Share

TULISAN YANG TERUNGKAP

    Pagi ini, aku tiba di sekolah agak pagi. Kelas sudah ramai dengan berbagai macam kegiatan anak-anak. Ada yang ngobrol di sudut kelas, ada yang mempersiapkan diri untuk pelajaran olahraga. Andra memasuki ruang kelas dengan wajah kuyu dan mengantuk.

     “Hey, semalam loe kemana aja? Kenapa gak balik ke arena?” Suara Angga menggema setelah Andra menaruh tas sekolahnya di atas meja.

     “Lupa kalo lagi tanding,” kata Andra tersenyum sekilas. Angga hanya mengangguk sambil mengupas kuacinya yang diletakkan di atas meja milik Dani.

     “Semalem ada yang kesel gara-gara loe gak balik,” kata Dani melirik Andra sekilas dengan wajah bantalnya. Sepertinya mereka kurang tidur karena semalam.

     “Kenapa?” Andra menaikan alisnya menatap Dani

     “Tahu, dah. Udah kaya perempuan aje temen loe,” lanjut Dani menyindir Dimas sambil melirik pria yang sedang membaca buku itu. Andra langsung menoleh ke arah Dimas yang sibuk dengan bukunya.

     “Kenapa?” Kali ini suara Andra terdengar lembut menatap Dimas tersenyum tipis.

     “Loe masih nanya kenapa? Gue sibuk nyari loe sampai pasar malam tutup,” kata Dimas menatap wajah Andra, sahabatnya sejak kecil. Andra dan Dimas memang sudah berteman sejak mereka TK, rumah mereka pun berdekatan, hanya berselang dua rumah.

     “Ck ck ck. Kan motor loe yang bawa. Gue bisa balik naik taksi online,” sergah Andra menghembuskan napas berat.

     “Terserah loe, deh. Semerdeka loe,” kata Dimas cuek kembali membaca bukunya.

     “Hari ini gue mau ijin nggak ikut olahraga,” sahut Andra sembari meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya di atas meja.

     “Kenapa? Sakit loe?” tanya Angga masih mengupas biji kuaci.

     “Heh ! Mau kemana loe, Dan?” tanya Andra menelengkan kepalanya yang tergeletak di atas meja, kepada Dani yang terlihat meninggalkan kursinya.

    “Mau ngapelin Sila dulu, gue juga mau cabut,” kata Dani dari ambang pintu.

    “Loe gak ikut olahraga?” teriak Angga.

    “Bolos gue.” Suara Dani terdengar walau kurang jelas.

    “Dasar bocah setan,” umpat Angga.

     Sementara itu, aku memperhatikan Dimas yang dari tadi diam-diam memperhatikan wajah Andra. Sesekali dia melihat sahabatnya yang sesekali memejamkan mata. Kedua alis matanya bertaut dalam. Dimas terlihat khawatir, seolah dia sudah jarang melihat Andra seperti itu, dan sekarang terjadi lagi.

     “Loe sakit? Loe kemana aja semalam?”

     Aku mendengar Dimas meredam rasa kesalnya pada Andra.

     “Gue gak papa kok, cuma butuh istirahat aja. Jangan khawatir.” Andra menjawab sambil menggelengkan kepalanya pelan, matanya masih terpejam, dan alis matanya masih bertaut. Dia terlihat tidak peduli dengan perhatian Dimas.

     “Huh!”

     Dimas membuang napas beratnya, percuma bertanya pada seorang Andradika Putra. Aku keluar kelas menuju lapangan setelah sepi. Aku meninggalkan Andra dan Dimas di kelas.

                                                               ***

     Materi pelajaran olahraga hari ini adalah bola voli dan sekarang giliran anak perempuan yang melakukan praktek, sedangkan anak lelaki memperhatikan dengan duduk di pinggir lapangan. Dan aku lagi-lagi memilih untuk menyendiri di sini, duduk di bawah pohon memperhatikan teman-temanku. Aku tidak peduli jika pak Toni memarahiku karena sering bolos pelajarannya. Sudah kuceritakan kalau aku selalu merasa kesulitan jika sudah berkaitan dengan tugas kelompok. Bermain voli harus memiliki kelompok, kan.

     Ketika sedang asyik memperhatikan teman-teman bermain voli, aku melihat Andra masih memakai seragam putih abu-abu menghampiriku. Seketika jantungku berdetak kencang, dalam hati aku berbisik, Tuhan, tolong hentikan detak jantungku ini. Tapi sepertinya Tuhan Tidak mendengarkan bisikanku, buktinya detak jantungku makin keras saja seolah mau meloncat keluar dari tempatnya. Aku berpura-pura tidak peduli tetapi sulit, apalagi saat jaraknya semakin dekat denganku. Tuhan, semoga dia tidak mendengar suara debaran jantungku ini, lagi-lagi hatiku berbisik penuh harap.

     “Beralasan sakit lagi?”

     Suara bariton Andra mengagetkanku yang sedang berusaha menormalkan degupan jantungku.

     “Nggak. Aku gak bisa main voli. Lagian ...,”

     Jawabanku menggantung. Ah, sudahlah untuk apa bercerita panjang, tidak penting juga Andra pasti mengetahuinya, pikirku.

     “Lagian kenapa?”

     Tanya Andra lagi sambil duduk disampingku. Aku menatapnya sekilas, ada kerutan di keningnya menandakan dia penasaran.

     “Nggak pa pa,” jawabku singkat.

     Andra diam, tak memaksa aku menjawab pertanyaannya, sebaliknya dia  mengalihkan perhatiannya kepada teman- teman yang sedang berlatih voli. Dari sini kami bisa melihat Dimas kewalahan mengambil bola-bola liar yang melesat tak tentu arah. Andra tersenyum melihat sahabat kecilnya itu kesulitan.

     Diam-diam aku memperhatikan Andra. Ada yang sedikit berbeda dari Andra pagi ini, wajahnya sedikit pucat dan matanya terlihat sayu. Berbeda dengan malam saat dia bersamaku di pasar malam. Andra sepertinya sadar kalau aku memperhatikannya sehingga dia menoleh.

     “Kenapa?” tanyanya heran.

     Aku tertunduk malu karena sudah ketahuan. Semenjak kejadian di halaman belakang sekolah beberapa waktu yang lalu, aku harus mengakui, kejadian kegep sama cowok yang aku taksir diam-diam ini semakin sering terjadi.

     “Gak pa pa,” jawabku, lalu melanjutkan,”kamu kelihatan pucat. Sakit?”

     Aku memberanikan diri untuk bertanya, karena sejak tadi Andra terus menatapku,

     “Gak. Cuma lagi malas,” kata Andra menggelengkan kepalanya.

     Aku berusaha meyakinkan diri bahwa Andra baik-baik saja dan segera menganggukkan kepala, percaya bahwa bintang sekolah seperti Andra pasti akan selalu baik-baik saja.

     “Aku cabut dulu. Dani juga lagi gak olahraga hari ini,” kata Andra pamit lalu beranjak menyusul sahabatnya.

     “Eh, nanti kita satu kelompok pelajaran Biologi, ya,” teriaknya dari kejauhan.

     Aku tersenyum kaget, memperhatikan kepergiannya sampai menghilang di tikungan koridor sekolah menuju kantin, lalu mengembalikan pandanganku kepada teman-teman yang masih bermain voli sambil menunggu bel istirahat berbunyi.

                                                             ***

     Jam istirahat kali ini terlihat sedikit berbeda. Di tempat genk Andra biasanya berkumpul, kelompok siswa yang sering mendominasi suasana kelas, terdengar berkali-kali menyebut nama Andra, tapi hingga lima menit lagi bel masuk berbunyi, yang disebut namanya tidak menampakkan batang hidungnya.Ya, mereka sedang membicarakan si bintang sekolah.

     Seorang anak perempuan dari kelas sebelah datang menghampiri Dimas yang sedang mengerjakan PR Biologi. Entah mengapa, hari ini dia mengerjakan PR di sekolah padahal biasanya dia paling rajin, aku harus mengakui kalau dia adalah satu-satunya sahabat Andra yang lumayan pintar, tingkahnya pun terlihat sedikit lebih kalem dari Andra dan Angga. Apalagi Dani, tidak diragukan lagi, Dani tak pernah bisa diam.

    “Dimas, Andra kemana?” tanya Putri setelah sampai dihadapan Dimas.

     “Nggak tahu,” jawab Dimas singkat tanpa menoleh. Aku bisa melihat wajah Putri yang kecewa mendengar jawaban Dimas.

     “Kemana dia?” tanya Putri ngotot.

     “Kenapa sih, loe bawel banget. Bentar lagi bel masuk nih, gue belom ngerjain PR,” jawab Dimas kesal.

     “Sensi banget sih loe. Gue cuma nanya aja, soalnya hari ini Andra ada janji buat nganter gue ke toko buku,” jawab Putri dengan nada ketus.

     “Mus-Ta-Hil”

     Dimas diam lalu mengangkat kepalanya. Kali ini Dimas merespon perkataan Putri dengan tatapan meremehkan.

     “Terserah, dah. Percaya atau nggak, semerdeka loe,” jawab Putri kemudian pergi sambil menghentakan kaki sebal.

     Aku tertawa kecil melihat sikap Putri. Dimas terlihat tidak peduli dan kembali sibuk mengerjakan tugasnya lagi.

                                                                   ***

     Bu Mitha, guru Biologi yang mengajar di kelasku sering memberikan banyak tugas dan kali ini, kami diminta membagi kelompok untuk berdiskusi soal system immune tubuh. Tadi, Andra sudah berjanji akan satu kelompok hari ini denganku tapi sejak pelajaran olahraga tadi pagi, dia tak juga kelihatan. Aku jadi bingung dan khwatir, dia tak memberitahukan kemana dia dalam pembicaraan kami tadi pagi saat olahraga atau melalui pesan di ponselku.

     Ya, sejak pertemuan di pasar malam, dia menyimpan nomer ponselku. Terkadang dia menanyakan kabarku dan setelah mengetahui Ibuku seorang mantan perawat, dia jadi sering menghubungiku untuk sekedar bertanya masalah kesehatan. Entahlah, dia sunggu bertanya atau hanya sekedar saja. Aku tidak tahu.

                                                                  ***

    “Gue sekelompok dengan loe.”

     Suara Dimas mengagetkanku. Aku terkesiap kebingungan. Lamunanku tentang Andra seketika buyar. Aku mendongak, melihat Dimas sudah duduk di hadapanku setelah memutar kursinya. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

     “Andra sudah pulang tadi pagi, dia minta gue untuk sekelompok sama loe,” kata Dimas melihat aku kebingungan. “Gue gak tahu kalau kalian ternyata dekat.”

     Dimas melihatku dengan mata penuh tanda tanya, lalu mengikutiku menyalin materi dari buku pelajaran.

    “Aku gak dekat sama dia,” jawabku sambil menyalin tugasku. Aku tidak berani melihat  Dimas sambil bertanya dalam hati mengapa Andra pulang.

    “Andra jarang meminta hal aneh soal perempuan. Ini membuat gue curiga,” ujar Dimas tiba-tiba menghentikan kegiatannya menulis lalu menatapku serius.

     Oh, ayolah aku tidak ingin terlalu percaya diri untuk mengatakan kalau aku sudah dekat dengan seorang bintang sekolah.

     “Aku cuma anak kasat mata,” jawabku sambil menetralisir degupan jantungku mendengar nada curiga dalam suara Dimas.

    “Dia membutuhkan hal itu,” kata Dimas lagi masih serius.

    “Hah! Maksudmu apa?” tanyaku memberanikan diri mendongak.

    “Sudahlah lupakan. Lanjutkan tugasmu,” jawab Dimas kembali mengerjakan tugasnya. Aku pun  melanjutkan pekerjaanku dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku.

                                                              ***

     Bel istirahat kedua sudah berkumandang tetapi tugas kami belum selesai. Ralat, bukan tugasku yang belum selesai tetapi tugas Dimas. Dia menyuruhku untuk istirahat saja, tidak usah menunggunya menulis sampai selesai dan setelah kupikir-pikir ada baiknya seperti itu, daripada aku mati berdiri karena canggung.

    “Jika sudah selesai dan harus dikumpul, ambil saja buku tugasku di dalam tas,” kataku sebelum pergi ke perpustakaan.

    “Ok,” jawabnya bersemangat.

                                                              ***

     Perpustakaan sepi. Tidak ada adik- adik kelas bergosip atau kakak senior yang asyik membahas sesuatu sampai tak kenal tempat. Mungkin mereka sedang menonton di lapangan karena hari ini ada pertandingan basket yang diadakan di sekolahku.

     Dari kaca jendela perpustakaan yang mengarah ke lapangan basket, aku dapat melihat hiruk-pikuk anak-anak bergembira dan bersemangat menjadi supporter tim basket sekolah kami. Seru sekali. Aku bisa melihat Dani mencetak tiga score untuk tim kami dan itu menyebabkan dia menunjukkan wajah yang semakin tengil dengan bangga. Sayangnya aku tidak bisa merasakannya, aku hanya bisa melihat dari balik jendela perpustakaan.

     Huft.

     Coba saja Andra yang main pasti dia akan terlihat semakin tampan. Ha ha ha. Tiba-tiba saja aku teringat lagi pada pemuda itu, sakit apa dia sampai harus pulang dari sekolah. Aku lalu berdiri mencari buku yang aku suka.

                                                              ***

     Sudah tiga kali aku menggeladah rak buku yang berada di bagian“Aneka Buku Kesehatan”, tetapi tidak juga menemukan buku yang aku cari. Aku memutuskan untuk menanyakan pada petugas perpustakaan di bagian depan ruang perpustakaan.

     “Maaf, Pak. Saya mencari buku tentang kesehatan jantung tapi kok gak ada ya, Pak?” tanyaku setelah sampai di depan meja petugas perpustakaan.

     “Oh, sebentar ya, Dek. Saya cek dulu,” jawabnya sambil menggerakkan mouse komputer yang ada dihadapannya.

     “Baik, Pak,” jawabku.

     Setelah menunggu beberapa menit, si bapak petugas memberikan informasi mengenai buku yang ingin kupinjam.

     “Maaf, Dek. Buku dengan judul itu hanya ada satu dan sudah dipinjam,” katanya.

     Aku hanya menjawab dengan kata oh saja sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih lalu memutuskan untuk pergi ke kelas. Sayang sekali, padahal aku sedang benar-benar ingin membacanya.

                                                                     ***

     Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku membereskan semua barang-barangku yang berserakan di meja dengan buru-buru. Kelas sudah sepi. Setelah jam istirahat kedua, jam belajar dikosongkan karena pertandingan basket. Hanya ada Dimas, Angga dan Dani di sana.

    Saat bergegas keluar kelas, aku melihat Dimas masih bergeming di bangkunya, sedangkan Angga dan Dani sudah terlebih dahulu keluar kelas. Aku sempat mendengar rencana mereka menjenguk Andra ke rumahnya.

     “Keisya!”

     Dimas memanggil saat aku melewati bangkunya. Aku menoleh, menunggu apa yang ingin dikatakan Dimas kepadaku. Aku kira Dimas mau mengatakan sesuatu perihal pengumpulan tugas Biologi tadi pagi, ternyata ...

     “Diary ini, apa milik loe?”

     Dimas bertanya sambil mengeluarkan sebuah buku diary dari kolong mejanya. Aku terkesiap, tak tahu harus melakukan apa. Mataku terbelalak, telapak tanganku seketika berkeringat. Aku hanya bisa memelototi Dimas yang sedang menimang-nimang buku diary itu di tangannya.

    “Kenapa bisa ada sama kamu?” desisku

     Tiba-tiba saja aku tersadar dan segera merogoh isi tas selempangku, mengacak-ngacak isinya, memastikan bahwa diary yang dipegang Dimas itu bukan milikku.

     “Kamu lancang!” teriakku marah. Dia mengambil barang pribadi milik orang lain yang berada di dalam tas tanpa minta ijin. Aku meradang.

     “Sorry, waktu gue buka tas loe untuk mencari buku Biologi, gue nemuin diary ini. Awalnya gue gak tertarik tapi waktu gue liat ada foto sahabat gue yang keselip di dalam, gue jadi penasaran,” jawab Dimas dengan santai sambil menatapku tajam.

     “Lupain aja, gak penting!” jawabku sambil segera keluar kelas. Masa bodoh, pikirku. Malu dan sedih berkecamuk dalam hatiku, airmata mulai mengambang di ujung mataku lalu mengalir deras tanpa bisa kuhentikan. Rasanya ingin berlari dan segera sampai di rumah.

     “Keisya! Kei! Tunggu!”

     Aku mendengar Dimas masih memanggil namaku tapi aku tidak peduli. Untunglah koridor sekolah sudah sepi sehingga aku tidak harus begitu malu atas kejadian ini. Rasanya ingin merebut diary itu dari genggaman Dimas lalu merobeknya, membakarnya, agar tidak ada lagi orang lain yang bisa membacanya.

     “Keisya.”

     Dimas meraih tanganku. Dia berhasil mengejar langkahku. Dia memaksaku menatap dirinya walau airmata terus-menerus mengalir dari kedua mataku.

    “Gue perlu bicara sama loe, Kei.”

    Tatapan Dimas melembut. Entah bagaimana, rasa takut dan gugupku langsung sirna, kepalaku mengangguk menyetujui keinginannya berbicara denganku.

                                                                  ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status