun, ada beberapa yang menolak dengan alasan belum bisa berlaku adil dengan istri pertamanya.Malam sebelum berangkat touring, ponselku berisik hingga malam. Aku sempat tertidur karena kelelahan, tapi tiba-tiba saja mata ini terbuka kembali. Lalu kulihat layar ponsel penuh dengan notifikasi grup. Kutengok ke arah Aura yang sudah terbaring, terlintas kekhawatiran bila Aura membaca sedikit pesan yang ada di jendela ponselku. Meskipun aku kunci
Bab 11POV Dafa"Kamu itu mempertanyakan sesuatu yang benar-benar di luar wewenang kamu, ini uangku, terserah dong mau untuk apa, kan yang bayar juga aku nantinya, kalau kamu tidak percaya dengan ucapanku, ya sudah, jangan perpanjang masalah kecil jadi besar," tegasku pada Aura. Ya, aku harus menegaskan ini padanya. Ia tak punya hak untuk mengatur uang yang aku peroleh dari keringat sendiri, yang terpenting nafkah untuknya tetap aku berikan."Ya, aku tidak berhak, mentang-mentang hanya ibu rumah tangga, kalau begitu caranya, aku akan cari kerja juga, biar kamu tak seenaknya melakukan ini terhadapku," pungkasnya terkesan merajuk. Ia balik badan, lalu tarik selimut untuk segera tidur."Loh, aku belum makan, kenapa sudah tidur?" tanyaku sambil menarik selimutnya kembali."Bodo amat, kamu cari makan sendiri saja," timpalnya berl
Bab 12POV AuraLelaki memang sering kali berkelit dalam kebohongan yang ia buat. Sudah bohong lalu menutupi kebohongan lainnya dengan kebohongan lagi dan lagi. Itu semua sudah menjadi hal yang lumrah sering ditemui di sekitar.Baiklah, masalah emas yang ia gesek melalui kredit card sudah aku tutup, anggap selesai dan tak pernah ada masalah soal ini, itu yang Mas Dafa harapkan.Aku segera tarik selimut, begitu pun Mas Dafa, ia ikut tidur dalam keadaan perut kosong, sebab aku tak mau diajaknya cari makan.***Pagi ini aku sarapan dengan sudah berpakaian rapi. Kemudian, Mas Dafa pamit dengan terburu-buru, seperti biasa ia pergi dengan menggunakan motor kesayangannya.
Bab 13POV Aura"Mungkin salah orang, Mas, saya nggak pernah keluar rumah jika tidak bareng suami," sanggahku terhadapnya.Lelaki itu diam sejenak, sepertinya mengingat kembali wajahku. Namun, tiba-tiba Mas Dafa mengeluh kesakitan kaki dan tangannya. "Aw! Sakit, Dek. Seluruh badan aku sakit, apalagi kaki dan tangan," keluh Mas Dafa."Mas, memang kerjaan Mas Dafa selama ini berat ya? Kok sampai begini?" tanyaku pada lelaki tadi, ini kesempatanku untuk mengalihkan pembicaraan juga."Dafa pindah bagian, Mbak. Sekarang di bagian limbah, mungkin karena baru pegang kerjaan ini jadi belum terbiasa," jelas lelaki itu.Aku pura-pura tidak mengetahui, dan pura-pura simpatik pada Mas Dafa."Mas, kamu dipindah kerjanya? Kenapa bisa dipindah? Yang sabar ya, Mas," ungkapku sambil memijat kakinya."Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Mbak," ucap rekan yang satunya.Setelah mereka pe
Bab 14POV AuraAku terus menyecar Mas Dafa di hadapan mama dan papa mertua. Sebab, mereka pun tidak mengetahui kelakuan anak lelakinya. Aku ingin tahu kira-kira apa reaksi mereka setelah mengetahui semuanya."Tunggu, Dafa, maksudnya gimana sih? 2 juta kamu transfer Mama atau justru sebaliknya?" tanya mama kini semakin membuat mataku membulat. Dari pertanyaan yang barusan mama lontarkan, aku bisa mencerna bahwa mama yang memberikan transferan untuk Mas Dafa."Mah, jadi Mas Dafa itu bilang bahwa ia memberikan Mama tiap bulan 2 juta, itu rutin, kalau tidak salah sudah setahun setengah, makanya Mas Dafa tak punya tabungan," jelasku dengan senyum mengembang.Mama yang tadinya berdiri kini duduk di sebelah anaknya. Sepertinya ia ingin dengar dari mulut anaknya sendiri."Kamu minta 2 juta pada Mama tiap bulan, bukan terbalik gini, jelaskan pada Aura seperti itu biar tidak ada lagi salah paham," suruh mama.
Bab 15POV AuraAku giring orang tuaku ke arah kamar, agar sekalian berkumpul dengan besannya. Mereka pun saling berjabat tangan ketika bertemu satu sama lainnya.Mas Dafa yang berbaring pun mengulurkan tangannya pada kedua orang tuaku."Kamu sakit apa, Dafa?" tanya Papa Malik setelah Mas Dafa mengecup punggung tangannya."Seluruh tubuhku sakit, Pah. Rasanya seperti dipukuli warga sekampung," jelas Mas Dafa pada papaku.Kiana rindu juga pada papanya, ia menyergap tubuhnya seperti biasa. Aku yang tadi sedang menggenggam tangan Kiana pun ikut menghampirinya.Pelukan hangat seorang anak untuk papanya takkan ia rasakan lagi setelah ini. Aku berjanji ini untuk yang terakhir kalinya tubuh anakku berada di pelukan lelaki tak punya hati itu. Setidaknya Mas Dafa memikirkan
Bab 16POV AuraAku serahkan kertas yang sudah kuambil. Pertama kalinya, aku perlihatkan kepada kedua mertuaku yang tadi sempat tak percaya dengan kata-kataku."Ini, silakan dibaca," ucapku sembari menyerahkan kertas padanya.Kulihat matanya memerah ketika membaca isi dari surat yang kuberikan. Lalu bola matanya pindah ke arah suaminya, yaitu Papa Kaisar. Setelah itu, mereka saling beradu pandang, dan kertas itu diambil paksa papaku, Papa Malik.Kedua orang tuaku membacanya bersama-sama, lalu mereka pun menghela napas berat bersamaan. Sakit pastinya setelah mengetahui anaknya disakiti oleh lelaki yang pernah berjanji untuk setia sehidup semati.Mata mama memandangku sendu, ketidaktegaan terhadap anak semata wayangnya terpancar di wajahnya. Namun, tidak dengan mertuaku, Mama Erlin. Matanya m